Angin bertiup cukup kencang,
disertai guntur yang menggelegar. Jam sudah menunjukkan pukul 4 sore. Awan
hitam menggumpal menyelimuti langit. Aku hendak berlari keluar dari kampus
takut awan tidak mampu lagi menahan bebannya hingga menumpahkan ke Bumi.
Satu persatu titik-titik air
mengenai tubuhku, langkahku terhenti, akupun berbalik kearah kampus. Jika saja
aku punya motor aku pasti tiba dirumah lebih cepat.
Saat aku termenung, seseorang
tiba-tiba berhenti didekatku. Dia menyodorkan jas hujannya padaku, belum sempat
aku berterima kasih dia sudah beranjak pergi. Aku masih sempat melihatnya
menaiki motor lengkap dengan jaket dan helm di kepalanya. Diapun menembus hujan
yang semakin deras. Aku tidak mengenal
orang itu, jangankan tahu namanya. Melihatnyapun baru kali ini, itupun hanya
sekilas. Sebut saja dia Malaikat jas hujan.
Hari demi hari kulalui dengan
penasaran. Malaikat jas hujan itupun tidak pernah ku temui lagi. padahal aku
sudah mencuci bersih jas hujan ini lengkap dengan pewangi yang hampir sebotol
penuh aku tambahkan. Walaupun aku dianggap aneh oleh teman sekosku karena
mencuci jas hujan tapi demi pria misterius itu aku rela melakukannya. Aku
sangat berharap dapat bertemu lagi dengannya sambil menyerahkan jas hujan yang
sudah wangi ini. Setidaknya inilah tanda terima kasihku karena dia rela basah
kuyup demi aku.
Seminggu, dua minggu hingga tiga
bulan berlalu namun aku belum juga menemui pria itu. kampus ini tidaklah begitu
luas. Hampir setiap hari aku berkeliling kampus mengunjungi semua fakultas
namun ternyata sosoknya tidak pernah muncul. Aku ingin bertanya pada orang lain namun aku
tidak mengetahui namanya bahkan wajahnyapun tidak aku kenali. Hanya postur
tubuh tingginya yang membekas dalam ingatanku.
Ya Allah jika dia jodohku maka
dekatkanlah namun jika dia bukan jodohku maka pertemukanlah aku dengan dia
sekali saja, aku hanya ingin mengembalikan jas hujannya ya Allah. Tiba-tiba
kilat menyambar di langit, membuatku terkejut. Apakah doaku sudah didengar.
Tapi saat ini aku pesimis apakah bisa bertemu lagi dengannya.
Hujan kembali turun dengan deras
persis seperti saat aku bertemu dengan malaikat jas hujan itu. aku menatap
langit, hujannya semakin deras. Aku mengeluarkan jas hujan yang ada di tasku,
jas hujan ini selalu aku bawa kemana saja selama tiga bulan terakhir ini.
Aku menatapnya ragu, aku bahkan
tidak tega memakainya setelah aku mencucinya dengan penuh rasa bahagia.
Akhirnya kuputuskan untuk menyimpannya kembali. Baju basah tidak apa,
antibodiku juga masih kuat melawan penyakit yang menyerang tubuh. Aku hendak
melangkahkan kakiku, menerobos hujan. Tapi langkahku terhenti saat mendengar
suara berat dari belakang.
“kenapa jas hujannya tidak
dipakai?”. Tanya orang itu. aku berbalik menatapnya. Malaikat jas hujan. Hanya
itu yang ada dipikiranku, jantungku berpacu dengan cepat. Tiba-tiba aku merasa
sangat gerah.
“eee… takut jas hujannya basah”.
Lelaki itu tertawa memperlihatkan deretan gigi putihnya, membuat jantung
semakin berdegup kencang. Aku pikir wajahku sudah merah padam menahan malu.
Bodoh… jas hujankan memang ditakdirkan untuk basah.
“kamu lucu juga yah, aku
memberikan jas hujan itu supaya tubuhmu tidak basah terkena hujan”. Ucapnya
masih dengan sisa tawanya. Pikiranku mulai kacau, Apa yang tadi dia katakan, aku
lucu… akhhh seperti terbang menembus langit ketujuh bertemu dengan matahari
yang lagi tertidur. Makasih Ya Allah secepat itu doaku dikabulkan.
Akupun tersenyum malu-malu
kucing, memasang wajah seimut mungkin. “kalau begitu pakailah jas hujannya. Jas
hujan itu untukmu, aku juga sudah membeli jas hujan baru”. Dia menatapku sambil
tersenyum penuh keikhlasan. Seperti inikah wajah walaikat jas hujan itu, dia
tampak gagah dengan jenggotnya yang tipis, kaca matanya membuat lebih tampak
dewasa. apakah dia bukan mahasiswa? Mungkin saja dia dosen? Pertanyaan itu
menyerbu dipikiranku namun lidahku terlalu keluh untuk bertanya.
Seuasana seketika hening, hanya
bunyi hujan yang terdengar jelas ditelingaku. “ehm… namaku Irham, nama kamu
siapa?”. Dia kembali melemparkan senyum termanisnya. Jantungku sepertinya
benar-benar akan copot jika menyaksikan senyumnya sekali lagi.
“namaku Syifa Aryani, panggil
saja Syifa”. Aku berusaha menandingi senyumnya, tapi aku merasa senyumku
terlalu kaku. Dia mengalihkan pandangannya pada titik hujan yang menetes.
“maaf, apakah kamu mahasiswa
disini?”. Ucapku sedikit ragu. Dia mengalihkan pandangannya padaku, mata kami
berpapasan. Sungguh indah bola matanya yang seperti menyinarkan sinar kehidupan
untuk mengajak hidup bersama. Ya Allah aku kenapa sih, kenapa jadi gugup
seperti ini.
“ehm itu aku baru lulus tahun
kemarin”. Ucapnya singkat. Kami kembali terdiam. “kamu sudah semester berapa?”.
Tanyanya sambil terseyun, masih semanis senyum sebelumnya. Aku kembali gugup, apakah dia tidak bisa
mengurangi senyum manisnya itu, efek sampingnya membuat jantung berdetak tidak
beraturan.
“kok bengong, kamu bukan
mahasiswa sini yah?”. Kini wajahnya tampak bingung. “eee…aaa..eee… aku suk..
eee.. aku semester akhir, sekarang lagi sibuk mengerjakan skripsi”. Aku terlalu
gugup berada di dekatnya.
“aku antar pulang yah”. Akupun
mengangguk tanpa sadar. Aku tidak mengerti apa yang terjadi pada diriku saat
ini, kenapa begitu cepat menerimah tawaran cowok ini.
Akhirnya Irham mengantarku,
semenjak saat itu aku mulai dekat dengan dia. Aku bahkan sering konsultasi
skripsiku pada dia, berhubung karena dulunya dia juga mengambil jurusan farmasi
dan kabar yang lebih menakjubkan lagi, dia lulus dengan nilai cumlaude.
Kadang Irham menjadi galak saat
dia mebimbingku, bahkan dia lebih galak dari dosen pembimbingku. Dia selalu
tampak serius saat mengajarkan aku berbagai rumus dan perhitungan, dia bahkan
menghapal semua rumus kimia dari zat aktif senyawa obat. Itulah yang membuat
aku semakin kagum padanya. Dia benar-benar malaikat yang dikirm untukku, oh
malaikat jas hujanku.
aku merasa nyaman didekatnya, dia
menghadirkan nuansa berbeda dalam hidupku. Sikapnya yang tegas, cuek namun
sangat menghargaiku sebagai wanita. Dia tidak seperti lelaki kebanyakan yang
mendekati wanita dengan berbagai modus yang dilanjarkan, namun wanitalah yang
mendekat dengan kharisma yang dimilikinya. Tapi dia selalu menjaga jarak dengan
wanita dan aku merasa dia tidak menjaga jarak denganku. Dia selalu menyempatkan
waktu untuk membantuku mengerjakan skripsi.
Aku merasa Irham juga nyaman
berada didekatku, namun yang mengganggu pikiranku akhir-akhir ini adalah
kenyataan bahwa Irham akan segera melanjutkan S2nya di luar negeri.
Aku termenung menatap tetesan air
hujan, memori otakku memutar kembali pertemuanku dengan Irham. Kami di
pertemukan saat hujan dan mungkin kami akan berpisah saat hujan pula. Dia
menelponku kemarin, mengatakan bahwa hari ini adalah hari terakhir dia
membantuku mengerjakan skripsi. Secepat itukah kebersamaan kita.
Satu jam berlalu, dia belum
menapakkan dirinya. bulir-bulir hujan masih menetes menyisahkan gerimis.
Mungkin dia tidak ingin bertemu denganku lagi, buat apa aku menunggu sesuatu
yang tidak pasti dan tidak akan menjadi milikku. Aku bergegas berdiri dari
tempat dudukku, menatap sekitar yang ternyata sudah sunyi.
“tunggu…”. Teriak Irham dari
belakang. Kuhentikan langkahku, namun aku tidak ingin menatap wajahnya.
“maaf, aku terlambat. Tadi
motorku mogok karena banjir”. Aku mendengar suaranya yang sedikit gemetaran,
aku masih tidak ingin berbalik kearahnya. Aku mendengar langkahnya mendekat
kearahku. Diapun berdiri tepat dihadapanku.
“Syifa aku ingin menjelaskan
sesuatu padamu”. Aku menunduk tidak ingin menatap wajahnya, kulihat air menetes
di celana kainnya. Aku menatap ujung kaki hingga ujung kepalanya. Ya Allah dia
basah kuyup.
“kenapa kamu bisa basah seperti
ini?”. Aku menjadi khawatir saat melihatnya. dia hanya tersenyum.
“aku baik-baik saja, maafkan aku
karena terlambat menemuimu”. Ucapnya masih tersenyum, aku khawatir seperti ini
namun dia malah tersenyum.
“sebaiknya kamu pulang saja, aku
tidak ingin kamu sakit karena basah kuyup. Lain kali saja kita bertemu”. Akupun
berjalan menjauh darinya, bukannya pergi Irhampun mengejarku.
“Tunggu Syifa, aku tidak punya
waktu lagi. besok sore pesawatku akan berangkat. Sebelum terlambat aku ingin
menjelaskan semuanya padamu”. Langkahku kembali terhenti, tiba-tiba air bening
mengalir di pelupuk mataku.
“pergi saja jika kamu ingin
pergi, tidak usah mempedulikan aku”. teriakku padanya. Dia tertunduk lesuh,
tampak sinar kekecewaan dimatanya.
“Jika kamu siap menikah maka aku
akan melamarmu dan menunda kuliah S2ku”. Ucapannya itu membuatku terpaku.
Aku bingung harus menajawab apa,
jujur aku belum siap untuk menikah. tapi aku tidak bisa menunggu tanpa kepastian
seperti ini tanpa ada ikatan sebuah
hubungan.
“mungkin kamu bertanya, kenapa
aku tidak mengajak kamu pacaran? asal kamu tahu, aku begitu menghargaimu hingga
tidak ingin mengikatmu dalam ikatan yang semu”.
Aku menatapnya takjub. “aku tidak bisa jika
menikah secepat ini, aku belum mengenalmu dan keluargamu. Bahkan baru sebulan
kita berkenalan”. Ucapku sedikit ragu. Dia terdiam cukup lama.
Diapun menatapku kembali sambil
tersenyum. “baiklah kalau begitu, aku akan melanjutkan kuliahku di luar negeri.
Mungkin kita tidak akan bertemu dalam waktu yang cukup lama. Tapi ingat jarak
ini bukan untuk menghukumku ataupun menghukummu tapi untuk menjaga kamu dan
aku”. diapun berlalu pergi dengan
kekecewaan yang terpancar diwajahnya.
Air mataku tiba-tiba mengalir,
inikah pertemuan terakhir itu. tanpa kusadari Irham berbalik menatapku. Dia
mendekat kembali kearahku. “sebenarnya mungkin ini yang dinamakan jatuh cinta,
tapi aku belum berhak mengucapkan itu padamu. Aku akan mencari kamu jika
waktunya sudah tepat, maafkan aku karena membuatmu terjebak dalam perasaanku.
Maafkan aku karena mencintaimu diwaktu yang tidak tepat”. Diapun tersenyum, aku
berusaha membalas senyumnya.
Hatiku perih, perasaanku kacau.
Malaikat jas hujanku telah pergi dan tidak tahu kapan dia akan kembali. Kami
sepakat untuk tidak saling menghubungi, sepakat untuk tidak saling mengikat
janji agar tidak ada harapan dan tidak ada yang saling menyakiti.
Memutus kontak, tapi bukan
silaturahmi hanya berusaha untuk saling menjaga hati. Dan pada akhirnya aku belajar untuk percaya bahwa jika dia
jodohku pasti kami akan dipertemukan kembali kalaupun tidak bertemu, berarti
dia bukanlah jodohku.
Terima kasih Malaikat jas hujan
telah mengajarkanku tentang bagaimana mencintai dengan tepat. Tidak mengajakku untuk
berpacaran. Bukannya tidak bisa karena harus LDRan tapi karena takut pada
Allah, sebab kami sadar pacaran itu dilarang. Semoga aku dan kamu menjadi kita
yang dibalut dalam ikatan yang halal.