By: CANRADEWI
PRO:
MIHI IPSI
Hari ini terlihat cerah. Burung-burung berkicau dengan
riang, angin bertiup dengan lembut membuat dedaunan beterbangan. Seakan mereka
semua menyambut hariku dengan ceria. Tapi, perasaanku saat ini tidaklah seceria
mentari yang menyapaku.
Semalaman penuh
aku tidak bisa tidur memikirkan hari ini, hari pertama aku magang disalah satu
rumah sakit termewah dikota ini. perasaanku bercampur aduk, merasa senang,
takut, sedih, dan gelisah. Mendengar cerita senior-senior tentang masa magang
membuat aku tahu sedikit banyak tentang magang. Tapi, perasaanku ini masih
susah untuk kukendalikan. Kutarik nafasku dalam-dalam sebelum masuk kedalam
ruangan dokter Alfian. Menurut cerita senior-seniorku yang pernah magang
ditempat ini , Dr.Alfian itu adalah dokter muda yang sangat teliti, sombong dan
pemarah. Kalau sampai salah kasih obat pada pasiennya, dia akan marah tanpa
ampun. Dan katanya sih dia juga ganteng, mirip artis. Banyak juga sih seniorku
meleleh dibuatnya. Tapi, itu tidak akan berlaku untukku, karena aku paling anti
sama cowok yang pemarah.
“Hei… apa yang kamu lakukan disitu?”. Tanya seorang
perawat yang baru keluar dari ruangan Dr.Alfian.
“ehm… aaa..ak..aku… mau masuk kedalam”. Jawabku gugup
sambil menunduk.
“kamu pasti anak magang baru, siapkan mentalmu sebelum
masuk kedalam”. Saran suster itu sebelum meninggalkanku sendiri yang masih
berdiri kaku. Kata-kata suster itu semakin membuatku gugup dan takut untuk
bertemu dengan Dr.Alfian.
“apapun yang terjadi aku harus tetap memberanikan diri
untuk masuk keruangan ini. Ya Allah bantulah aku”. Akhirnya kulangkahkan kakiku
menuju keruangan itu. Aku mengetuk pintu itu dan mengucapkan salam, berusaha
untuk terlihat sopan.
“masuk…” terdengar suara dari ruangan itu. Akupun semakin gugup, kubuka perlahan pintu
itu, dan segera melangkah menuju meja Dr.Alfian.
“ada apa?” tanyanya dengan nada dingin ketika aku
sudah berdiri didepannya, tanpa mengalihkan pandangannya dari laptopnya.
“aku…kuu..aaku mau menyerahkan surat ini Dok”. Jawabku
dengan suara yang serak. Dia tetap tidak mengalihkan pandangannya dari
laptopnya. Akupun semakin gugup dibuatnya, tanganku gemetar ketika meletakkan
surat itu di atas mejanya.
“kamu akan magang disini? Dari kampus mana?”. Tanya
masih dengan nada dingin. Dan dia tetap tidak mengalihkan pandangan dari
laptopnya.
“aakuu.. eee.. iya aku anak magang baru disini Dok,
dan akuuu… dari kampus POLTEKKES”. Jawabku terbata-bata karena sangat gugup.
Kurasakan tanganku sangat dingin dan tubuhku terasa gemetar. Akupun masih
berdiri mematung didapannya.
“ya sudah, kalau tidak ada lagi yang ingin kamu
katakana. Silahkan keluar”. Serunya tanpa menatap wajahku sekali saja.
Akupun melangkah keluar dari ruangannya. “huft… Dokter
itu hampir membuat jantungku copot. Dia sangat angkuh dan sombong, kenapa dia
tidak pernah mengalihkan pandangannya sekali saja ketika berbicara denganku”.
Desisku sambil berjalan keluar dari rungannya.
“kenapa kamu mengatakan aku sombong?”. Katanya
tiba-tiba dengan wajah yang terlihat kesal. Akupun sangat kaget ketika melihat
dia berada dibelakangku. Aku mencoba tersenyum untuk mengalihkan rasa takutku.
“sebaiknya kamu segera ikut denganku, ada pasien yang
gawat darurat”. Katanya sambil menarikku. Aku tidak sempat berkata
apa-apa. Dan tanpa sadar aku sudah
berada di UGD.
“kenapa kamu diam saja, cepat bantu aku memasang jarum
ini”. diapun memarahiku. Aku hanya diam dan tidak tahu apa yang harus
kulakukan, aku sangat takut melihat darah. Dan sekarang aku sedang dihadapkan pada
pasien yang baru saja kecalakaan. Aku sangat syok, kepalaku terasa sangat berat
dan tiba-tiba semuanya terlihat gelap.
Aku mencoba membuka mataku secara perlahan-lahan,
kulihat sekeliling ruangan.
“sepertinya aku tidak sedang berada dikamarku. Tapi,
aku sekarang dimana”. Tanyaku pada seseorang yang berada dihadapanku.
“kamu sekarang ada diruangan perawatan”. Jawab suster
itu. Akupun berusaha mengingat apa yang terjadi pada diriku.
“kamu baru pertama magang sudah bikin kekacauan
seperti ini, kenapa kamu bisa pinsang pada saat ada pasien yang sedang gawat
darurat”. Kata seorang laki-laki yang tiba-tiba muncul dari belakang si suster.
Aku sangat kaget, ketika menyadari bahwa laki-laki yang sedang memarahiku itu
adalah Dr. Alfian. Dokter yang sangat galak itu. Aku hanya diam dengan wajah
yang sangat pucat, kepalaku juga masih terasa sakit.
“sepertinya kamu masih belum siap untuk magang
ditempat ini, sebaiknya aku menarik izin kamu untuk magang ditempat ini”. dia
terlihat sangat marah dengan kelakuanku tadi.
“Dok, tunggu dulu…” kataku pada Dr.Alfian, aku segera
bangun, dan memohon padanya.
“aku tidak bisa membiarkan seorang perawat yang tidak
becus seperti kamu untuk magang ditempat ini”. mendengar perkataannya tersebut
membuatku sangat kaget.
“maaf Dok, aku bukan perawat, tapi aaa….aakku…
mahasiswi Farmasi”. Jawabku dengan rasa takut yang menyelimutiku. Wajah
dokterpun berubah menjadi merah. Dia terlihat menunduk, dan tidak bisa berkata
apa-apa. Aku pikir dia pasti sangat malu karena telah memarahiku. Tepatnya
marah-marah karena salah paham.
Perlahan-laham dia mengangkat wajahnya dan untuk
pertama kalinya aku melihat dia menatap wajahku. “tapi ini semua juga salah
kamu. Kenapa kamu tidak mengatakan kalau kamu mahasiswa Farmasi, kenapa kamu
hanya diam ketika aku menarikmu keruang UGD. Kalau sampai hal ini terulang lagi
aku akan segera menarik izin magang kamu”. Katanya tanpa rasa bersalah dan
malah balik memarahiku. Bagaimana caranya aku mau mengatakan itu semua dalam
situasi seperti tadi, ini juga salahnya. Dia main tarik aja tanpa menanyakan
aku dari jurusan apa. Dasar dokter galak. Tapi, aku hanya bisa diam dan tidak
dapat mengutaran unek-unekku.
“ maafkan aku Dok”. Kataku dengan agak terpaksa.
Diapun membalikkan badannya dan segera keluar dari ruangan itu. “iii…. Dasar Dokter
galakkk”. Desisku ketika sudah melihat dia agak jauh dari ruangan itu.
Setalah merasa agak baikan, akupun segera menuju ketempat
Apotek rumah sakit. Sesampainya disana, akupun dihadapkan oleh setumpukan resep
yang harus dilayani, untungnya ada salah seorang peagawai yang sangat ramah.
Dia masih sempat menunjukkan letak obat-obat dan mengajariku cara untuk
melayani pasien dengan baik. Walaupun pelajaran itu telah kudapatkan dikampusku
tapi aku cukup terbantu dengan penjelasan singkatnya itu.
“kalau kamu masih kebingungan kamu jangan
sungkan-sungkan untuk bertanya padaku atau pada pegawai lainnya. Dan namaku
Fani, kamu boleh memanggilku Kak Fani”. Katanya dengan ramah. akupun membalas
senyum ramahnya itu. “makasih Kak Fani. Dan namaku Dewi. Aku dari kampus
POLTEKKES. Mohon bimbingan Kakak”. Kataku berusaha terlihat sangat ramah.
Hari ini aku melewati hari pertama magang dengan baik
dan bisa melayani resep yang sangat banyak itu. “ternyata magang hari pertama
sangat melelahkan, rasanya aku ingin langsung sampai rumah dan merebahkan
tubuhku ini dikasur yang empuk. Bantal-bantalku tunggu aku, aku segera pulang”.
Seruku sambil menunggu angkot. Aku melirik Jam yang ada ditanganku dan ternyata
sudah menunjukkan pukul 21.00 WITA. Kalau jam segini angkot sudah jarang lewat
didaerah sini. Apa yang harus kulakukan, masa aku harus naik taksi. Bisa-bisa
aku tidak makan seminggu kalau uangku kupakai naik taksi. Tapi, kakiku bisa
diamputasi kalau aku nekat jalan kaki.
Akupun duduk dipinggir trotoar sambil berharap ada angkot
yang tiba-tiba lewat, kalau tidak ada angkot biarlah mobil teman, keluarga atau
mobil papaku deh. Yang jelas aku bisa pulang secepatnya dan bertemu dengan
bantal-bantal kesayanganku. “Ya Allah bantulah aku, semoga ada mobil teman
kalau tidak ada mobil, biar deh motor aja, yang jelas ada orang yang kukenal
bisa membawaku pulang dari tempat ini”. akupun berdoa dengan sungguh-sungguh.
Tiba-tiba aku mendengar suara mesin mobil yang semakin dekat dan setelah aku
membuka mataku, akupun melihat mobil mewah yang berwarna hitam berhenti dihadapanku. Aku melirik kiri
kanan, untuk memastikan apakah ada orang lain selain diriku ditempat ini.
“Hei… cewek magang, kenapa kamu masih disitu?”. Kata
orang itu sambil membuka pintu mobil mewahnya. Aku sangat terkejut ketika
melihat seseorang yang berada didalam mobil itu ternyata Dr. Alfian.
“aku… aku lagi tunggu angkot Dok”. Jawabku dengan nada
putus asa. Aku berharap semoga dia tidak mendengar doaku tadi. Aku pasti sangat
malu kalau dia mendengar semuanya.
“tadi kamu lagi berdoa atau lagi memaksa tuhan untuk
mengabulkan permintaan kamu. Ya sudah cepat naik, biar aku yang mengantar
kamu”. Katanya dengan nada dingin dan
tanpa ekspresi. Aku juga bingung, tadi dia itu lagi bercanda atau memang
mengatai aku.
Akupun berusaha tersenyum. “tidak usah Dok, nanti juga
pasti ada angkot lewat. Atau mungkin ada temanku yang tiba-tiba lewat”. Kataku
berusaha mencari alasan. Aku memang tidak berani untuk semobil dengan dokter
yang sangat galak ini.
Dr. Alfianpun segera menyalakan mobilnya dan segera
berlalu meninggalakan aku. “dasar Dr. galak, angkuh dan sombong. Bukannya
berusaha mengajak aku supaya ikut, malah meninggalkanku sendiri”. Teriakku
ketika mobilnya sudah pergi. Sekarang apa yang harus kulakukan, bagaimana
caranya aku bisa pulang. Seharusnya tadi aku tidak usah pura-pura menolak
kebaikan Dr.galak itu. Tapi, setidaknya dia harus berusaha untuk tetap
mengajakku untuk ikut dengannya. Aku baru bilang tidak satu kali tapi dia
malah sudah pergi. Seharusnya dia
berusaha untuk tetap mengajakku. Akukan cewek, tidak mungkinlah aku langsung
bilang mau ikut dengan dia, gengsi donk.
“Dasar Dr.galak… kamu sangat membuatku kesal hari ini.
Dr.Galaaakkkkk”. teriakku dengan emosi.
“apakah kamu memang hobi mengatai orang?”. Seru Dokter
itu. Perlahan-lahan aku membalikkan badanku, aku sangat kaget ketika menyadari
dokter itu ternyata belum pulang dan malah tiba-tiba muncul didepanku. Aku
hanya menunduk, wajahku terasa memerah menahan rasa malu.
“cepat kesini kalau kamu mau aku antar pulang. Aku tidak
suka dengan orang yang suka basa-basi dan sok jual mahal. Dan ini penawaran
terakhirku”. Katanya dengan nada dingin. Dari wajahnya dia tampak sangat kesal.
Tanpa berpikir panjang lagi aku segera menuju kemobilnya.
“ehm… maaf Dok soal yang tadi. Aku tidak bermaksud
mengatai dokter”. Kataku memecah kesunyian. Dia hanya terdiam dan tetap menatap
lurus. Dia tampak masih kesal. Akupun segera menutup mulutku dan tidak
berbicara apa-apa lagi, aku hanya sesekali melirik dia dan memperhatikan
wajahnya. Ternyata dia memang sangat tampan.
“kenapa kamu melihat aku sampai segitunya. Apa kamu
mau mengatai aku lagi?” katanya membuat aku tersadar dari lamunanku. Akupun
segera memperbaiki posisi dudukku.
“dimana rumah kamu?”. Tanya lagi masih dengan nada
dinginnya. “kenapa Dokter tiba-tiba menanyakan alamat rumahku?”. Perkataannya
tersebut membuatku sangat kaget.
“cepat katakan atau kamu mau ikut kerumahku”. Diapun
mengalihkan pandangannya kearahku. Menyadari hal itu, jantungku berdegup sangat
kencang. Pipiku terasa merah dan akupun sangat gugup. “tidakkk… eee.. maksudku
rumahku di Jl.Kemerdekaan”. kataku agak sedikit takut. “baguslah, ternyata kita
searah. Jadi bisa menghemat BBM”. Serunya.
Sesampainya didepan rumah, akupun segera turun setelah
mengucapkan terima kasih padanya. Seperti biasanya dia hanya diam dan segera
pergi. “dasar dokter sombong, pelit, arogan. Bukannya membalas ucapanku malah
langsung pergi aja”. Seruku sambil masuk kerumah.
Kucoba membuka mataku perlahan-lahan yang terasa
sangat berat. Dan Aku segera mengambil HPku yang berada dibawah bantal. Astaga
ternyata sudah jam 7 lewat, aku bergegas kekamar mandi. Setelah 30 menit
kemudian akupun sudah siap kekampus.
Aku berlari menuju kekelasku yang berada dilantai dua.
Dan Ini pertama kalinya aku terlambat. Tapi, untungnya dosenku bisa mentolerir
keterlambatanku. “tumben banget kamu lambat?” bisik Tia padaku ketika aku sudah
duduk disampingnya. “ceritanya panjang. Yang jelas ini gara-gara magang”.
Jawabku sambil mengeluarkan bukuku.
Setelah pelajaran berakhir semuanya berhamburan
keluar. Sekarang tinggal aku dan Tia yang berada dikelas. “aku pulang duluan
yah, aku masuk magang jam 2”. Kataku pada Tia yang kelihatannya masih betah
duduk dikelas. “tunggu… cerita donk hari pertama magang kamu, kayaknya sangat
seru. Apalagi sampai membuat kamu terlambat kayak gini”. Temanku yang satu ini
memang selalu ingin mengatahui kegiatanku. Bisa dibilang kepo banget. Tapi, dia
adalah salah satu sahabat baikku dan juga teman curhat yang baik. “besok aja
yah, sudah jam 12.30 nie. Aku harus pulang dulu”. Akupun bergegas keluar tapi,
ternyata rasa penasaran Tia tidak terbendung lagi. Dia menarik tasku dan
menyuruhku duduk untuk menceritan hari pertama magangku itu. Dengan sangat terpaksa
aku menceritan semuanya, termasuk Dr. Alfian yang sangat galak itu.
“kalau menurutku, Dr.Alfian itu suka sama kamu”. Kata
Tia setelah mendengarkan penjelasanku yang panjang lebar itu. Aku langsung
mengalihkan pandanganku pada Tia. “mana mungkin… diakan sangat galak sama aku.
Dan dokter setampan dia pasti banyak yang naksir. Termasuk doter-dokter cantik yang
ada dirumah sakit itu”. kataku agak lesu. “tapi menurutku kamu itu orangnya
sangat cantik. Tinggimu aja 160 cm, wajahmu mulus, putih dan rambutmu juga
bagus. Kalau kamu ikut putri Indonesia kamu pasti akan menjadi juaranya. Tapi,
hanya satu kekuranganmu. Kamu bukan seorang Dokter”. Kata-kata Tia sempat
membuatku percaya diri tapi aku down lagi ketika dia membandingkan profesiku.
“iii… kamu terlalu memujiku. Dan satu lagi aku sangat
bangga kuliah dijurasan Farmasi. Karena tanpa orang-orang farmasi dokter tidak
akan bisa menyembuhkan pasiennya”. Seruku agak kesal. Dia terlihat sangat
mencerna perkataanku. “hahaha… betul juga, kalau tidak ada obat bagaimana
seorang pasien bisa sembuh. Otak kamu
encer juga”. seru Tia sambil tertawa. Dan akupun ikut terwata melihatnya.
“jadi pantas saja dia suka sama kamu karena tanpa kamu
dia tidak akan bisa menyembuhkan pasiennya. Jadi bisa dibilang kalian itu
saling melengkapi. Hahaha”. Tawa Tia semakin keras. Entah mengapa jantungku
tiba-tiba berdegup kencang, dan pipiku terasa panas ketika mendengarkan
perkataan Tia. “hahaha… pipi kamu merah”. Seru Tia disela tawanya. Pasti dia
sangat puas menertawai aku.
Semoga aku tidak telat, semua ini gara-gara Tia .
Kalau aku sampai telat, aku akan menggantungnya dipohon depan kampus.
Rasanya sangat susah mengatur nafasku ketika sudah
berada didalam Apotek, dan seperti kemarin resep-resep sudah bertumpukan. “maaf
kak, aku lambat”. Kataku pada kak Fani. Dia hanya tersenyum dan memberikan
isyarat supaya aku mengerjakan resep-resep yang bertumpukan itu. Dengan cekatan
Aku mengambil resep itu satu persatu dan mengabil obatnya. “kak, obat yang ada
di resep ini habis.”.seruku pada Kak Fani sambil menunjukkan resepnya. “apa aku
usul dulu sama dokternya?” kataku lagi. “tidak usah, kamu ganti saja dengan
obat ini. khasiatnya sama kok. Kalau kamu pergi mengusulnya, memakan waktu.
Banyak pasien yang sedang mengantri untuk menebus resepnya” kata Kak Fani.
Berdasarkan yang diajarkan dikampusku, kita memang harus mengusul resep yang
seperti ini, tapi kata Kak Fani juga benar. Disaat sibuk seperti ini tentu
tidak ada waktu untuk mengusul resep ini. akupun segera mengganti obatnya dan
menyerahkan pada pasiennya.
Awalnya si Pasien tidak mau obatnya diganti tapi,
setelah mendengar penjelaskan akhirnya dia menerimahnya. Walaupun dengan
ekspresi marah. “Dewi kamu sabar yah, pasien memang kadang ada yang mengesalkan
seperti itu. Suka marah-marah”. Kata Kak Fani padaku. Mungkin dia menyadari
kalau aku sangat kesal gara-gara pasien itu. Aku hanya tersenyum dan kembali
mengerjakan resep yang masih betumpuk itu.
ketika semua pegawai terlihat sibuk mengerjakan resep,
tiba-tiba terdengar suara yang tidak asing ditelingaku. “siapa yang mengerjakan
resep ini?”. suara itu terdengar seperti suara Dr. Alfian. Dan ternyata
tebakanku benar setelah melihat dia memasuki ruangan Apotek. Semua pegawai
termasuk aku sangat kaget mendengar teriakkannya itu. Aku sangat berharap
semoga bukan aku yang mengerjakannya, Karena kalau sampai itu terjadi, dia bisa
mendepak aku keluar dari rumah Sakit ini.
“cepat katakana siapa yang mengerjakan resep ini?”.
Tanya sekali lagi dengan suara yang sangat keras. Akupun melihat resep yang
dipegangnya itu. Dan ternyata itu adalah resep yang aku kerjakan. Tubuhku
seketika seperti membeku, semua badanku gemetaran. “maaf… maaff, resep itu aku
yang kerjakan”. Kataku dengan suara yang terbata-bata. Tatapan Dr.Alfian yang
tajam itu mengarah padaku. Aku hanya bisa menunduk, dan berharap bisa
menghilang seketika dari tempat ini.
Dr.Alfianpun menyuruhku keruangannya setelah
memaki-maki aku didepan semua pegawai. aku tidak bisa membendung air mataku.
Semua orang tampak memperhatikanku. Dan Aku segera kerungannya dengan air mata
yang masih berlinang dipipiku. “cepat jelaskan kenapa kamu mengganti resepnya
tanpa pemberitahuan padaku dulu. Kalau pasiennya tambah sakit parah, aku yang
dituntut”. Omelnya lagi ketika aku sudah berada diruangannya. Aku kira dia
sudah puas memarahiku diruangan Apotek tadi. Aku hanya terdiam dan tidak bisa
berkata apa-apa dan air mataku mengalir semakin deras. “cepat jawab. Aku tidak
butuh tangismu itu”. Serunya dengan tatapan yang sangat tajam. Aku berusaha
untuk menahan tangisku. “a..aaku…aku…”. dan hanya itu yang dapat ku kakatan
padanya, karena aku sangat takut dan gugup sehingga tidak dapat melanjutkan
perkataanku. “kamu memang tidak becus kerja disini, sebaiknya aku menarik
kembali surat izin kamu untuk magang ditemapat ini”. mendengar hal itu, aku
sangat syok. Tapi, aku tidak bisa berkata apa-apa, hanya tangis yang mewakili
perasaanku.
“tunggu Dok, ini semua bukan salahnya. Aku yang
menyuruh dia untuk mengganti resepnya. Karena stok obat yang ada di resep itu
sudah habis”. Seru Kak fani yang tiba-tiba masuk dalam ruang Dr.Alfian. “kamu
tidak usah membelanya, aku tahu ini semua pasti kecerobohan dia”. seru
Dr.Alfian sambil tetap menulis surat pencabutan izinku. Aku merasa cukup legah karena Kak fani
membelaku. “tapi, Dok itu memang benar”. Kata Kak fani berusaha menyakinkan
Dr.Alfian.
Dr.Alfianpun menatapku dengan tajam. “apa kamu bisa
menjelaskan kenapa kamu mengganti obat yang ada diresep itu dengan obat ini?”
tanyanya padaku dengan nada dingin. Aku menarik nafasku dalam-dalam dan
berusaha menenangkan perasaanku sebelum menjawab pertanyaannya itu. “obat yang
ada diresep itu dengan obat ini khasiatnya sama. Dan obat ini juga cocok untuk
penderita maag seperti pasien ini”. jawabku dengan gugup. “dari mana kamu tahu
kalau pasien ini juga punya penyakit maag?” Tanya dokter itu lagi. Akupun
mengambil resep itu. “karena dokter menulis obat ini. dan obat ini adalah obat
maag. Jadi berdasarkan apa yang telah aku pelajari dikampus, obat ini sangat
cocok untuk penderita maag. Jadi kalau pasien meminum obat ini bersamaan tidak
akan menganggu metabolisme tubuhnya. Tapi, kalau obat yang dituliskan Dokter
tadi mungkin bisa menganggu metabolismenya”. Jawabku panjang lebar. Dr.Alfian
hanya tertunduk dan memperhatikan resep yang ia tuliskan. Mungkin dia sudah
menyadari kesalahnnya itu.
“baiklah kamu boleh keluar dan aku tidak akan mencabut
izin magangmu”. Dia terlihat malu dan hanya tertunduk. Aku dan Kak Fani segera
keluar dari ruangan itu. “aku tidak menyangka ternyata pengetahuan kamu tentang
obat cukup mendalam juga”. seru Kak Fani ketika kami sudah keluar dari ruangan
Dr.Alfian. “tentu donk Kak, aku sudah mempelajarinya waktu aku tingkat dua. Dan
kampuskukan kampus terbaik dalam lulusan sarjana Farmasinya”. kataku membanggakan
kampusku. “ternyata tidak salah kalau orang-orang mengatakan lulusan Farmasi
POLTEKKES berkualitas”. Serunya lagi. Aku hanya tersenyum mendengar pujian Kak
Fani itu.
Badanku terasa lebih pegal dari kemarin, mungkin
karena kejadian tadi. Dan aku masih harus menunggu angkot. Dan seperti kemarin,
tidak ada angkot yang lewat satupun. Aku mengambil HPku dan hendak menelpon Tia
untuk menjumputku. Tapi, mataku tertuju
pada mobil yang tiba-tiba berhenti dihadapanku.
“cepat naik, biar aku yang mengantar kamu pulang”.
Kata Dr.Alfian. aku berusaha menjauh. Dan berusaha untuk menelpon Tia, tapi dia
tetap tidak mengangkatnya. Dr.Alfian segera turun dari mobilnya dan mendekat
padaku. Aku berusaha untuk tetap menghindarinya.
“tunggu… kamu sebaiknya ikut dengangku”. Katanya
sambil menarik lenganku. Aku berusaha melepaskn tangannya. Tapi, genggamannya
sangat kuat. “maaf Dok, tapi dokter tidak usah mengantar aku pulang. Temanku
mau menjemputku”. Kataku berusaha mencari alasan.
“tidak baik cewek menunggu sendirian ditempat yang
sepi seperti ini. sudah cepat naik”. Diapun menarikku menuju kemobilnya. aku
hanya pasrah dan mengikutinya.
“aku mau minta maaf karena masalah tadi siang”.
Katanya memulai pembicaraan setelah kami berada didalam mobil. “itu bukan salah
dokter tapi memang salahku. Seharusnya aku memang mengusul resep itu. Itu yang
di ajarkan dikampusku”. Kata agak kaku. Untuk pertama kalinya aku melihat dia
tersenyum dan ternyata dia sangat tampan kalau tersenyum seperti itu.
Malaikatpun akan jatuh cinta kalau melihat senyum manisnya itu. “tapi, aku juga
tidak seharusnya memarahi kamu didepan pegawai-pegawai apotek tadi. Sebagai
permintaan maafku, aku akan menteraktir kamu makan malam”. diapun menatapku sambil
tetap memasang senyum manisnya itu. Entah mengapa jantungku terasa berdegup
lebih kencang. “ti..tidakk usah Dok, aku masih kenyang”. Aku berusaha mencari
alasan lagi. “kamu tidak usah segugup itu kalau bicara sama aku. Aku tidak akan
memakan kamu. Walaupun saat ini aku sangat lapar. Hahaha”. Senyumnyapun berubah
menjadi tawa yang sangat riang membuatku terkesima dan hampir meleleh bagaikan
es krim ditengah teriknya matahari.
“itu bunyi
perut kamu?”. Kata Dr.Alfian ketika mendengar suara aneh dari perutku. Sepertinya
perutku tidak bisa kompromi. Cacing-cacing diperutku seakan berdemo karena aku
menolak makanan gratis. Mungkin mereka tidak setuju atas kebijakanku tadi.
“hehehe… iya”. Aku hanya tersenyum berusaha menutupi rasa Maluku. “kalau begitu
kita makan dulu, sebelum pulang. kamu tidak usah pura-pura lagi”. Katanya
dengan senyum manisnya yang masih menghiasi wajah super gantengnya itu.
“terima kasih Dok, atas teraktirannya dan untuk kedua
kalinya telah mengantar aku pulang”. kataku pada Dr.Alfian ketika sudah sampai
didepan rumahku. “iya… aku juga mau minta maaf soal masalah tadi” jawabnya.
Entah mengapa aku merasa sifatnya malam ini sangat beda dengan sifatnya
kemarin-kemarin. Dia terlihat lebih ramah dan hangat. Aku juga merasa lebih
nyaman ketika didekatnya.
Sudah seminggu aku magang. Dan sudah seminggu juga aku
dekat dengan Dr.Alfian. dia selalu mengantarku pulang dan entah mengapa setelah
kejadian itu dia selalu lebih ramah padaku dan tidak pernah lagi memarahiku.
Akupun merasa selalu nyaman ketika berada didekatnya. Dan rasanya selalu ingin
bersamanya. “HEI… malamun aja”. Teriakan Tia mengagetkanku. “mengganggu aja…
lagiankan tidak ada UU yang melarang kita untuk melamun, kenapa jadi kamu yang
sewot”. Kataku sangat kesal. Tia hanya tertawa melihat ekspresiku. “sensi
banget sih, datang bulan yah”. katanya berusaha mencairkan suasana. “tidak kok.
Aku lagi mikirin Dr.Alfian aja” kataku keceplosan, akupun segera menutup
mulutku dan aku berharap dia tidak mendengarkan perkataanku tadi. Tia metapku
dengan wajah kebingungan, kemudian ekpsresinya berubah dan dia menertawakanku.
“hahaha… ternyata kamu lagi kasmaran sama Dr.galak itu. Pantas saja kamu
berubah akhir-akhir ini”. dia terlihat sangat puas menertawakanku. Karena sudah
terlanjur mengatakannya, akupun mengutarakan semuanya pada Tia.
“sebaiknya kamu bilang saja kalau kamu suka sama dia.
aku yakin pasti dia juga suka sama kamu”. Saran Tia setelah mendengarkan
ceritaku. Sehabatku ini memang selalu memberikan solusi ketika aku ada masalah
walaupun terkadang solusinya tidak masuk akal.
“akukan cewek, masa aku yang harus bilang duluan”.
Akupun segera menolak saran Tia. “dari pada dia pindah kelain hati, mending
kamu duluan yang ngomong”. Kata-kata Tia tersebut membuatku sedikit takut.
“kalau dia pindah kelain hati berarti dia memang tidak suka sama aku”. Seruku
agak putus asa. “terserah… tapi, jangan menyeasal kalau itu benar-benar
terjadi”. Kata Tia Tegas.
Aku masih kepikiran akan kata-kata Tia. Hal ini
membuatku tidak konsen kerja di Apotek. “Dewi…”. Teriak sesorang dari luar
ruangan Apotek. Aku segera mencari sumber suara itu dan ternyata itu adalah
Suster Hikmah. “ada apa Sus?” tanyaku ketika sudah berada dikekatnya. “ini
untuk kamu”. Dia menyodorkan sebuah kertas. “apa ini?”. tanayaku lagi agak
heran. “aku juga tidak tahu yang jelas, aku Cuma disuruh untuk menyerahkan
padamu”. Serunya agak tergesa-gesa. “ini dari siapa?” tanyaku lagi. “sudah dulu
yah, ada pasien yang harus aku rawat”. Diapun segera pergi tanpa menjawab
pertanyaanku.
Aku mengamati kertas yang ada ditanganku ini. aku
membukanya secara perlahan-lahan. “Dewi… cepat kembali bekerja. banyak pasien
yang lagi mengantri”. Tegur kak Fani. Aku mengurungkan niatku untuk membacanya
dan kertas itu segera aku masukkan kedalam tasku. Dan akupun segera mengerjakan
resep-resep itu.
“Kak, aku ke toilet dulu yah”. Kataku pada Kak fani
yang kelihatan sangat sibuk. “iya, tapi cepat yah”. “siip Kak”. Jawabku.
Diperjalanan menuju toilet, aku melihat Dr.Alfian. tapi,
ternyata dia tidak sendirian. Dia bersama seorang wanita. Kualihkan pandanganku
pada wanita itu, mereka terlihat sangat mesra. Dadaku terasa sesak, dan pipku
tiba-tiba basah. Aku segera berlari menuju toilet dan mengambil jalan lain agar
aku tidak berpapasan dengan mereka. Apakah ini yang dimaksud Tia. Secepat
itukah dia berpindah kelain hati. Pikirku, aku tidak bisa menahan air mataku
yang mengalir begitu deras. Kucoba menarik nafas dalam-dalam dan menenangkan
pikiranku. Kuhapus air mataku tapi mataku masih sangat merah. Dan badanku
serasa sangat lemas.
“kenapa lama sekali?”. Tanya Kak fani. Aku hanya
terdiam dan berusaha menutupi mataku yang merah. “kenapa kamu tiba-tiba pucat?”
Tanya lagi dengan wajah yang sangat cemas. Aku hanya berusaha tersenyum.
“sebaiknya kamu pulang saja kalau tidak enak badan”. “tidak usah Kak, aku tidak
apa-apa”. Kataku. Tapi melihat kondisiku yang tampak tidak sehat, mereka
memaksaku untuk pulang. akhirnya aku menuruti permintaan mereka.
“thanks Ya Tia. Kamu sudah mau menjemputku”. Seruku
pada Tia. Dia memang sahabat yang sangat baik. Dia selalu ada setiap aku membutuhkannya.
Seperti saat ini. “kamu kanapa? Perasaan tadi pagi kamu sehat-sehat saja”.
Katanya agak cemas ketika melihat kondisiku yang sangat berantakan. “ternyata
kamu benar, dia benar-benar berpindah kelain hati”. Kataku putus asa. “maksud
kamu Dr.Alfian?”. tanyanya dengan wajah yang kebingungan. “iya… aku melihat dia
jalan dengan wanita dirumah sakit. Mereka terlihat sangat mesrah. Pasti wanita
itu adalah pacarnya”. Kataku lagi denga penuh emosi. “darimana kamu tahu kalau
dia pacarnya Dr.Alfian? Dia mengenalkannya padamu?” tanyanya dengan santai. Ini
adalah salah satu kelebihan Tia, dia selalu tampak santai walaupun aku sudah
sangat emosi. sifatnya ini selalu bisa mengimbangi sifatku yang cepat terbawa
emosi.
“kenapa diam? Kamu tidak yakinkan dengan kecurigaanmu
itu”. Betul juga kata Tia, cewek itu belum tentu pacarnya. “tapi, kenapa dia
terlihat sangat mesrah”. Kataku tidak mau kalah. “hahaha… ternyata kamu
benar-benar jatuh cinta pada Dr.galak itu. Seharusnya kamu tidak usah secemburu
itu. Merunutku Dr.galak itu juga suka sama kamu”. Seru Tia mencoba menghiburku.
Tapi, aku masih kesal padanya.
Kepalaku masih terasa sangat berat, mungkin ini efek
dari tangisku semalam suntuk. Kucoba mengambil HPku. Aku baru ingat kalau aku
mematikannya sebelum aku tidur. Aku segera memeriksa inbox pesanku. Dan
ternyata inboxku dipenuhi pesan dari Dr.Alfian. akupun membuka satu persatu
pesan itu.
KAMU TIDAK APA-APAKAN?. Pesan itu dikirim sebanyak 20
kali. Buat apa kamu menayakan keadaanku. Pikirku.
JAWAB TELEPONKU. AKU SANGAT KHAWATIR. Pesan
berikutnya.
AKU AKAN SEGERA KERUMAH KAMU. Akupun kaget, apakah dia
benar-benar kesini tadi malam. Pasti dia Cuma berbohong. Dan kuputuskan untuk
tidak membaca pesan-pesan berikutnya.
“Wi, kamu sudah baikan?” Tanya Tia yang baru datang.
Sudah dua hari ini aku izin dari kampus dan tempat magang. “menurut kamu?”
tanyaku balik. “menurutku kamu harus bicara sama Dr.galak itu. Kamu masih
kelihatan tidak sehat”. Perkataan Tia membuat aku kaget. “sebaiknya kamu tidak
usah membahas dia lagi, aku tidak ingin sakit hati lagi. Aku tidak ingin
terjebak dengan perasaan ini lebih dalam lagi”. Kataku berusaha mengalihan pembicaraan.
Tia hanya diam, tampaknya dia sudah memahami perasaanku.
“hari ini kamu mau masuk magang?” tanyanya lagi. “iya…
tapi, kamu jemput aku yah”. Kataku sedikit memaksa. “malas..” jawabnya. Melihat
ekspresiku terlihat kesal Tiapun tertawa. Dan itu artinya dia mengiyakan
permintaanku.
Perasaanku saat ini seperti pertama kali aku magang.
Aku juga berharap semoga aku tidak bertemu dengan Dr.Alfian. aku merasa belum
siap untuk menatap wajahnya. “Dewi… tunggu” teriak seseorang yang suaranya
sudah tidak asing lagi ditelingaku. “apa kamu sudah sehat?” tanyanya lagi
ketika kami sudah berhadapan. Aku hanya diam dan menunduk. Diapun memegang jidatku untuk
memastikan suhu tubuhku. “kelihatan masih cukup panas. Kamu seharusnya tidak
usah masuk magang dengan kondisi seperti ini. sini ikut aku, biar aku periksa
kamu”. Dr.Alfian menarik tanganku, dia terlihat sangat khawatir. “tidak, aku
tidak apa-apa. Aku harus segera keapotek”. Kataku sambil melepaskan tangan
Dr.Alfian. “tapi…”. “sudalah, aku baik-baik saja”. Kataku dengan nada dingin.
Dia terlihat bingung dengan sikapku ini.
Sepertinya biasanya aku berdiri ditrotoar dan menunggu
Tia untuk menjumputku. Tapi, yang datang ternyata Dr.Alfian. “aku antar kamu
pulang yah”. Pintanya setelah menghentikan mobilnya tepat dihadapanku. “tidak
usah Dok, temanku mau menjumputku”. Kataku berusaha menghindar. “kenapa
akhir-akhir ini kamu selalu menghidariku?” Tanya lagi. Aku hanya terdiam. Dan
untungnya Tia tiba-tiba datang. Akupun segera naik kemobilnya, tanpa berkata
apa-apa Dr.Alfian.
“Tia cepat jalankan mobilnya, aku tidak bisa
melihatnya lebih lama lagi”. Pintaku pada Tia. Diapun segera melajukan mabilnya.
“huft, dadaku terasa sesak”. Kataku ketika mobil Tia sudah berada agak jauh
dari mobil Dr.Alfian. “itu tandanya kamu masih sangat suka padanya. Kenapa sih
kamu tidak mengatakan yang sejujurnya”. “akukan sudah bilang, aku tidak mau
punya urusan lagi sama dia”. kataku berusaha mencari alasan.
“Wi, sepertinya
mobil Dr.Alfian mengikuti kita”. seru Tia agak kaget ketika melihat mobil
Dr.Alfian dikaca mobilnya. “ya sudah… cepat ngebut… pokoknya aku tidak mau
bertemu dia”. seru sambil memaksa Tia. Tia segera menginjak gas mobilnya dan
mobil itu melaju lebih kencang.
Tapi, Dr.Alfian tetap mengejar, bahkan dia menyalip
mobil Tia. Tia segera menginjak Rem mobilnya ketika mobil Dr.Alfian berhenti
secara tiba-tiba tepat didepan kami.
“Hei… kamu sudah gila yah”. Teriak Tia pada Dr.Alfian.
Dr.Alfian seperti tidak mempedulikan perkataan Tia dan diapun segera turun dari
mobilnya. “Dewi… buka pintunya”. Seru Dr.Alfian sambil menggedor-gedor kaca
mobil Tia. Aku hanya diam membeku didalam mobil itu. “Wi, sebaiknya kamu segera
menemui dia”. Seru Tia berusaha menyadarkanku. Aku menurunkan kaca mobil dengan
tangan yang gemetar. “tidak ada lagi yang harus kita bicarakan”. Kataku dengan
suara serak dan air matakupun mengalir sangat deras. “tapi banyak yang ingin
aku katakan pada kamu. Aku mohon kamu dengarkan aku dulu”. Serunya dengan
memohon-mohon padaku. Aku sungguh tidak tega melihatnya. Akupun segera turun
dari mobil Tia. Dr.Alfianpun memegang tanganku dan membawaku kemobilnya. “aku
pinjam teman kamu dulu”. Katanya pada Tia sebelum menuju kemobilnya. “aku tidak
akan melepaskanmu kalau dia sampai ada apa-apa”. Ancam Tia.
“apa yang ingin kamu katakan?” tanyanyaku ketika
berada dimobil. “kenapa kamu selalu menghindari aku. Apakah karena Resep itu?”.
Tanyanya balik. Akupun bingung, apa maksudnya dengan resep itu. “aku tidak
mengerti dengan ucapan kamu”. Kata agak jutek. “kalau kamu memang tidak mau
menerimah aku, kamu cukup mengatakan tidak. Aku juga tidak akan memaksa kamu”.
Perkataannya tersebut semakin membuatku bingung. Aku mengalihkan pandanganku
padanya. “aku sungguh tidak mengerti dengan maksud kamu”. “apa kamu sudah
membaca resep itu?” tanyanya dengan kesal. “setiap hari aku selalu baca resep
obat. Memangnya ada apa dengan resep-resepnya? Apa aku salah kasih obat lagi?”.
Tanyaku benar-benar kebingungan.
“maksud aku bukan itu, tapi. Resep dari suster
Hikmah”. Tampaknya Dr.Alfian semakin kesal. Akupun mencoba mengingat hal
tersebut. “ooo.. ternyata kertas itu adalah resep, sepertinya, aku belum
membacanya. jadi kamu pasti marah gara-gara aku belum menyiapkan obatnya. Aku
sangat minta maaf Dok”. Kataku lagi. Aku pikir dia bertindak seperti tadi pasti
karena marah padaku. Aku memang sangat cerobah.
“sudalah sebaiknya kamu baca dulu resepnya”. Kata
Dr.Alfian tampak frustasi. Akupun segera mencari resep itu. Sengingatku resep
itu kumasukkan kedalam tas ini. setelah kuobrak abrik isi tasku, akupun
menemukan resep itu. Yang pertama kali kulihat yaitu pro: Mihi ipsi. Jadi ini
resep untuknya. Setelah mengamatinya lebih mendalam akupun tersenyum dan
mengalihkan pandanganku pada Dr.Alfian. wajahnya terlihat merah dan dia berusaha
untuk menutupinya. “kamu tidak usah melihat aku seperti itu, aku jadi malu”.
Katanya sambil tersenyum. Diapun menepikan mobilnya. Dan berhenti di jembatan.
Entah mengapa pemandangan malam ini sangat indah, lampu-lampu dijemabatan
menambah suasana semakin romantis. Perlahan-lahan Dr.Alfianpun memegang
tanganku. Jantungku terasa berdegup 100 kali lipat lebih cepat dari biasanya.
“Apakah kamu bersedia meracik resep itu untukku?”
Tanya dengan tatapan sangat tajam. Angin malam
terasa berhembus sangat dingin tapi tangan Dr.Alfian mampu menghangatkanku.
“ sebenarnya agak sulit untuk meracik resep ini”.
seruku sambil memegang resepnya. Terlihat wajah Dr.Alfian berubah menjadi
murung. “Tapi…sebagai calon Apoteker yang baik, aku akan berusaha meraciknya
untukmu”. Diapun tersenyum, seketika dia menarikku kepelukannya. Akupun
membalas pelukan hangatnya tersebut.
“I LOVE YOU” bisiknya pada telingaku. Aku hanya tersenyum
dan memeluknya lebih erat.
CATATAN KHUSUS :
RESEP
Dr.Alfian
R/ kasih sayang 100 %
Kepercayaan 90 %
Kerinduan 87 %
Cinta
ad 100 %
m.f. perasaanku
dalam hatimu
s.dd. dalam pikiran dan hatimu
Pro : MIHI IPSI
Umur : 25 thn
Aku
harap kamu mau meracik resep ini unntukku, mengisi kekosongan yang ada
dalam hatiku. I LOVE U
|
Ø Uraian
resep
·
R/ =
Recipe = ambillah
ad = ad = sampai
m = misce= campur
f = fac = buat
·
s =
signa = tandai
·
t = ter = tiga
dd = de die = tiap hari
Ø
Mihi Ipsi :
diri sendiri (Dr.Alfian)