Saturday 17 October 2015

JURNAL IMUNOLOGI



ANAFILAKSIS
A.      Pengertian Anafilaksis
Anafilaksis adalah suatu respons klinis hipersensitivitas yang akut, berat dan menyerang berbagai macam organ. Reaksi hipersensitivitas ini merupakan suatu reaksi hipersensitivitas tipe cepat (reaksi hipersensitivitas tipe I), yaitu reaksi antara antigen spesifik dan antibodi spesifik (IgE) yang terikat pada sel mast. Sel mast dan basofil akan mengeluarkan mediator yang mempunyai efek farmakologik terhadap berbagai macam organ tersebut. Selain itu dikenal pula istilah reaksi anafilaktoid yang secara klinis sama dengan anafilaksis, akan tetapi tidak disebabkan oleh interaksi antara antigen dan antibodi. Reaksi anafilaktoid disebabkan oleh zat yang bekerja langsung pada sel mast dan basofil sehingga menyebabkan terlepasnya mediator.
Rangsangan sel mast yang menyebabkan pelepasan mediator.
Secara imunopatologik reaksi anafilaksis dan reaksi anafilaktoid dibagi menjadi reaksi anafilaksis yang diperankan oleh IgE atau IgG, reaksi anafilaktoid karena lepasnya mediator secara langsung misalnya oleh obat, makanan, agregasi kompleks imun seperti reaksi terhadap globulin, IgG antiIgA, reaksi transfusi karena pembentukan antibodi terhadap eritrosit atau leukosit, dan reaksi yang diinduksi prostaglandin oleh pengaruh aspirin atau obat lain.
Secara klinis gejala anafilaksis dapat berupa reaksi lokal dan reaksi sistemik. Reaksi lokal terdiri dari urtikaria dan angioedema pada daerah yang kontak dengan antigen. Reaksi lokal dapat berat tetapi jarang sekali fatal. Reaksi sistemik terjadi pada oragan target seperti traktus respiratorius, sistem kardiovaskular, traktus gastrointestinalis, dan kulit. Reaksi ini biasanya terjadi dalam waktu 30 menit sesudah kontak dengan penyebab.
B.       Gejala Anafilaksis
Gejala awal reaksi sistemik ringan adalah rasa gatal dan panas di bagian perifer tubuh, biasanya disertai perasaan penuh dalam mulut dan tenggorokan. Gejala permulaan ini dapat disertai dengan hidung tersumbat dan pembengkakan peri orbita. Dapat juga disertai rasa gatal pada membran mukosa, keluarnya air mata, dan bersin. Gejala ini biasanya timbul dalam 2 jam sesudah kontak dengan antigen. Lamanya gejala bergantung pada pengobatan, umumnya berjalan 1-2 hari atau lebih pada kasus kronik.
Gejala yng biasanya terjadi adalah adanya tonjolan di kulit (kaligata), gatal-gatal, wajah dan kulit kemerahan (flushing), atau bibir yang membengkak.Bila mengalami pembengkakan di bawah kulit (angioedema), pasien tidak merasa gatal tetapi kulitnya terasa seperti terbakar. Pembengkakan lidah atau tenggorokan juga dapat terjadi.Gejala lain adalah hidung berair dan pembengkakan membran mukosa pada mata dan kelopak mata (konjungtiva).Kulit mungkin juga kebiruan (sianosis) akibat kekurangan oksigen.

Gejala yang biasanya terjadi pada organ pernafasan adalah terasa sesak. Kemudian akan terjadi perubahan suara, menjdi lebih tinggi (mengi) ataupun lebih rendah. Hal ini disebabkan karena penyempitan saluran napas. Suara serak, nyeri saat menelan, atau batuk juga dapat terjadi.

Gejala yang terjaid pada jantung biasanya adalah  pembuluh darah jantung yang berkontraksi secara tiba-tiba (spasme arteri koroner) karena adanya pelepasan histamin oleh sel tertentu di jantung. Keadaan ini mengganggu aliran darah ke jantung, dan dapat menyebabkan kematian sel jantung (infark miokardium), atau jantung berdetak terlalu lambat atau terlalu cepat (distrimia jantung), atau bahkan jantung dapat berhenti berdetak sama sekali (henti jantung). Kemudian tekanan darah pun dapat merendah yang diakibatkan oleh  melebarnya pembuluh darah (syok distributif).



C.      Penyebab Anafilaksis
Anafilaksis dapat disebabkan oleh respons tubuh terhadap hampir semua senyawa asing. Pemicu yang sering antara lain bisa dari gigitan atau sengatan serangga, makanan, dan obat-obatan.Makanan merupakan pemicu tersering pada anak dan dewasa muda. Obat-obatan dan gigitan atau sengatan serangga merupakan pemicu yang sering ditemukan pada orang dewasa yang lebih tua. Penyebab yang lebih jarang di antaranya adalah faktor fisik, senyawa biologi (misalnya air mani), lateks, perubahan hormonal, bahan tambahan makanan (misalnya monosodium glutamat dan pewarna makanan), dan obat-obatan yang dioleskan pada kulit (pengobatan topikal). Olahraga atau suhu (panas atau dingin) dapat juga memicu anafilaksis dengan membuat sel tertentu (yang dikenal sebagai sel mast) melepaskan senyawa kimia yang memulai reaksi alergi.
 Anafilaksis karena berolahraga biasanya juga berkaitan dengan asupan makanan tertentu. Bila anafilaksis timbul saat seseorang sedang dianestesi (dibius), penyebab tersering adalah obat-obatan tertentu yang ditujukan untuk memberikan efek melumpuhkan (obat penghambat saraf otot), antibiotik, dan lateks. Pada 32-50% kasus, penyebabnya tidak diketahui (anafilaksis idiopatik).
D.      Ciri-Ciri Anafilaksis
Ciri-Ciri: Bila muncul salah satu dari tiga gejala di bawah ini dalam waktu beberapa menit/jam setelah seseorang terpapar suatu alergen, kemungkinan besar orang tersebut mengalami anafilaksis:
  1. Gejala pada kulit atau jaringan mukosa bersamaan dengan sesak napas atau tekanan darah rendah
  2. Terjadinya dua atau lebih gejala berikut ini:
a.       Gejala pada kulit atau mukosa
b.      Sesak napas
c.       Tekanan darah rendah
d.      Gejala saluran cerna
  1. Tekanan darah rendah setelah terpapar alergen tersebut
Bila seseorang memberikan reaksi berat setelah tersengat serangga atau minum obat tertentu, pemeriksaan darah untuk menguji kadar tryptase atau histamin (yang dilepaskan oleh sel mast) akan sangat membantu dalam mendiagnosis anafilaksis. Namun, pemeriksaan ini tidak akan bermanfaat apabila penyebabnya adalah makanan atau bila tekanan darah tetap normal, dan pemeriksaan tersebut tidak dapat menyingkirkan diagnosis anafilaksis.


E.  Mekanisme Kerja  Anafilaksis
Mekanisme Kerja Anafilaksis adalah suatu reaksi alergi berat yang terjadi dengan tiba-tiba dan memengaruhi banyak sistem tubuh. Hal ini disebabkan oleh pelepasan mediator inflamasi dan sitokinesis dari sel mast dan basofil. Pelepasan ini biasanya merupakan suatu reaksi sistem imun, tetapi dapat juga disebabkan kerusakan pada sel-sel ini yang tidak berkaitan dengan reaksi imun.

Imunologi

Ketika anafilaksis tidak disebabkan oleh respons imun, imunoglobulin E(IgE) berikatan dengan materi asing yang menyebabkan reaksi alergi (antigen). Kombinasi antara IgE yang berikatan dengan antigen mengaktifkan reseptor FcεRI pada sel mast dan basofil. Sel mast dan basofil bereaksi dengan melepaskan mediator inflamasi seperti histamin. Mediator ini meningkatkan kontraksi otot polos bronkus, menyebabkan pelebaran pembuluh darah (vasodilatasi), meningkatkan kebocoran cairan dari dinding pembuluh darah, dan menekan kerja otot jantung. Diketahui pula suatu mekanisme imunologi yang tidak bergantung pada IgE, tetapi belum diketahui apakah hal ini terjadi pada manusia.

Non-imunologi

Ketika anafilkasis tidak disebabkan oleh respons imun, reaksi ini disebabkan oleh adanya faktor yang secara langsung merusak sel mast dan basofil, sehingga keduanya melepaskan histamin dan senyawa lain yang biasanya berkaitan dengan reaksi alergi (degranulasi). Faktor yang dapat merusak sel ini di antaranya zat kontras untuk sinar-x, opioid, suhu (panas atau dingin), dan getaran.
F.       Cara Mengatasinya
Cara yang dianjurkan untuk mencegah anafilaksis adalah menghindari segala sesuatu yang sebelumnya pernah menyebabkan reaksi. Bila sulit, ada beberapa obat yang mungkin bisa mencegah tubuh bereaksi terhadap alergen tertentu (desensitisasi). Pengobatan sistem imun (imunoterapi) dengan bisa Hymenoptera efektif menurunkan sensitivitas (desensitisasi) hingga 80–90% pada orang dewasa dan 98% pada anak terhadap alergi lebah, tawon, tabuhan, tawon yellowjacket, dan semut api. Imunoterapi oral sebenarnya cukup efektif untuk desensitisasi pasien terhadap makanan tertentu seperti susu, telur, kacang-kacangan dan kacang; namun cara ini seringkali menyebabkan efek samping yang tidak baik. Desensitisasi juga mungkin dilakukan untuk berbagai macam obat, namun sebagian besar pasien sebaiknya cukup menghindari menggunakan obat yang menyebabkan masalah tersebut. Bagi mereka yang alergi terhadap lateks, sangat penting menghindari makanan yang mengandung bahan-bahan yang menyerupai bahan penyebab reaksi imun (makanan yang dapat bereaksi silang), antara lain alpukat, pisang, dan kentang, selain makanan lainnya
Jika telah terjadi, segera minum obat yang biasa dikonsumsi untuk mengurangi reaksi alergi, dalam kondisi darurat medis maka diperlukan tindakan penyelamatan jiwa seperti penanganan jalan napas, pemberian oksigen, cairan infus intravena dengan volume besar, serta pengawasan ketat. Epinefrin adalah obat pilihan. Antihistamin dan steroid seringkali digunakan bersama dengan epinefrin. Bila pasien sudah kembali normal, ia harus tetap dipantau di rumah sakit selama 2 sampai 24 jam untuk memastikan bahwa gejala tidak muncul kembali, seperti yang terjadi pada anafilaksis bifasik.

Epinefrin

Epinefrin (adrenalin) adalah obat pilihan pada anafilaksis. Tidak ada alasan untuk tidak menggunakan obat ini (tidak ada kontraindikasi mutlak). Cara penggunaan yang dianjurkan yaitu injeksi larutan epinefrin ke otot di pertengahan paha sisi anterolateral segera setelah dicurigai terjadi reaksi anafilaksis. Penyuntikan dapat diulang setiap 5 sampai 15 menit bila orang yang bersangkutan tidak memberikan respons yang baik terhadap obat tersebut. Dosis kedua biasanya diperlukan pada 16 hingga 35% kasus. Jarang diperlukan pemberian lebih dari dua dosis. Penyuntikan ke dalam lapisan otot (injeksi intramuskular) lebih banyak dilakukan ketimbang suntikan ke bawah lapisan kulit (injeksi subkutan), karena penyerapan obat akan terlalu lama. Gangguan kecil akibat epinefrin antara lain gemetar, kecemasan, sakit kepala, dan berdebar-debar.
Epinefrin mungkin tidak akan bekerja pada orang yang minum obat penghambat reseptor beta. Dalam kondisi demikian, bila epinefrin tidak bekerja efektif, maka suntikan intravena glukagon bisa diberikan. Glukagon memiliki mekanisme aksi yang tidak melibatkan reseptor beta.
Bila perlu, epinefrin juga dapat disuntikkan melalui pembuluh vena (injeksi intravena) dengan larutan pengencer. Meski demikian, suntikan intravena eprinefrin sering dikaitkan dengan timbulnya irama detak jantung yang tidak teratur (disritmia) dan serangan jantung (infark miokard). Autoinjektor epinefrin yang bisa digunakan oleh orang dengan anafilaksis untuk menyuntik ke dalam otot sendiri, biasanya tersedia dalam dua dosis, satu untuk dewasa atau anak dengan berat badan lebih dari 25 kg dan satu lagi untuk anak dengan berat badan 10 sampai 25 kg.

Tata laksana tambahan

Antihistamin umumnya digunakan di samping epinefrin. Secara teori, antihistamin diduga lebih efektif namun sangat sedikit bukti yang menunjukkan bahwa antihistamin efektif dalam terapi anafilaksis. Kajian Cochrane pada tahun 2007 tidak menemukan adanya penelitian berkualitas baik yang dapat digunakan sebagai rujukan untuk merekomendasi obat tersebut. Antihistamin diyakini tidak membantu dalam mengatasi penumpukan cairan atau spasme/kram otot saluran napas. Kortikosteroid kemungkinan tidak akan berpengaruh apa-apa bila orang yang bersangkutan sedang mengalami anafilaksis. Kortikosteroid dapat digunakan dengan harapan untuk menurunkan risiko anafilaksis bifasik, namun tidak jelas efektivitasnya dalam mencegah reaksi anafilaksis berikutnya. Salbutamol yang diberikan melalui terapi inhalasi (nebulizer) mungkin efektif apabila epinefrin tidak berhasil menghilangkan gejala bronkospasme. Metilen biru juga sudah digunakan pada orang yang tidak responsif terhadap upaya lain, karena dapat melemaskan otot polos.







DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2015, (online), http://Anafilaksis - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas, diakses 04 januari 2015.
Indonesia medicine, (online), http://Manifestasi Klinis, Tanda dan Gejala Anafilaksis _ ALLERGY CLINIC online123, diakses 04 januari 2015.
Raiza, 2015, (online), http://ALERGI DAN SHOCK ANAFILAKSIS ~ Raiza's Blog, diakses 04 januari 2015.