Sunday 7 February 2016

Malaikat Jas Hujan



Angin bertiup cukup kencang, disertai guntur yang menggelegar. Jam sudah menunjukkan pukul 4 sore. Awan hitam menggumpal menyelimuti langit. Aku hendak berlari keluar dari kampus takut awan tidak mampu lagi menahan bebannya hingga menumpahkan ke Bumi.
Satu persatu titik-titik air mengenai tubuhku, langkahku terhenti, akupun berbalik kearah kampus. Jika saja aku punya motor aku pasti tiba dirumah lebih cepat.
Saat aku termenung, seseorang tiba-tiba berhenti didekatku. Dia menyodorkan jas hujannya padaku, belum sempat aku berterima kasih dia sudah beranjak pergi. Aku masih sempat melihatnya menaiki motor lengkap dengan jaket dan helm di kepalanya. Diapun menembus hujan yang semakin deras.  Aku tidak mengenal orang itu, jangankan tahu namanya. Melihatnyapun baru kali ini, itupun hanya sekilas. Sebut saja dia Malaikat jas hujan.
Hari demi hari kulalui dengan penasaran. Malaikat jas hujan itupun tidak pernah ku temui lagi. padahal aku sudah mencuci bersih jas hujan ini lengkap dengan pewangi yang hampir sebotol penuh aku tambahkan. Walaupun aku dianggap aneh oleh teman sekosku karena mencuci jas hujan tapi demi pria misterius itu aku rela melakukannya. Aku sangat berharap dapat bertemu lagi dengannya sambil menyerahkan jas hujan yang sudah wangi ini. Setidaknya inilah tanda terima kasihku karena dia rela basah kuyup demi aku.
Seminggu, dua minggu hingga tiga bulan berlalu namun aku belum juga menemui pria itu. kampus ini tidaklah begitu luas. Hampir setiap hari aku berkeliling kampus mengunjungi semua fakultas namun ternyata sosoknya tidak pernah muncul. Aku  ingin bertanya pada orang lain namun aku tidak mengetahui namanya bahkan wajahnyapun tidak aku kenali. Hanya postur tubuh tingginya yang membekas dalam ingatanku.
Ya Allah jika dia jodohku maka dekatkanlah namun jika dia bukan jodohku maka pertemukanlah aku dengan dia sekali saja, aku hanya ingin mengembalikan jas hujannya ya Allah. Tiba-tiba kilat menyambar di langit, membuatku terkejut. Apakah doaku sudah didengar. Tapi saat ini aku pesimis apakah bisa bertemu lagi dengannya.
Hujan kembali turun dengan deras persis seperti saat aku bertemu dengan malaikat jas hujan itu. aku menatap langit, hujannya semakin deras. Aku mengeluarkan jas hujan yang ada di tasku, jas hujan ini selalu aku bawa kemana saja selama tiga bulan terakhir ini.
Aku menatapnya ragu, aku bahkan tidak tega memakainya setelah aku mencucinya dengan penuh rasa bahagia. Akhirnya kuputuskan untuk menyimpannya kembali. Baju basah tidak apa, antibodiku juga masih kuat melawan penyakit yang menyerang tubuh. Aku hendak melangkahkan kakiku, menerobos hujan. Tapi langkahku terhenti saat mendengar suara berat dari belakang.
“kenapa jas hujannya tidak dipakai?”. Tanya orang itu. aku berbalik menatapnya. Malaikat jas hujan. Hanya itu yang ada dipikiranku, jantungku berpacu dengan cepat. Tiba-tiba aku merasa sangat gerah.
“eee… takut jas hujannya basah”. Lelaki itu tertawa memperlihatkan deretan gigi putihnya, membuat jantung semakin berdegup kencang. Aku pikir wajahku sudah merah padam menahan malu. Bodoh… jas hujankan memang ditakdirkan untuk basah.
“kamu lucu juga yah, aku memberikan jas hujan itu supaya tubuhmu tidak basah terkena hujan”. Ucapnya masih dengan sisa tawanya. Pikiranku mulai kacau, Apa yang tadi dia katakan, aku lucu… akhhh seperti terbang menembus langit ketujuh bertemu dengan matahari yang lagi tertidur. Makasih Ya Allah secepat itu doaku dikabulkan.
Akupun tersenyum malu-malu kucing, memasang wajah seimut mungkin. “kalau begitu pakailah jas hujannya. Jas hujan itu untukmu, aku juga sudah membeli jas hujan baru”. Dia menatapku sambil tersenyum penuh keikhlasan. Seperti inikah wajah walaikat jas hujan itu, dia tampak gagah dengan jenggotnya yang tipis, kaca matanya membuat lebih tampak dewasa. apakah dia bukan mahasiswa? Mungkin saja dia dosen? Pertanyaan itu menyerbu dipikiranku namun lidahku terlalu keluh untuk bertanya.
Seuasana seketika hening, hanya bunyi hujan yang terdengar jelas ditelingaku. “ehm… namaku Irham, nama kamu siapa?”. Dia kembali melemparkan senyum termanisnya. Jantungku sepertinya benar-benar akan copot jika menyaksikan senyumnya sekali lagi.
“namaku Syifa Aryani, panggil saja Syifa”. Aku berusaha menandingi senyumnya, tapi aku merasa senyumku terlalu kaku. Dia mengalihkan pandangannya pada titik hujan yang menetes.
“maaf, apakah kamu mahasiswa disini?”. Ucapku sedikit ragu. Dia mengalihkan pandangannya padaku, mata kami berpapasan. Sungguh indah bola matanya yang seperti menyinarkan sinar kehidupan untuk mengajak hidup bersama. Ya Allah aku kenapa sih, kenapa jadi gugup seperti ini.
“ehm itu aku baru lulus tahun kemarin”. Ucapnya singkat. Kami kembali terdiam. “kamu sudah semester berapa?”. Tanyanya sambil terseyun, masih semanis senyum sebelumnya.  Aku kembali gugup, apakah dia tidak bisa mengurangi senyum manisnya itu, efek sampingnya membuat jantung berdetak tidak beraturan.
“kok bengong, kamu bukan mahasiswa sini yah?”. Kini wajahnya tampak bingung. “eee…aaa..eee… aku suk.. eee.. aku semester akhir, sekarang lagi sibuk mengerjakan skripsi”. Aku terlalu gugup berada di dekatnya.
“aku antar pulang yah”. Akupun mengangguk tanpa sadar. Aku tidak mengerti apa yang terjadi pada diriku saat ini, kenapa begitu cepat menerimah tawaran cowok ini.
Akhirnya Irham mengantarku, semenjak saat itu aku mulai dekat dengan dia. Aku bahkan sering konsultasi skripsiku pada dia, berhubung karena dulunya dia juga mengambil jurusan farmasi dan kabar yang lebih menakjubkan lagi, dia lulus dengan nilai cumlaude.
Kadang Irham menjadi galak saat dia mebimbingku, bahkan dia lebih galak dari dosen pembimbingku. Dia selalu tampak serius saat mengajarkan aku berbagai rumus dan perhitungan, dia bahkan menghapal semua rumus kimia dari zat aktif senyawa obat. Itulah yang membuat aku semakin kagum padanya. Dia benar-benar malaikat yang dikirm untukku, oh malaikat jas hujanku.
aku merasa nyaman didekatnya, dia menghadirkan nuansa berbeda dalam hidupku. Sikapnya yang tegas, cuek namun sangat menghargaiku sebagai wanita. Dia tidak seperti lelaki kebanyakan yang mendekati wanita dengan berbagai modus yang dilanjarkan, namun wanitalah yang mendekat dengan kharisma yang dimilikinya. Tapi dia selalu menjaga jarak dengan wanita dan aku merasa dia tidak menjaga jarak denganku. Dia selalu menyempatkan waktu untuk membantuku mengerjakan skripsi.
Aku merasa Irham juga nyaman berada didekatku, namun yang mengganggu pikiranku akhir-akhir ini adalah kenyataan bahwa Irham akan segera melanjutkan S2nya di luar negeri.  
Aku termenung menatap tetesan air hujan, memori otakku memutar kembali pertemuanku dengan Irham. Kami di pertemukan saat hujan dan mungkin kami akan berpisah saat hujan pula. Dia menelponku kemarin, mengatakan bahwa hari ini adalah hari terakhir dia membantuku mengerjakan skripsi. Secepat itukah kebersamaan kita.
Satu jam berlalu, dia belum menapakkan dirinya. bulir-bulir hujan masih menetes menyisahkan gerimis. Mungkin dia tidak ingin bertemu denganku lagi, buat apa aku menunggu sesuatu yang tidak pasti dan tidak akan menjadi milikku. Aku bergegas berdiri dari tempat dudukku, menatap sekitar yang ternyata sudah sunyi.
“tunggu…”. Teriak Irham dari belakang. Kuhentikan langkahku, namun aku tidak ingin menatap wajahnya.
“maaf, aku terlambat. Tadi motorku mogok karena banjir”. Aku mendengar suaranya yang sedikit gemetaran, aku masih tidak ingin berbalik kearahnya. Aku mendengar langkahnya mendekat kearahku. Diapun berdiri tepat dihadapanku.
“Syifa aku ingin menjelaskan sesuatu padamu”. Aku menunduk tidak ingin menatap wajahnya, kulihat air menetes di celana kainnya. Aku menatap ujung kaki hingga ujung kepalanya. Ya Allah dia basah kuyup.
“kenapa kamu bisa basah seperti ini?”. Aku menjadi khawatir saat melihatnya. dia hanya tersenyum.
“aku baik-baik saja, maafkan aku karena terlambat menemuimu”. Ucapnya masih tersenyum, aku khawatir seperti ini namun dia malah tersenyum.
“sebaiknya kamu pulang saja, aku tidak ingin kamu sakit karena basah kuyup. Lain kali saja kita bertemu”. Akupun berjalan menjauh darinya, bukannya pergi Irhampun mengejarku.
“Tunggu Syifa, aku tidak punya waktu lagi. besok sore pesawatku akan berangkat. Sebelum terlambat aku ingin menjelaskan semuanya padamu”. Langkahku kembali terhenti, tiba-tiba air bening mengalir di pelupuk mataku.
“pergi saja jika kamu ingin pergi, tidak usah mempedulikan aku”. teriakku padanya. Dia tertunduk lesuh, tampak sinar kekecewaan dimatanya.
“Jika kamu siap menikah maka aku akan melamarmu dan menunda kuliah S2ku”. Ucapannya itu membuatku terpaku.
Aku bingung harus menajawab apa, jujur aku belum siap untuk menikah. tapi aku tidak bisa menunggu tanpa kepastian seperti  ini tanpa ada ikatan sebuah hubungan.
“mungkin kamu bertanya, kenapa aku tidak mengajak kamu pacaran? asal kamu tahu, aku begitu menghargaimu hingga tidak ingin mengikatmu dalam ikatan yang semu”.
 Aku menatapnya takjub. “aku tidak bisa jika menikah secepat ini, aku belum mengenalmu dan keluargamu. Bahkan baru sebulan kita berkenalan”. Ucapku sedikit ragu. Dia terdiam cukup lama.
Diapun menatapku kembali sambil tersenyum. “baiklah kalau begitu, aku akan melanjutkan kuliahku di luar negeri. Mungkin kita tidak akan bertemu dalam waktu yang cukup lama. Tapi ingat jarak ini bukan untuk menghukumku ataupun menghukummu tapi untuk menjaga kamu dan aku”.  diapun berlalu pergi dengan kekecewaan yang terpancar diwajahnya.
Air mataku tiba-tiba mengalir, inikah pertemuan terakhir itu. tanpa kusadari Irham berbalik menatapku. Dia mendekat kembali kearahku. “sebenarnya mungkin ini yang dinamakan jatuh cinta, tapi aku belum berhak mengucapkan itu padamu. Aku akan mencari kamu jika waktunya sudah tepat, maafkan aku karena membuatmu terjebak dalam perasaanku. Maafkan aku karena mencintaimu diwaktu yang tidak tepat”. Diapun tersenyum, aku berusaha membalas senyumnya.
Hatiku perih, perasaanku kacau. Malaikat jas hujanku telah pergi dan tidak tahu kapan dia akan kembali. Kami sepakat untuk tidak saling menghubungi, sepakat untuk tidak saling mengikat janji agar tidak ada harapan dan tidak ada yang saling menyakiti.
Memutus kontak, tapi bukan silaturahmi hanya berusaha untuk saling menjaga hati. Dan pada akhirnya  aku belajar untuk percaya bahwa jika dia jodohku pasti kami akan dipertemukan kembali kalaupun tidak bertemu, berarti dia bukanlah jodohku.
Terima kasih Malaikat jas hujan telah mengajarkanku tentang bagaimana mencintai dengan tepat. Tidak mengajakku untuk berpacaran. Bukannya tidak bisa karena harus LDRan tapi karena takut pada Allah, sebab kami sadar pacaran itu dilarang. Semoga aku dan kamu menjadi kita yang dibalut dalam ikatan yang halal.