WISUDAku (cacatan kecil untuk Ayah)
Hatiku sungguh bahagia
perjuanganku selama tiga tahun akhirnya membuahkan hasil, tetes keringat, air
mata dan kerja kerasku seolah terbalas dengan hasil yang aku dapatkan. Aku
sungguh bahagia hingga rasanya aku ingin memberitahukan pada seluruh dunia
bahwa aku menjadi sarjana.
Kebahagiaan itu tidak
dapat kupendam sendiri hingga kuingin curahkan padamu ayah. Engkau sosok
dibalik kesuksesanku saat ini. Aku tahu kau telah banting tulang demi aku, kau
telah berjuang demi mewujudkan cita-citaku. Engkau tidak pernah mengeluh saat
aku meminta ini dan itu.
Engkaulah
nafasku, yang menjaga didalam hidupku
Kau
ajarkan aku menjadi yang terbaik
Kau
tak pernah lelah, sebagai penopang dalam hidupku
Kau
berikan aku semua yang terindah.
Kebahagiaan
itu akhirnya kucurahkan padamu, namun engkau sepertinya tidak sebahagia dengan
diriku. Dengan suara beratmu kau katakana bahwa engkau tidak bisa hadir dalam
acara wisudahku karena sakit.
Perasaan
kecewa menyelimuti hatiku, aku merasa engkau tidak menghargai jerih payahku
selama tiga tahun. Rasa bangga itu sirnah seketika tergantikan oleh rasa sakit
dan kecewa. Aku menjadi tidak semangat menyambut hari itu, hari yang sudah
kunantikan dalam hidupku.
Wajahku
tampak begitu murung, rona bahagia itu telah pudar. seorang temanpun bertanya
padaku, kenapa kamu tampak tidak bahagia menyambut hari kelulusan. Aku hanya
menunduk dan mengatakan bahwa aku tidak tahu siapa yang akan kuberikan undangan
wisudahku, ayahku sakit dan dia tidak bisa hadir.
Teman
itupun menepuk pundakku dan mengatakan. Tenang, aku akan meminta kedua orang
tuaku untuk menjadi pendampingmu juga. aku hanya tersenyum kecut, bahkan hanya
membayangkan itu sudah membuatku sakit. Apakah aku tidak pantas membuat Ayahku
bangga? Apakah Ayah tidak bahagia melihatku sekarang?. Pertanyaan itu selalu
terbayang dalam benakku.
***
Hari wisuda itupun
datang, semua orang terlihat bersuka cita. Rona kebahagian terpancar diwajah
teman-temanku. Kebanggaan yang begitu besar tergambar jelas diwajah orang tua
mereka.
Dan aku iri melihat
itu. Aku juga ingin menunjukkannya padamu Ayah, bahwa aku bisa. Aku bisa
seperti mereka. Tapi, aku bahkan tidak bisa membayangkan bagaimana raut wajahmu
sekarang. Apakah engkau akan memancarkan kebahagiaan seperti itu jika kau
berada disini?.
Kulihat sekeliling
ruangan, yang begitu sesak. Ku masih mencari sosokmu walaupun kutahu itu
hanyalah harapan palsu. Kulihat seseorang yang melambaikan tangan padaku penuh
semangat dengan senyuman yang terpancar diwajahnya, dan aku menyadari itu
adalah kakak dan pamanku yang meluangkan waktunya untuk menghadiri acara yang
sangat penting bagiku ini. Dan itu menjadi pelipur lara bagiku.
Aku sedikit bersyukur,
Setidaknya foto wisudaku yang akan terpajang di dinding rumahku didampingi oleh
kakak dan pamanku. Dan bukan kedua orang tua temanku. Tetapi kebahagian itu
akan terasa lengkap jika yang berada di situ adalah ibuku yang sudah tiada dan
Ayahku yang saat ini sakit.
***
Hari itu telah berlalu,
hari dimana aku merasa bahagia sekaligus sedih, hari yang kutunggu namun tidak
kuinginkan. Hari yang seharusnya menjadi kebanggaan untukku dan Ayahku atas
tetesan keringat dan perjuangan kami berdua. Yah, perjuanganku karena telah
menumpuh pendidikan yang tidak mudah dan perjuangan Ayahku yang telah banting
tulang untuk membiayai pendidikanku. Dan hari itu seharusnya menjadi hari
kemenangan kita berdua.
Rasa sakit dan kecewaku
berangsur pulih, ku mulai membuka pikiranku dan tidak lagi ingin melanyahkan
Ayahku. Aku seharusnya menyadari bahwa dia pasti bangga dengan diriku, walaupun
dia tidak hadir. Mungkin dia lebih bahagia dari diriku namun tidak dia
tampakkan.
Aku
terlalu bodoh, terlalu egois. Tidak pernah memikirkan Ayahku yang sudah rentah.
Aku hanya sibuk dengan kekecewaanku namun tidak pernah menyadari betapa
menderitanya dia dengan penyakitnya. Bahkan aku tidak pernah menyakan
kesehatannya hanya karena aku merasa kecewa. Aku sungguh menyesal, menyesal
dengan sikap egoisku. Maafkan aku Ayah, maafkan anakmu yang tidak berguna ini… Aku
mencintaimu ayah dan aku akan selalu berusaha membanggakanmu.
Aku hanya memanggilmu Ayah
Disaat ku kehilangan arah
Aku hanya mengingatmu Ayah
Jika aku telah jauh darimu
Song
by
SEVENTEEN
: Ayah