Kekasih Yang Halal
Mungkin aku adalah
cewek yang paling beruntung bisa mendapatkan cowok yang super keren, cool, kaya
dan paling populer dikampus. Aku yang hanya mahamahasiswi yang biasa-biasa
menjadi sangat luar biasa karena bisa pacaran dengan dia. Bahkan setiap hari
kami selalu jadi bahan perbincangan menarik dikampus. Banyak cewek-cewek yang
iri sama aku. Termasuk Helen, cewek yang paling populer dikampus ini. Dia
seorang model dan pernah beberapa kali menjadi bintang iklan dan model video
klip.
Tapi, sampai saat ini
aku masih tidak percaya Rio lebih memilih aku dari pada dia. Dan semua ini
masih seperti mimpi buat aku. Belum cukup sebulan aku pindah dikampus Harapan
Bangsa ini, tapi aku sudah menjadi tranding topic setiap hari.
“Hai, say… ayo pergi
makan” ajak Rio yang baru keluar dari kelas. Setiap hari kami selalu kekantin
bersama. Lebih tepatnya kami selalu bersama setiap saat.
“iya say, tapi kamu
yang bayarin yah” pintaku dengan mesra. Dia hanya tersenyum dan menggandeng
tanganku menuju kekantin.
“weitzz… si couple mau
kemana nie?” goda Rendi salah satu teman Rio.
“kenapa
iri?” ucap Rio jutek. Sikap Rio memang selalu jutek pada semua orang dikampus.
Bahkan dia sombong dan terkesan
pemarah.tapi, aku tidak peduli dengan semua itu karena dia tidak pernah
menunjukkan sikapnya itu sama aku. Dia selalu bersikap manis padaku.
“say mau pesan apa?”
tanya Rio dengan penuh hangat.
“bakso say”. Jawabku
mesra. Diapun segera berdiri dan memesannya. Tidak lama kemudian. Pesanan
kamipun datang.
“mas ini baksooo….
Aaa”. Bakso itupun menumpahi baju Rio.
“berengsekkk. Kamu
tidak punya mata yah”. Ucap Rio penuh emosi. Kepalan tinjunyapun hampir
mendarat diwajah pak Parno.
“jangan”. Seru Fahmi
sambil memegang tangan Randi. Wajah rendi terlihat memerah karena menahan
amarahnya.
“kamu jangan ikut
campur, culun”. Diapun melihat Fahmi dengan penuh kebencian.
“maaf mas, aku tidak
sengaja”. Ucap pak Parno dengan eksperesi ketakutan.
“aku tidak butuh
permintaan maaf kamu, baju aku basa dan kotor. Kamu ini tidak becus”. Emosi Rio
semakin tidak terkendali. Dia mendorong pak Parno, hingga pak Parno jatuh
tersungkur di lantai.
“Rio kamu ini kenapa
sih, pak Parnokan sudah minta maaf. Kenapa kamu malah melakukan itu padanya”.
Akupun tidak bisa menahan emosiku.
Fahmi membantu pak
Parno untuk berdiri. “Rio minta maaf sama Pak Parno. Cepat minta maaf”.
Fahmipun menarik baju Rio. Rio melayangkan kepalan tinjunya kemuka Fahmi.
“aaa” teriakku
histeris.
“aku tidak sudi minta
maaf sama penjaga kantin kayak dia”. Riopun meninggalkan kantin tanpa
mempedulikan kekacuan yang telah diperbuatnya.
“Fahmi, maafkan Rio yah”.
Ucapku pada Fahmi.
“kenapa kamu yang
meminta maaf, ini bukan salah kamu, tapi salah pacarmu”. Diapun memegang
pipinya yang lebam.
“bibir
kamu berdarah, aku antar kamu ke UKS yah”. Ucapku penuh bersalah, aku meresa
harus bertanggung jawab atas apa yang dilakukan oleh Rio. Aku juga minta maaf
kepada pak Parno dan membayar semua kerusakan dikantin.
“aaa…
sakit, jangan kencang-kencang donk”. Protes Fahmi saat aku mengobati lukanya.
“Fahmi,
aku mohon sama kamu. Jangan laporin Rio yah. Dia tadi hanya emosi, tapi
sebenarnya dia orangnya sangat baik”. Aku sedikit memohon sama Fahmi.
“iya,
aku tidak bakalan melaporkan dia. Tapi, kamu harus meminta dia untuk meminta
maaf sama pak Parno”. Akupun mengiyakan permintaan Fahmi.
“thanksss.
Aku duluan yah, aku mau cari Rio dulu”. Akupun segera keluar dari UKS.
Aku
berjalan dikoridor kampus sambil mencari Rio. “say, kamu itu dari mana?”. ucap
Rio mengagetkanku.
“Rio,
aku tidak suka kalau kamu bersikap begini. kamu itu harus menghargai orang
lain”. aku tidak bisa menahan emosiku melihat muka dia tanpa rasa bersalah.
“tapi
say aku tidak salah, dan mana mungkin aku minta maaf sama penjaga kantin yang
tidak becus itu. Itu bisa menurunkan citraku”. Ucapnya tanpa rasa bersalah sama
sekali.
“justru
sikapmu ini yang membuat citramu menurun. Pokoknya aku tidak mau bicara sama
kamu sebelum kamu minta maaf sama pak Parno”. Ucapku sebelum meninggalkan Rio.
“tapi
say…”. Aku tetap meneruskan langkahku tanpa menoleh padanya.
Seharian
ini aku menghindari Rio. Walaupun terasa berat tapi aku harus melakukannya agar
dia bisa sadar akan kelakuan buruknya itu.
“Say
ayo kita pulang bareng” ajak Rio sambil menarik tanganku.
“akukan
sudah bilang aku tidak mau biacara sama kamu sebelum kamu minta maaf sama Pak
Parno, lagian apa salahnya sih, kamu minta maaf sama dia. Kamu meminta maaf
beribu kali sama aku kalau aku marah tapi kenapa kamu tidak bisa minta maaf
sama dia”.
“tentu
bedalah say, kamu itu pacarku sedangkan dia hanya penjaga kantin kampus”.
“sikap
kamu ini yang paling tidak kusuka sama
kamu, kamu itu selalu melihat orang dari status sosialnya”. Akupun menarik
tanganku dari genggamannya. Aku harap semoga dia bisa menyadari kesalahnnya
ini.
Terpaksa
aku harus jalan kekompleks perumahan. Ini semua karena Rio, aku semakin kesal mengiangat kelakuan dia tadi siang tapi
disamping itu aku juga merindukan dia. Baru beberapa jam marahan sudah seperti
ini.
“hai,
kamu sendirian saja. Mau aku antar?” tegur Fahmi yang kebutulan lewat.
“eee…
tidak usah”. Kenapa harus kata itu yang terlontar dari mulutku. Rumahku masih
cukup jauh dari sini.
“tidak
usah sungkan, rumah kitakan deketan”. Ucapnya tampa melihatku. Akhinya aku naik
juga kemotornya.
“thanks
yah sudah antarin aku. Aku tidak tahu kalau kamu tidak ada, mungkin betisku
sudah pecah karena jalan kaki cukup jauh”. Ucapku sedikit bercanda.
“bukannya
dulu waktu SMP kita selalu jalan bareng dari depan kompleks. Apa karena cowokmu
yang super tajir itu selalu mengantar jemput kamu hingga kamu sudah tidak bisa
jalan jauh”. Ucapanya cukup sinis.
“kamu
kenapa sih, akukan Cuma bercanda. Kamu itu sudah berubah, bukan seperti Fahmi
yang aku kenal dulu”. Akupun segera pergi dari hadapannya.
Fahmi
kenapa kamu bisa berubah seperti ini, dulu kamu selalu menolong aku, dulu kamu
itu sahabat terbaikku. Tapi sekarang kamu seperti orang lain bagiku. Kamu
selalu bersikap dingin padaku.
TIT..TITTT…
bunyi hp itu membuyarkan lamunanku. Aku melihat nama Rio tertera dilayar Hpku.
Ternyata dia tidak tahan sehari tanpa berbicara sama aku. Hehehe… tapi, aku
tidak akan mengangkat teleponnya, biar dia sadar dulu atas kesalahnnya. Maaf yah
say, aku juga merindukanmu. Tapi aku mau melihat kamu berubah menjadi lebih
baik.
Sekarang
sudah jam 20.15 WIB. dan hpku mungkin sudah bunyi seribu kali. Ya ampun, Rio
semangat banget menghubungi aku. Sampai-sampai panggilang tidak terjawabnya
sudah segini banyaknya dan smsnya juga tidak kalah banyak. Ehm, bahkan
mentionnya ditwitter, fb, wechat juga sangat banyak. Hehehe. Dia juga
mengupload beberapa foto penyesalan di pad dan instagramnya. membuatku tidak
tega mendiami dia terlalu lama.
“sayang.
Ada teman kamu datang”. Panggil mama dari ruang tamu. Siapa yang datang
malam-malam begini.
“tunggu
ma, aku akan segera turun”. Nanti aja
aku balas semua permintaan maaf Rio ini. Dasar cowok nyebelin tapi kamu sangat
angenin.
“hai
say…” ucapnya sambil tersenyum lebar. Aku sangat kaget melihatnya yang tiba-tiba
datang kerumahku.
“hai…”
hanya itu yang kuucapkan.
“mama
tinggal dulu, kamu bikinkan teman kamu minum”. Ucap mama sembari meninggalkan
kami berdua.
“kamu
mau minum apa?” ucapku dengan nada sedikit jutek sama Rio.
“tidak
usah say, aku disini hanya mau minta maaf sama kamu”. Ucapnya dengan penuh
penyesalan.
“ayo
ikut aku ke taman, disini tidak aman untuk bicara berdua. Pasti mamaku lagi
mengintip kita”. Akupun menarik tangan Rio menuju taman disamping rumahku.
“say.
Apa kamu sudah memaafkan aku”. Ucapnya sedikit merengek. Aku tidak bisa menahan
tawaku melihat ekspresinya.
“hahaha.
Memanganya kamu salah apa sama aku? Kata maafmu itu seharusnya kamu tujukan ke
Fahmi dan pak Parno”.
“ok
say, aku akan minta maaf sama mereka berdua. Jujur aku tidak tahan seharian
kamu marah sama aku. Sepertinya aku hampir gila”. Diapun mengularkan
gombalannya.
“hahaha….
Aku tidak percaya, mana ada orang gila yang seganteng kamu ini”. Ucapku juga
sedikit merayunya.
“walaupun
aku gila tapi kegantenganku tidak akan berubah say. Hehehe. I LOVE U”. ucapnya
sambil mencium tanganku dengan mesra. Rasanya sangat bahagia mempunya pacar
seperti Rio yang super romantis ini. Aku tidak tahu, mungkin mama melihat kami.
Tapi, aku tidak peduli. Yang penting aku merasa sangat bahagia saat ini.
Hari
ini aku merasa sangat bahagia, mungkin karena efek keromantisan Rio tadi malam.
“sayang
ayo bangun, kita pergi kepengajian”. Ucap mamaku sambil menarik selimutku.
“tapi
ma, aku mau istirahat. Inikan hari minggu, hari istirhatnya aku dari rutinitas kampus”.
Ucapku dengan penuh kemalasan.
“tidak
ada alasan, cepat mandi sana, mama sama papa menunggu kamu didepan”. Dengan
berat hati akupun beranjak dari tempat tidur.
“Raisa
cepat”. Terdengar teriakan papa dari luar.
“iya
pa tunggu”. Teriakku didalam kamar mandi. Akupun segera mandi dan memakai
pakaian.
“ayo
berangkat”. Ucapku begitu keluar dari rumah.
“sayang
kita mau pengajian bukan ke mall, kenapa kamu berpakaian seperti ini”. Ucap
mamaku heran.
“cepat
ganti bajunya”. Ucap papa sedikit teriak. Akupun segera kembali kekamar untuk
ganti baju, sebelum papa menyeretku.
Setelah
beberapa menit, kamipun segera munuju tampat lokasi pengajian.
“gara-gara
Raisa nih, kita jadi telat” gerutu papa saat kita sudah berada didepan mesjid.
“bukan
salah Raisa kok pak, tapi papa aja yang bawa mobilnya sangat lelet”. Akupun
membela diri.
“sudah-sudah,
ayo cepat kita masuk” ucap mama sambil menarikku. Seperti dugaanku tempat ini
pasti membosankan dan hanya dihadiri ibu-ibu dan bapak-bapak, sama sekali tidak
ada seumuran denganku. Dengan terpaksa akupun mendengar ustadz favorit papa itu
membawakan ceramahnya.
Wahai saudara-saudari yang diberkati
oleh Allah swt. Ketahuilah bahwa jalan menuju surga tidaklah dihiasi dengan
bunga-bunga nan indah, melainkan dipenuhi dengan rintangan yang berat untuk
dilalui oleh manusia, kecuali orang-orang yang diberi ketegaran iman oleh Allah.
Tapi ingatlah diujung jalan ini ada surga yang Allah sediakan untuk
hamba-hamba-Nya yang sabar menempuhnya. Dan ketahuilah, bahwa jalan menuju
nereka memang indah, penuh dengan syahwat dan kesenangan dunia yang setiap
manusia pasti tertarik untuk menjalaninya. Namun perlu kita ingat nikmatnya
duina hanyalah kesenangan sementara yang berujung kesengssaraan diakhirat.
Sepenggal
ceramah ustadz itu membuatku jadi berpikir, bahwa selama ini aku ini termasuk orang-orang yang hanya mau menempuh
jalan yang indah yang hanya penuh syahwat. Aku tidak mau mengikuti saran mama
untuk segera berhijab dan aku juga pacaran, padahal mama dan papaku sangat
menentangnya. Sholatku juga selama ini masih bolong-bolong. Kalau benar kata
pak ustadz bahwa kiamat sudah dekat pasti aku masuk neraka. Aku tidak boleh
begini terus aku harus berubah. Pikirku dalam benak.
“bagaimana
sayang, kamu tidak bosankan dengar ceramahnya?’ ucap mama setelah acaranya
selesai yang membuatku terbangun dari lamunanku.
“iya,
aku jadi berpikir, kalau aku selama ini hanya melakukan dosa terus. Maafin aku
yah ma”. Akupun memeluk mamaku.
“papa
kemana sih, sudah lama kita menunggu disini” gerutu mama.
“itu
ma, tapi papa sedang bicara sama siapa?” tanyaku pada mama.
“bukannya
itu Fahmi, anaknya bu Rina. Kalau tidak salah kalian satu kampuskan”. Ucap
mama.
“iya
ma itu memang Fahmi”. Akupun melambaikan tangan kearahnya. Dia hanya tersenyum,
entah itu senyumnya ditujukan ke aku atau kemamaku.
“pa,
kenapa tidak mengajak Fahmi pulang bareng kita aja”. Ucap mama.
“ma,
diakan bawa motor sendiri”. Ucapku.
“iya
ma dia bawa motor kesini. Sudalah ayo kita pulang”.
Keesokan
harinya akupun bertemu Fahmi dikantin kampus. “hai…” sapaku padanya tapi dia
hanya cuek tanpa mempedulikanku.
“Hai
culun, kalau disapa menyahut donk”. Tegur Rio dengan penuh emosi.
“Rio
aku tidak suka jika kamu masih bersikap seperti ini, bukannya kamu sudah janji
mau minta maaf sama Fahmi dan Pak Parno”. Akupun menarik tangan Rio untuk
berjabat tangan dengan Fahmi.
“aku
sudah maafkan kamu dan lebih baik kamu juga segera minta maaf sama Pak Parno”.
Seru Fahmi tanpa menggapai tangan Rio. Diapun segera pergi.
“eetss…
kalau bukan karena kamu say, aku tidak akan minta maaf sama si Culun itu”.
Emosi Rio semakin tidak tertahankan.
“aku
tidak suka dengan sikapmu ini. Kenapa kamu tidak bisa mengontrol emosi kamu,
kalau kamu masih begini mending kita tidak usah ketemu dulu?” akupun segera
pergi dari tempat itu.
“Fahmi…
tunggu…” aku segera berlari kearah Fahmi.
“ada
apa?” ucapnya dingin melihatku.
“ee..
aku Cuma mau minta maaf soal tadi, maafkan sikap Rio yah”. ucapku meresa
bersalah dengan perlakuan Rio tadi.
“kenapa
kamu yang minta maaf, bukan kamukan yang salah. Dan aku juga sudah maafkan dia.
tapi aku tidak suka dengan sikapnya yang terlalu sombong itu”.
“thanks…
aku akan berusaha untuk membuatnya berubah menjadi lebih baik. Dan bisa tidak
kita menjadi teman lagi, eee… kayak dulu waktu kita masih kecil..” akupun
menjulurkan tanganku.
“bukannya
kita sekarang berteman?” ucapnya sedikit heran.
“maksudku
bukan teman seperti ini tapi lebih seperti sahabat, yang selalu mensuport dan
selalu saling membantu saat kita kesusahan”. Ucapku sambil tersenyum.
“kamu
tidak butuh sahabat seperti aku karena kamu sudah punya pacar yang sangat
mencintai kamu”. Ekspresi juteknyapun masih belum berubah.
“pacar
beda dengan sahabat. Pacar itu ibarat pemilik hati tapi sahabat itu penjaga hati”. Akupun segera menggapai
tangannya tanpa menunggu persetujuannya.
“ok…
saat ini kita bersahabat lagi, aku akan ada setiap kamu membutuhkan aku dan
begitupun sebaliknya, kamu juga harus ada setiap aku membutuhkan kamu. Jadilah
sahabat dan penjaga hatiku”. Aku tersenyum bahagia, namun raut wajah Fahmi
datar.
“Say,
kita pulang bareng yah”. Ajak Rio saat melihatku baru keluar dari kelas,
“Rio,
aku itu belum memaafkan kamu”. Seperti biasanya, aku akan menghindar dari dia
jika aku marah supaya dia bisa menyadari kesalahannya.
“bukannya
tadi aku sudah minta maaf, terus salahku dimana lagi?” ucapnya terdengar
frustasi.
“kesalahan
kamu karena tidak ikhlas minta maaf dan kamu minta maaf bukan karena menyadari
kesalahanmu tadi tapi minta maaf hanya karena aku yang memintanya”.
Aku
melihat Fahmi yang baru keluar dari kelasnya. “Fahmi…” aku melambaikan tangan
kearahnya. Dia tampak cuek.
“Fahmi
kita pulang bareng yah”. Teriakku. Diapun terkejut.
“loh…
say, kenapa kamu malah mengajak dia pulang bareng. Pulang bareng aku aja, nanti
kamu kepanasan kalau kamu naik motor. Mending naik mobil bareng aku”. Rio
menarik tanganku.
“tidak…
aku tidak mau ketemu kamu dulu, sebelum kamu merubah semua sifat burukmu itu”.
Aku bergegas kearah Fahmi tanpa mempedulikan Rio yang masih diselimuti
kemarahan.
“ok
fine… kalau itu mau kamu, mungkin kamu bisa lebih menghargai aku jika kita
tidak bertemu dulu”. Teriaknya dengan
penuh amarah membuat semua orang memperhatikan kami.
“kamu
yakin mau pulang bareng aku?” Tanya Fahmi diparkiran.
“ya
iyalah yakin, lagian aku lagi kesal dengan Rio. Dari dulu dia masih tidak bisa
merubah sikapnya itu”. Seruku sedikit kesal.
“tapi
kamu tidak perlu juga menjauhinya kalau
kamu tidak suka dengan sikapnya, setidaknya kamu memberikan pengertian
padanya sedikit demi sedikit”.
“sudahlah,
aku malas membahas ini. Nanti dia juga akan minta maaf dan memohon-mohon supaya
aku tidak marah padanya lagi?”.
“tapi
kalau dia tidak melakukan itu bagaimana? Kamu jugakan yang rugi”. Ucap Fahmi
sedikit memojokkanku.
“aku
yakin pasti dia akan minta maaf duluan”. Aku segera naik kemotor Fahmi.
HPku
berbunyi tanda SMS masuk, segera kubuka inbox HPku, terlihat nama Rio terpampang
dilayar. Akupun segera memebaca pesanya. Baiklah
jika ini yang kamu inginkan, aku tidak akan mengganggu kamu dulu. Mungkin ini
jalan yang terbaik untuk kita supaya menyadari kesalahn kita masing-masing. Pesan
ini membuatku sedikit takut jika Rio berbalik marah padaku.
“Raisa…
kita sudah sampai. Kamu tidak mau turun”. Ucapan Fahmi membangunkan aku dari
lamunanku.
“eee…
makasih yah”. Akupun segera masuk kerumah tanpa menunggu Fahmi pergi.
Sudah
sejam aku melihat HPku yang berada diatas meja, menunggu Rio menelpon untuk
meminta maaf tapi sampai saat ini tidak ada tanda-tanda hal itu akan terjadi.
Akupun tidak tahan dan segera mengambilnya, aku mencoba melawan egoku untuk
menelponnya duluan. Aku segera mencari nomornya. Tiba-tiba Hpku berdering,
akupun segera mengangkatnya. “Halo… Rio, maafkan aku… aku tidak bermaksud untuk
membuatmu marah”. Kata itu berentetan keluar dari mulutku.
“Assalamu
Alaikum… maaf, aku bukan Rio tapi Fahmi”. Terdengar suara Fahmi sedikit kesal.
“walaikum
salam… Sory… aku kira Rio. Kenapa kamu tiba-tiba menelpon?” tanyaku sedikit
malu.
“eee…
aku Cuma mau Tanya apa kamu mau ikut acara pengajian besok dikampus? Kebetulan
pematerinya ustazd favorit kamu dan materinya juga menarik”.
“kenapa
tiba-tiba kamu mengajak aku?” tanyaku sedikit bingung.
“kan
tadi sudah kujelaskan kalau pematerinya itu ustazd favorit kamu dan materinya
itu tentang cinta. Cocok banget buat kamu yang selalu galau karena cinta.
Hahaha”. Diapun terdengar sangat puas mengejekku.
“besok
deh aku liat, tapi kenapa kamu perhatian sama aku?” tanyaku penasaran.
“eee…
kamukan yang memaksa aku untuk menjadi teman kamu jadi sebagai teman yang baik
tentu aku ingin mengajak kamu melakukan kegiatan positif. Jangan lupa datang
besok yah”. Ucap Fahmi sebelum menutup telponnya.
Keesokan
harinya aku mencari Rio untuk meminta maaf padanya karena tidak sempat
menelponnya tadi malam. Aku berjalan dikoridor kampus tapi sosoknya tidak
tampak, akupun segera menuju kantin berharap dia berada disana. Tapi yang
kutemui ternyata Fahmi.
“Raisa…
sini”. Teriaknya sambil melambaikan tangan padaku. Aku bergegas menhampirinya.
“kenapa
muka kamu kusut begitu?” Tanya Fahmi saat aku sudah berada dihadapannya.
“aku
lagi mencari Rio, kamu melihat dia nggak?” tanyaku tanpa basa-basi.
“eee…
aku tidak tahu, Btw kamu mau ikutkan pengajian nanti? Pokoknya kamu tidak akan
menyesal.” Ucap Fahmi begitu semangat.
“liat
nanti deh. Aku pergi dulu mau cari Rio”. Aku hendak pergi dari tempat itu.
Tiba-tiba Fahmi menarikku dan memaksaku duduk didekatnya.
“kenapa
kamu terburu-buru, makan dulu aku yang teraktir.” Ucapnya sambil memnggil pak
Parno. Dengan terpaksa aku mengiyakan permintaannya.
Beberapa
menit kemudian, aku melihat Rio bersama beberapa teman basketnya memasuki
kantin dan terlihat juga beberapa anak cheers bersama dengan mereka. Mata Rio
tertuju padaku tapi dia tidak menyapaku sama sekali. Helen si model yang juga
merupakan ketua cheers itu duduk
disampinya bahkan dia melap keringat Rio dan Rio hanya membiarkannya. Seketika
api cemburu menyelimutiku. Aku segera menarik tangan Fahmi untuk pergi dari
tempat itu.
“Raisa..
ada apa? pesanan kamukan belum datang, kenapa kamu tiba-tiba mau pergi”. Aku
hanya diam dan tetap menariknya pergi dari tempat itu. Terlihat wajah Fahmi
begitu kebingungan.
Mataku
terasa perih dan dadaku sesak. Aku mencoba menahan air mataku sekuat tenaga
tapi hal itu sia-sia karena kini pipiku sudah basah. Fahmi hanya diam dengan
ekspresi kebingungan.
“maaf…
aku cengeng yah”. Ucapku sambil menghapus air mata dipipiku.
“kenapa
kamu tiba-tiba menangis?” Tanya Fahmi masih dengan ekspresi kebingungnya.
“eee…
mataku kelilipan…” ucapku berusaha tersenyum.
“kamu
bohong… apa kamu menangis karena aku mengajak kamu kepengajian?”. Tanya Fahmi
begitu polos.
“hehehe…
tentu saja tidak, mana mungkin aku mengis karena itu”. Aku berusaha menutupi
kesedihanku.
“lalu
kenapa? Katanya kita sahabat yang harus saling support. Tapi kamu tidak mau
menceritan masalah kamu?”. Kini Fahmi terlihat serius. Namun aku hanya diam.
“apa
karena Rio?” ucapnya lagi. Aku hanya mengangguk pelan.
“ini
yang aku benci. Melihat wanita menangis hanya karena seorang lelaki. Apa yang
Rio lakukan?” Tanya Fahmi lagi.
“dia..
eee aku cemburu melihat dia bersama dengan Helen dikantin tadi.”. ucapku sambil
menunduk. Terdengar suara Fahmi tertawa begitu keras.
“hahaha…
ternyata hal sepele begitu yang membuatmu menangis. Ini salah satu alasan aku
mengajak kamu kepengajian, supaya kamu tidak dibuat rapuh oleh cinta. Air mata kamu
terlalu berharga untuk menangisi seseorang yang belum tentu menjadi jodohmu”.
“baiklah
aku akan ikut kepangajian itu”. Fahmipun tersenyum lebar.
Jam
sudah menunjukkan pukul 2 siang, dan aku sudah berada di aula kampus untuk
mengikuti kegiatan pengajian dikampus. Akupun menyimak dengan baik kata perkata
yang dilontarkan oleh uztasd favoritku itu. Aku merasa lebih tenang saat
mendengar ceramahnya dan pikiranku lebih terbuka, tidak hanya memikirkan soal
duniawi tapi juga akhirat.
Sebagai seorang manusia sudah
sepatutnya kita mencintai Allah SWT melebihi cinta pada hamba-Nya, termasuk
cinta dengan si Dia… maksud saya adalah pacar. (Terdengar
gelak tawa dari mahasiswa).
dalam agama islam tidak ada istilah pacaran karena pacaran itu dosa, coba
adik-adik pikirkan selama pacaran apakah dapat manfaat??.
(Tanya sang uztasd. seorang mahasiswapun
teriak “pacar itu tempat berbagi kasih sayang”). Tempat
berbagi kasih sayang jika sedang bahagia tapi coba kalau marahan, apa dia masih
sayang??? Atau dia mencari kasih sayang ditempat lain. Pacaran itu hanya
membuat kita galau adik-adik. Tapi coba kalau kita membangun cinta karena Allah
maka semuanya itu akan terasa lebih indah. Jadi jangan bercinta sebelum halal
karena itu hanyalah cinta karena nafsu yang bisa menjerusmuskan kita kedalam
kemaksiatan. Jika suatu waktu kita jatuh cinta, maka jatuhkanlah cinta itu pada
seseorang yang melabuhkan cintanya pada Allah, agar bertambah kekuatan kita
untuk mencintai dia.
Akupun
seketika teringat dengan Rio, betul kata uztasd selama ini aku hanya merasakan
bahagia sesaat saat pacaran. Mungkin aku betul-betul mencintai dia tapi cintaku
padanya masih didasarkan nafsu bukan karena Allah, cintaku padanya belum halal.
Sekita air mataku menetes, Ya Allah berikanlah hamba-Mu ini petunjuk menuju
jalan kebenaran.
“bagaimana
tadi cermahnya baguskan??” Tanya Fahmi yang begitu semangat saat acara
pengajiannya selesai. Aku hanya tersenyum puas sambil menganggukkan kepalaku.
“aku
bisa ikut lagi nggak jika ada kegiatan begini lagi?”. Seruku
“tentu
saja boleh, bagaimana kalau kamu gabung aja dengan Rohis kampus. Kamu bisa
lebih sering keacara pengajian dan anak Rohis itu baik, asyik dan tentu saja
gaul”. Ucap Fahmi mengebu-gebu.
“memang
aku boleh gabung? Mahasiswinyakan semuanya pakai jilbab tapi aku tidak
berjilbab.”
“ooo…
kalau masalah itu adalah proses, kamu bisa mendapatkan banyak ilmu tentang
islam. Ehm, aku akan mengenalakan kamu dengan Sri ketua Rohis untuk mahamahasiswi.
Orangnya sangat baik, pintar dan soleha”. Fahmipun mengajak aku bertemu dengan
Sri di aula kampus.
Akupun
berkenlan dengan Sri, dia sangat ramah dan sopan. Dengan senang hati dia
menerimaku bergabung dengan Rohis.
“makasih
yah Raisa kamu sudah mau bergabung dalam kegiatan Rohis. Semoga kita semua di
Rahmati oleh Allah SWT”. Ucapnya sambil menjabat tanganku dan disertai dengan
senyumannya yang begitu menawan. Diapun menjelaskan semua kegiatan Rohis dan
berbagai jadwal kegiatannya.
“tapi…
tidak apa-apakan kalau aku tidak pakai jilbab?” tanyaku sedikit ragu pada Sri.
Dia
hanya tersenyum. “Raisa, aku tidak akan memaksa kamu berjilbab, karena semua
itu butuh proses. Dan aku harap semoga kelak kamu bisa menjalani prosesnya”.
Ternyata pandanganku pada Sri
selama ini sangatlah keliru, dulu aku pikir dia adalah mahamahasiswi yang kampungan, suka menutup
diri, anti dengan mahamahasiswi seperti aku dan hanya bergaul dengan mahasiswi
yang berjilbab tapi ternyata dia sangat baik dan mempunyai wawasan yang luas.
Seminggu
ini aku sibuk dengan kegiatan baruku di Rohis, aku menumakan teman-teman yang
begitu baik dan sifatnya berbeda 180 derajat dengan teman-temanku yang dulu. Banyak
hal yang baru yang aku dapatkan dan bisa mempelajari islam lebih dalam lagi.
Akupun berpikir untuk menjadi lebih baik lagi dan mengikuti syariat islam yaitu
memakai jilbab. Keinganan itu terbesit saat aku mendalami pelajaran islam dan
berkumpul dengan orang-orang yang selalu mengajarkan aku tentang kebaikan.
“Sri,
aku ingin berjilbab. tapi, aku masih takut dengan perkataan orang-orang”.
Ucapku pada Sri saat acara pengajian Rohis selesai.
“kenapa
kamu mesti takut dengan makhluk ciptaan Allah. Sedangkan Allah memerintahkan
kita untuk menutup aurat”. Ucap Sri sambil tersenyum.
“aku
takut teman-temanku menjauhiku jika aku memakai jilbab”. Kataku lagi.
“itu
artinya mereka tidak patut untuk menjadi teman kamu dan kamu akan menemukan
teman yang lebih baik dari mereka. Yang tidak memandang penampilan tapi mereka
akan selalu ada buat kamu”. Entah mengapa setiap ucapan Sri membuat hatiku
lebih tenang.
Semalaman
penuh aku memikirkan perkataan Sri tadi di kampus. Tapi aku masih belum bisa
membulatkan hatiku. Sepertinya aku harus mengutarakan niatku ini pada mama dan
papa. Akupun bergegas menemui mereka, tapi tiba-tiba HPku berbunyi. Ternyata
telepon dari Rio.
“Halo…
Assalamu alaikum”. Ucapku sedikit gugup, ini pertama kalinya aku berbicara
dengan Rio selama kami marahan.
“Walaikum
salam… bagaimana kabar kamu?” ucapnya diujung telepon.
“Alhamdulillah
baik, kamu?” ucapku sedikit canggung.
“aku
juga baik. aku tidak menganggu kamukan?” Tanya.
“tidak”.
Seruku singkat.
“eee…
aku minta maaf, dan aku sangat rindu sama kamu”. Seketiku jantungku berdegup
kencang. Aku hanya diam terpaku.
“halo…
aku sangat rindu sama kamu sayang”. Ucapnya lagi. Dulu aku sangat bahagia saat
Rio mengucapkan saysng tapi entah mengapa sekarang terdengar asing.
“aku
sudah maafkan kamu. Tapi…”. Akupun tidak mampu melanjutkan perkataanku.
“tapi
apa???” Tanya penasaran. Aku bingung harus menjawab apa.
“sudah
dulu yah, aku lagi sibuk”. Ucapku cari alasan. Aku segera menutup teleponnya.
Ya Allah apa yang harus aku
lakukan. Aku sangat mencintai dia tapi dia belum halal bagiku. Aku belum
sanggup jika harus meninggalkan dia tapi aku juga tidak ingin berbuat maksiat
terus-menerus. Ya Allah berikanlah hamba-Mu ini petunjuk. Hanya air mata yang
mewakili semua perasaanku saat ini. Ampunilah aku Ya Allah.
Keesokan
harinya akupun bertemu dengan Rio untuk membahas kelanjutan hubungan kami.
“hai…. Sayang, aku sangat rindu sama kamu?” ucapnya menyapa dengan mesra
seperti biasanya tapi semuanya terasa aneh buatku.
“hai
juga”. hanya itu yang dapat kujawab.
“eee…
kamu masih marah yah sama aku?” Tanya Rio agak curiga.
“tidak
tapi aku merasa tidak nyaman dengan semua ini”. Ucapku jujur. Aku hanya dapat
menunduk menyembunyikan perasaanku.
“maksudnya
kamu sudah tidak nyaman jalan sama aku. apa karena Fahmi?” sontak aku kaget
mendengar perkataannya.
“aku
tidak punya perasaan apa-apa sama Fahmi. Kami hanya bersahabat”. Akupun mencoba
menjelaskan yang sejujurnya. Kemarahan terlihat menyelimuti wajah Rio.
“terus
kenapa kamu tiba-tiba berubah, aku minta maaf jika aku punya salah sama kamu.
Tapi, aku mohon berikan aku kesempatan sekali lagi untuk membuktikan rasa
sayangku padamu”. Ucap Rio penuh emosi. Aku tidak mampu melihat wajahnya.
“Raisa.
Aku mohon berikan aku kesempatan sekali lagi”. Ucapnya memohon disertai dengan
tangis. Akupun tidak kuasa melihat orang yang kucintai seperti ini, tapi aku
merasa serba salah.
“maaf
Rio, mungkin kita harus mengakhiri hubungan kita. Walaupun ini terasa sakit,
tapi ini jalan yang terbaik untuk kita berdua”. Ucap dengan tangis yang tak
bisa terbendung lagi.
“tapi
kenapa? Apa yang salah dengan hubungan kita?” teriak Rio dengan penuh emosi.
Akupun diam, hanya tangis yang mewakili semua perasaanku.
“maafkan
aku Rio, walaupun aku masih sangat sayang sama kamu, tapi pacaran bukanlah
realisasi yang tepat, cinta kita masih belum halal. Kita raih mimpi
masing-masing dulu. Izinkan aku pergi, kalau memang kamu betul-betul serius
datanglah disaat kamu sudah siap menjadikan aku kekasih halalmu. Kalaupun pada
akhirnya kita tidak berjodoh, maka keputusan kita hari ini untuk putus adalah
hal yang paling tepat. Kita saling mendoakan untuk yang terbaik”. Walaupun hatiku
terasa remuk tapi semua ini harus kulakukan.
Riopun pergi tanpa berkata apa-apa
lagi. Aku tahu dia masih sangat sayang padaku, tapi ini semua jalan terbaik
untuk kita berdua. Maafkan aku Rio, semoga Allah mempersatukan cinta kita.
Sebulan
berlalu tapi aku masih tidak bisa move on dari Rio, aku masih sering menangis
jika memikirkan dia. Tidak ada kegiatan yang dapat kulakukan dengan benar, aku
sudah tidak aktif lagi dalam Rohis dan bahkan sering absen dikampus. Melihat
sikapku yang berubah, Fahmipun tidak tinggal diam.
Fahmi
dan Sri datang kerumahku saat aku absen dikampus, mereka berdua menyemangatiku
dan membantuku untuk move on. Merekapun selalu mengajakku untuk mengikuti
kegiatan rohis kampus dan seminar tentang islam, hingga pada akhirnya aku
membulatkan niatku untuk berjilbab. saat aku mengatakan niatku pada kedua orang
tuaku, merekapun sangat setuju dan mendukungku sepenuh hati.
Saat
pertama kali aku memakai jilbab kekampus, semua siswa memandangiku dengan
tatapan aneh, disertai dengan bisikan-bisikan mereka. Aku merasa sangat
canggung dan hanya dapat menunduk.
“Apa
kalian semua tidak pernah melihat orang yang pakai jilbab?” bentak Rio pada
semua mahasiswa yang memandangiku dengan tatapan aneh. Terpercik rasa bahagia
dalam hati, teryata Rio masih perhatian sama aku.
“makasih”.
Ucapku. Dia hanya mengangguk dan meninggalkan aku sendirian. Walaupun aku dan
Rio tidak sedekat dulu, tapi aku cukup bahagia melihat Rio masih
memperhatikanku.
Sesampainya
dikelas, semua mata tertuju padaku. Aku seperti orang asing bagi mereka.
“Raisa… kamu kok berubah?” seru salah satu teman kelasku tampak kaget. Aku
hanya tertunduk malu dan tak bisa menjawabnya.
“berubah,
memang power ranger… kenapa wajah kalian seperti itu. Terpesona yah dengan
kecantikan Raisa”. Seru Fahmi yang tiba-tiba muncul dari belakangku.
“kamu
kenapa bengong, ayo duduk. Sebentar lagi dosen masuk”. Diapun tersenyum padaku.
Aku berjalan mengikutinya.
“kamu
tidak perlu malu, kamu terlihat cantik kok dengan balutan jilbab”. Bisiknya.
Aku hanya membalasnya dengan senyuman.
Berkat bantuan Fahmi dan Sri,
akhirnya aku lebih pede dengan jilbabku. Aku tidak lagi malu dengan omongan
orang-orang disekitarku, aku tidak peduli apa yang mereka katakan karena aku
hanya ingin tampak baik dihadapan Allah SWT.
Waktu
berjalan begitu cepat, masa-masa kuliahpun telah berakhir. Kini aku sudah
bekerja dimajalah Fashion islami. Aku masih sering bertemu dengan Fahmi dan
Sri, walaupun tidak sesering dulu. Saat ini Fahmi dan Sri menjadi guru disalah
satu pondok pesantren terkemuka dikota ini. Tapi, semenjak lulus kuliah, aku
tidak pernah lagi bertemu dengan Rio. Entah mengapa hingga saat ini aku masih
belum bisa melupakan dia.
Hari
ini aku janjian untuk bertemu dengan Fahmi dan Sri disebuah Kafe dekat
kantorku. “Assalamu Alaikum… maaf, sudah menunggu lama yah?” ucap Sri sangat
ramah.
“tidak
kok, Fahmi mana? Kalian tidak barengan?” Tanyaku saat menyadari Fahmi belum
datang.
“katanya
sih, dia ada urusan dulu. Mungkin dia datangnya agak lambat?” ucap Sri lagi.
Aku hanya mengangguk.
“bagaimana
rasanya jadi guru?” tanyaku memulai percakapan.
“menyenangkan
karena bisa berbagi ilmu. Kamu sendiri bagaimana dikantor?”. Dari dulu sampai
sekarang Sri selalu semangat dalam mengerjakan apapun.
“menyenangkan
karena aku bisa menyalurkan hobi menulisku, dan aku bisa bertemu dengan
berbagai narasumber yang hebat-hebat. Edisi ini aku ingin mewawancarai kamu
dengan Fahmi sebagai contoh guru teladan, edukasi dan inovatif”. Sripun kaget
mendengar perkataanku.
“haa…
kenapa harus aku, masih banyak guru-guru yang lebih berpenglaman”. Seru Sri
kaget.
“menurut
beberapa sumber yang aku dapat, kalian berdua ini ada guru favorit di pondok
pesantren. Bahkan kalian berdua berhasil membawa beberapa siswa kalian
berprestasi ditingkat nasional dan internasional”. Seruku penuh semangat.
“hahaha…
itu bukan karena aku dan Fahmi, tapi karena siswa-siswa itu yang sudah
berusaha”. Seru Sri masih rendah hati.
“sudalah
jangan banyak alasan, pokoknya aku mau mewawancarai kalian berdua”. Ucapku
tersenyum.
“Fahmi
kemana yah, kenapa belum datang?”. Akupun melirik jam ditanganku.
“mungkin
dia terjebak macet”.
“tapi,
sudah sejam kita menunggu dia”. Ucapku tidak sabaran.
“sabar…
dia pasti datang kok, aku tahu Fahmi itu tidak pernah ingkar janji”. Sri
berusaha membela Fahmi.
“sepertinya
kamu itu sangat memahami Fahmi. Kalau dipikir-pikir kalian berdua sangat cocok.
Sama-sama baik, taat agama, pintar, kreatif, selalu semangat dan masih banyak
lagi. Jangan-jangan kalian itu berjodoh”. Ucapku dengan nada bercanda.
“iii…
kamu apa-apaan sih. menurut aku, Fahmi lebih suka sama kamu. Dari dulu dia
sangat perhatian sama kamu”. Seru Sri dengan muka memerah. Akupun tertawa
melihat tingkah Sri.
Setelah
menunggu cukup lama, akhirnya Fahmipun datang. Aku segera mengeluarkan kertas
note bookku. Awalnya mereka berdua tidak ingin menjadi narasumberku tapi
setelah aku membujuknya merekapun bersedia melakukannya. Aku mulai mengeluarkan
pertanyaan demi pertanyaan pada mereka berdua. Dan tibalah pada pertanyaan
akhir yaitu pertanyaan pamungkasku. “kalian berduakan sudah bisa dibilang
sukses menjadi guru yang hebat, tapi kapan kalian akan menikah?” mereka
berduapun tampak kaget mendengar pertanyaanku.
“maksudnya???”
seru Fahmi memperjelas pertanyaanku. Aku tidak bisa menahan tawaku melihat
ekspresi mereka
“eee..
maksud aku, kapan kalian akan menikah dengan pilihan hati kalian
masing-masing”. Jelasku sambil tertawa.
“hehehe…
aku kira kamu menanyakan kapan aku sama Sri menikah. Kalau soal pernikahan aku
masih belum tahu, calonnya saja belum dapat jadi bagaimana mau menikah?” jawab
Fahmi juga diikuti tawanya.
“bagaimana
kriteria wanita yang bisa jadi calon istri yang cocok buat kamu?” tanyaku lagi
pada Fahmi.
“yang
penting dia itu taat pada Allah, karena jika dia sudah taat pada Allah maka dia
juga akan taat pada suaminya kelak”. Ucap Fahmi tersenyum. Akupun melirik Sri
dengan penuh iseng. Seketika muka Sri memerah.
“bagaiman
dengan kamu Sri?” ucapanku menganggetkan Sri.
“ee..
kalau aku… yang penting dia bisa menjadi imam yang baik buat aku dan bisa
selalu menuntun kejalan Allah SWT”. Ucap Sri penuh keyakinan.
“sepertinya kalian berdua ini
memang sangat cocok, tinggal tunggu undangannya aja nih. Hahaha”. Wajah Sri
masih memerah sedangkan Fahmi melototiku dengan kesal. Akupun tertawa puas
melihat tingkah mereka.
Aku
menikamati waktu istirahatku dirumah. Ini waktu yang sangat kubutuhkan ditengah
aktivitas padatku. Tiba-tiba HPku berbunyi, aku segera mengangkatnya. “halo..
Assalamu Alaikum…”seruku.
“Walaikum
salam… Raisa kita bisa ketemu besok sore nggak”. Ucap Fahmi diujung telepon.
“eee..
besok aku usahakan. Memangnya ada apa?” Tanyaku agak heran.
“ada
yang ingin aku sampaikan sama kamu”. Perkataan Fahmi membuatku penasaran.
“tapi
kamu mengajak Sri jugakan”.
“iya,
aku akan mengajaknya”. Setelah berbincang cukup lama, Fahmipun menutup
teleponnya.
Keesokan
harinya, aku sudah berada dikafe tempat kami janjian. Dari jauh aku sudah
melihat Fahmi dan Sri. Mereka melambaikan tangan kearahku.
“Assalamu
Alaikum… maaf aku agak lambat, soalnya tadi sibuk banget dikantor” jelasku pada
mereka.
“Walaikum
salam. Tidak apa-apa kok, kami juga baru datang”. Seru Fahmi. Aku agak heran
melihat penampilan Fahmi yang agak berbeda dari biasanya,
“sebenarnya
aku mengajak kamu bertemu disini karena aku ingin mengutarakan perasaanku
padamu. Aku sudah lama menyukaimu dan kalau boleh aku ingin melamar kamu”. Aku
sangat kaget mendengar perkataan Fahmi dan aku melirik Sri yang hanya menunduk
disamping Fahmi.
“Fahmi
sudah mengatan semuanya padaku. Dia sangat menyukai kamu Raisa, dan aku rasa
kalian berdua sangat cocok”. Ucap Sri dengan wajah sedih yang disembunyikan
dibalik senyumnya. Aku masih tidak bisa berkata-kata. Aku tidak ingin
mengecewakan hati kedua sahabatku ini. Aku tahu Sri menyukai Fahmi tapi aku
juga tidak mungkin menolak Fahmi tanpa alasan yang jelas.
“bagaimana
Raisa? Apa kamu mau menerimah aku?” ucap Fahmi sekali lagi sambil menyodorkan
sebuah kotak merah.
“ini
apa?”. Tanyaku pada Fahmi. Diapun membuka kotak merah itu, yang ternyata isinya
adalah sebuah kalung.
“jika
kamu mau menerimah aku silahkan memakai kalung itu, tapi jika kamu tidak menerimaku
kamu tidak usah memakainya. Tapi aku tidak akan memaksamu untuk menjawabnya
sekarang”. Fahmipun meletakkan kotak merah itu dihadapanku.
“Raisa pikirkan baik-baik. Fahmi
itu cowok yang baik buat kamu”. Seru Sri. Sementara itu aku hanya terdiam tak
mampu berkata apa-apa.
Semalaman
ini aku tidak bisa tidur dengan nyenyak memikirkan kejadian tadi sore, semuanya
terjadi begitu cepat. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Aku tidak mau
mengecewakan Fahmi yang sudah begitu baik padaku, dia selalu ada disetiap aku
membutuhkannya. Tapi, disisi lain aku tidak ingin membuat Sri sakit hati, aku
tahu dia menyukai Fahmi walaupun dia tidak pernah mengungkapkannya. Ya Allah
berikanlah hamba-Mu petunjuk, hamba tidak ingin mengecewakan sahabat-sahabat
hamba.
Tiba-tiba
Hpku berbunyi tanda pesan masuk. Tertera nama Fahmi. Akupun segera membuka
pesan tersebut. “Assalamu Alaikum… Raisa maafkan aku jika aku sudah membuat
keputusan yang mendadak seperti ini, sebenarnya aku sudah menyukaimu sejak kita
masih kuliah. Kamu ingat saat kamu pernah memintaku untuk menjadi penjaga
hatimu? Waktu itu aku sudah bertekad untuk selalu menjaga hatimu agar tidak
terluka. Dan sekarang aku ingin menjadi penjaga sekaligus pemilik hatimu. Aku
harap kamu bisa mempercayakan hatimu padaku”. Pesan tersebut membuatku tambah
bingung. aku ingin sekali curhat sama Sri tapi aku tidak ingin membuatnya sakit
hati. Akupun mengambil buku diariku untuk mencurahkan semua perasaanku.
HPku
berdering lagi tanda telepon masuk. “Halo Assalamu Alaikum…”. Ucapku.
“Walaikum
Salam… bagaimana Raisa apa kamu sudah membuat keputusan?” Tanya Sri diujung
telepon.
“eee…
aku masih bingung Sri”. Ucapku pasrah.
“kalau
kamu masih bingung, kamu sholat tahajud minta pentunjuk sama Allah. Tapi
menurut aku Fahmi itu sangat baik dan bisa menjadi imam yang baik buat kamu
kelak”. Sri mencoba menyakinkan aku.
“aku
tahu itu Sri, tapi entah mengapa hatiku masih sulit untuk menerimahnya, aku
sudah menganggap dia sahabatku sejak dulu. Dan itu sulit untuk dirubah”. akupun
mengungkapkan perasaan yang mengganjal dihatiku.
“sahabatku…
cinta itu akan tumbuh ketika kita bisa membuka hati dengan ikhlas pada orang tersebut.
Banyak-banyaklah berdoa pada Allah”. Sri selalu memberikan solusi yang
membuatku lebih tenang.
“makasih yah Sri, aku akan memikirkan
semua ini dan minta petunjuk sama Allah”. setelah kami puas berbincang-bincang,
Sripun menutup teleponnya.
Jam
sudah menunjukkan pukul 03.00, aku segera ambil air wudhu untuk sholat Tahajud.
Akupun mencurahkan seluruh keluh kesahku pada Allah. dan hatiku terasa lebih
tenang. Entah mengapa tiba-tiba aku teringat dengan sosok Rio yang pernah
menjadi pemilik hatiku. Ya Allah
pertanda apa ini, sudah lama aku tidak bertemu dengan dia, tapi kenapa
tiba-tiba dia menghampiri ingatanku lagi.
Pagi
ini aku akan bertemu dengan Fahmi. Akupun berjalan menuju kafe dekat kantorku
tempat dimana aku dan Fahmi janjian. Walaupun aku belum yakin dengan pilihanku
ini tapi aku harus memberikan kepastian pada Fahmi.
“Assalamu
Alaikum… kamu sudah menunggu lama?”
ucapku saat sudah berada didepan Fahmi. Diapun menyambutku dengan
senyuman manisnya.
“Walaikum
salam… tidak, aku baru datang kok. Silahkan duduk”. Ucapnya penuh kelembutan.
susanapun menjadi hening. Aku tidak tahu apa yang harus kuucapkan begitupun
dengan Fahmi yang terlihat sedikit gugup. Walaupun kami sudah bersahabat begitu
lama, tapi baru kali ini aku merasakan hal seperti ini.
“eee…
bagaimana???” seru Fahmi memecah kesunyian. Pertanyaan itupun mengisyaratkan
aku untuk menentukan pilihanku.
“sebenarnya
aku sangat kaget dan masih tidak percaya dengan semua ini, aku minta maaf jika
selama ini aku tidak pernah mengerti perasaan kamu. Tapi untuk kedepannya aku
akan berusaha untuk lebih mengerti kamu”. Ucapku sangat gugup.
Ekspresi Fahmi seketika berubah.
“maksudnya kamu menerimah aku?” Fahmi memperjelas apa yang kukatakan. Akupun
hanya mengangguk pelan. Sekilas terlihat bahagia menyelimuti Fahmi. Akupun
pamit pada Fahmi setelah selesai makan.
Sesampainya
dirumah aku segera kekamar. Aku masih belum memberitahukan kedua orang tuaku
mengenai lamaran Fahmi. Dia memang belum secara resmi melamarku pada kedua
orang tuaku karena dia menunggu kedua orang tua yang berada diluar kota. Diapun
mengatakan minggu depan akan segera melamarku secara resmi. Tapi aku tidak
merasakan kebahagiaan seperti yang dirasakan Fahmi. Aku masih merasa terbebani
dengan ini semua.
“Ma..
mama liat buku diari aku?” ucapku pada mama yang sedang berada didapur. Seperti
biasanya aku selalu mencurahkan isi hatiku pada buku diari jika aku tidak bisa
curhat pada sahabat-sahabatku, tapi entah dimana buku diari itu berada.
“buku
yang mana?” ucap mama yang masih sibuk memotong-motong sayuran.
“buku
yang warnanya merah Ma, tadi malam masih ada diatas meja”. Aku sudah frustasi
mencarinya di semua sudut rungan kamarku.
“bukannya
tadi pagi kamu membawanya kekantor. Mama liat kamu memegangnya”. Akupun mengingat
kejadian tadi pagi. Sepertinya buku itu ketinggalan dikantor. Semoga tidak ada
yang mengambilnya, semua rahasiaku ada pada buku itu.
“ma
aku mau mengambil bukuku dikantor”. Ucapku pamit pada mamaku.
“sayang
ini sudah malam. Besok saja kamu mengambilnya”. Ucap mamaku khawatir.
“tapi
ma, buku itu sangat penting buatku” aku sedikit merengek pada mama.
“baiklah
tapi kamu hati-hati yah”.
“makasih
ya ma… Assalamu alaikum”. Ucapku pamit dan
bergegas menuju kantor.
Aku membangungkan pak Satpam untuk
membukakan pintu kantor. Sesampaianya dirunganku ternyata buku yang kucari
tidak ada. Akupun sudah putus asa mencari buku itu. Akhirnya aku pulang kerumah
dengan kecewa.
Hari ini aku tidak konsen
mengerjakan semua pekerjaan dikantor. Aku masih memikirkan buku diariku. Buku
itu sangat penting bagiku. Hpku berbunyi, ternyata yang menelpon adalah Fahmi.
Aku meraih Hpku dan menjawab telponnya. “Halo… Assalamu Alaikum…” ucapku.
“Walaikum
salam… kamu lagi sibuk yah?” Tanya Fahmi secara spontan.
“eee
kalau sekarang masih sibuk. Memangnya kenapa?” tanyaku.
“aku
Cuma mau mengajak kamu ketemuan”. Ucapnya jujur.
“kita
ketemuan saja dirumahku nanti sore. Sekalian kamu ketemu orang tuaku”. Akupun
memberikan solusi supaya dia tidak kecewa.
“sebenarnya
aku mau ketemu orang tua tapi aku tidak bisa soalnya aku ada acara sore nanti.
Siang ini kamu tidak bisa?” tanyanya lagi.
“baiklah
akan kuusahakan. Memangnya apa yang ingin kamu bicarakan?” seruku penasaran.
“nanti
aja aku memberi tahukanmu. Kita ketemu dikafe depan kantormu yah”. Ucapnya
sebelum menutup teleponnya.
Jam sudah menunjukkan pukul 16.00.
aku segera kekafe tempat aku janjian dengan Fahmi. Sudah sejam aku telat.
Mungkin saat ini Fahmi sudah pergi, akupun tidak sempat menelponnya karena
pekerjaan dikantor sangat banyak.
Sesampainya
dikafe aku segera mencari sosok Fahmi. Kulihat sekeliling kafe, dan untungnya
aku melihat dia duduk dipojok. Tapi sepertinya dia tidak sendirian, dia
terlihat bersama dengan sosok lelaki. Fahmi melihatku dan melampaikan tangannya
kearahku. Akupun segera berjalan kearah Fahmi tapi aku masih belum tahu dengan
siapa Fahmi.
“Assalamu
Alaikum… maaf aku telat”. Ucapku ongos-ongsan. Jantungku terasa berhenti saat
melihat lelaki yang berada didepan Fahmi.
“Walaikum
Salam… apa kabar Raisa?” ucap lelaki itu. Akupun diam terpaku melihat Rio
dihadapanku. Sekilas dia tidak berubah tapi sekarang dia terlihat lebih rapi.
“silahkan
duduk…” ucap Rio lagi sambil menarik kursi yang ada didekatnya. Aku masih belum
bisa mengendalikan detak jantung yang berdetak seribu kali lebih cepat.
“Raisa
kenapa kamu diam saja?” Tanya Fahmi yang menyadari tingkah anehku.
“eee…
maaf aku… aku sedikit capek saja.”. ucapku asal.
“bagaimana
kabar kamu Raisa?” Tanya Rio lagi. mendengar suaranya membuatku canggung.
“Alhamdulillah
baik… kamu bagaimana?” akupun berusaha mengendalikan diriku untuk bersikap
biasa.
“Alhamdulillah
baik. kata Fahmi sekarang kamu bekerja dia majalah Fashion islami?” Tanya Rio
berusaha mencairkan suasana.
“iya”.
Jawabku singkat karena masih terlalu canggung melihat Rio.
“pantas
saja kamu diterimah disana ternyata fashion kamu keren bahkan kamu terlihat
lebih cantik”. Ucap Rio keceplosan, diapun segera menutup mulutnya dan meminta
maaf. Aku tidak bisa menahan tawaku melihat tingkahnya yang masih tidak
berubah.
“oo
iya, Raisa. Ini buku kamukan, kemarin ketinggal”. Fahmipun menyodorkan buku
yang selama ini kucari yaitu buku diariku. Akupun mengambilnya secepat kilat.
“itu
buku apa?” Tanya Rio pensaran. aku hanya tersenyum tanpa menjawabnya.
“Raisa,
silahkan pesan makan dulu. Aku sama Rio sudah memesan makanan”. Fahmi
menyodorkan daftar menu makanan yang ada didekatnya.
“oh
iya, kalian ketemu dimana, kenapa bisa barengan disini?” tanyaku pesaran.
“aku
dan Fahmi ketemu diacara seminar kemarin”. Jawab Rio.
“iya
Raisa, aku memang ketemu dia kemarin dan dia juga memaksaku untuk menelpon kamu
supaya ketemuan ditempat ini”. Fahmi menjelaskan lebih detail. Riopun
menyenggol tangan Fahmi. Sekali lagi tingkah Rio membuatku tertawa. Setelah
puas berbincang-bincang dan bernostalgia, Riopun pamit pulang.
“terima
kasih atas waktu kalian hari ini, aku sangat senang bisa bertemu kalian lagi.
Assalamu Alaikum…” ucap Rio sebelum meninggalkan kafe. “walaiku salam” jawabku
bersamaan dengan Fahmi. Sekarang tinggal aku dan Fahmi.
“bukannya
tadi ada ingin kamu bicarakan?” tanyaku pada Fahmi saat Rio sudah pergi.
“eee..
masalah itu… nanti aja kita bicarakan. Kamu tahu nggak kalau Rio itu baru
pulang dari mesir. Dia melanjutkan S2 disana, dan sekarang dia salah satu dosen
dikampus kita dulu”. Sepertinya Fahmi mencoba mengalihkan pembicaraan.
“dia
sudah berubah menjadi orang yang hebat. Dulu dia tidak pernah menghargai orang
lain dan dia juga sangat sombong. Tapi sekarang semua sifat buruknya itu tidak
tampak lagi pada dirinya. Dia juga terlihat lebih dewasa”. ucapku.
“sepertinya
kamu mengenal dia luar dan dalam”. Seru Fahmi yang terlihat cemburu.
“akukan
pernah dekat dengan dia. Pasti ada sosok wanita yang merubah dia seperti ini.
Apa dia sudah menikah?” Tanyaku tiba-tiba pada Fahmi.
“sepertinya
belum. Oh iya, dia menitipkan ini keaku”. Fahmi menyodorkan sepucuk surat
padaku.
“kenapa
dia tidak memberikan padaku secara langsung?” tanyaku bingung.
“mungkin dia malu”. Jawab Fahmi singkat. Tidak
biasanya Rio begini pikirku. akupun mengambil surat itu dan memasukkan kedalam
tasku.
Sesampainya
dirumah, akupun tidak bisa berhenti tersenyum mengingat wajah Rio. Tapi
perasaan tiu seketika buyar saat aku menyadari sudah menerimah lamaran Fahmi.
Aku tidak tahu apakah Rio sudah tahu soal ini. Aku tidak mungkin meninggalkan
Fahmi demi Rio. Rasa sedihpun menyelimuti hatiku.
Kini
aku harus membuka hati untuk Fahmi dan melupakan semua kenanganku bersama Rio,
walaupun itu sulit tapi harus tetap kujalani. Fahmi adalah calon imanku dan aku
akan berusaha membangun cintaku padanya.
Jam
sudah menunjukkan pukul 00.30 menit tapi mataku masih sulit terpejam, pikiranku
bercampur aduk begitupun perasaanku yang tidak menentu. aku segera bangun dan
mengambil air wudhu untuk sholat Istihara. Perasaankupun lebih tenang seusai
sholat, aku segera kembali ketempat tidur.
“Raisa…
bangun sayang. Sudah waktunya sholat subuh”. Suara mama terdengar dari luar.
Aku melihat jam wakerku yang ternyata sudah menunjukkan pukul 05.15. aku segera
bangun mengambil air wudhu dan menunaikan
kewajibanku.
Hari
ini aku menjalani hari-hariku seperti biasanya dikantor. Dan mengerjakan semua
pekerjaan yang bertumpuk. Tiba-tiba hasil wawancara Weni disodorkan padaku.
“ini
apa pak?” ucapku kaget pada bos di perasahaan ini.
“ini hasil wawancara Weni. Tolong
kamu edit soalnya Weni tiba-tiba sakit dan hasil wawancara ini akan diterbitkan
minggu ini.” Aku hanya mengangguk pasrah. Akupun melihat profil narasumber
tersebut, aku sangat kaget ketika melihat namanya Muh. Rio Adipurnama.
Akupun membaca hasil wawancara itu
dengan cermat. Aku tidak percaya Rio bisa sehebat ini dan bisa meraih banyak
penghargaan diluar dan dalam negeri. Apa
yang membuat anda bisa sehebat ini? Pertanyaan itu menyita perhatianku.
Dengan semangat aku membaca jawaban Rio. Aku
tidak hebat tapi beruntung. Dulu aku hanyalah mahasiswa biasa yang tidak
berprestasi sama sekali bahkan aku sering bolos kuliah. Aku hanya kuliah karena
menuruti kata orang tua. Tapi semuanya berubah saat aku bertemu dengan seorang
wanita yang hebat. Karena dibalik kesuksesan seorang lelaki ada wanita yang
hebat dibelakangnya. Aku seperti ini
karena dia. Apakah dia berubah
karena sudah mempunyai istri, Pikirku agak kesal. Apakah wanita itu adalah istri anda?. Pertanyaan selanjutnyapun
diajukan oleh Weni. Bukan, tapi semoga
dia bisa menjadi istriku kelak. Walaupun aku dan dia sudah tidak pernah bertemu
lagi, tapi aku harap semoga Allah mempertemukan kami lagi. akupun membaca
semua hasil wawancara itu dengan penuh semangat dan dari situlah akhirnya aku
tahu ternyata Rio masih sangat mencintaiku.
Ternyata
Rio masih sangat mencintaiku, tapi aku malah menerimah lamaran Fahmi. Hanya air
mata yang mewakili semua perasaanku.
Setelah
berkutat dengan komputerku akhirnya semua pekerjaanku rampung. Aku bergegas
untuk pulang. aku berjalan menuju kelobi kantor, dari jauh terlihat Rio didepan
kantor. Dia melambaikan tangan kearahku. Aku segera menghampirinya.
“Assalamu
Alaikum”. Ucapku saat sudah berada dihadapannya.
“Walaikum
salam… ada yang ingin aku bicarakan dengan kamu. Kamu ada waktukan?”. Ucapnya.
“apa
yang ingin kamu bicarakan?” aku penasaran dengan sikap Fahmi yang tidak seperti
biasanya.
“
kita ke kafe depan soalnya disini banyak orang”. Fahmipun berjalan menuju kafe
depan dan aku mengikutinya.
“memang
apa yang ingin kamu bicarakan?” tanyaku penasaran saat kami sudah berada
didalam kafe.
“eee…
sebenarnya… aku ingin minta maaf sama kamu”. Kini wajah Fahmi berubah menjadi
pucat pasih.
“kenapa
kamu minta maaf? Kamu salah apa sama aku?”. akupun semakin bingung. Fahmi hanya
menunduk tanpa menjawab pertanyaanku.
“maafkan aku Raisa. Aku sudah membaca buku diarimu”.
jantungku seolah berhenti berdetak mendengarkan ucapan yang terlontar dari
mulut Fahmi. Semua rahasia hatiku ada pada buku itu dan dia membacanya tanpa
sepengetahuanku.
“Kenapa
kamu begitu lancang”. Ucapku penuh emosi. Wajah Fahmi semakin pucat, bibirnya
gemetaran.
“aku
sudah tahu semuanya Raisa. Aku tahu kalau kamu masih sangat mencintai Rio.
Seharusnya sudah dari awal aku menyadari hal ini. Tapi aku malah memaksakan
kehendakku untuk membuatmu mencintaiku. Aku tidak pernah mengerti perasaanmu”.
Fahmipun tidak mampu menahan tangisnya. Aku hanya terdiam tanpa mengucapkan
sepatah katapun.
“seharusnya
aku tidak memaksakan kehendakku untuk menjadi pemilik hatimu karena aku hanya
sebagai penajaga hati buatmu. Aku akan membatalkan lamaranku, karena aku tidak
ingin membuat kesalah yang kedua kalinya. Aku tahu kamu masih sangat mencintai
Rio dan begitupun dengan Rio, dia masih sayang dengan kamu”. Aku menatap Rio,
tiba-tiba air mataku menetes tanpa henti.
“Kenapa
kamu tiba-tiba mengambil keputusan seperti ini.” ucapku penuh emosi.
“aku
tidak ingin membuatmu menderita lagi. aku hanya ingin melihatmu bahagia dengan
pilihan hatimu dan calon imam yang lebih pantas buatmu. Dan aku tahu itu adalah
Rio”. Fahmi menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskan secara pelan-pelan.
Suasanapun menjadi hening.
“Rio
akan kesini. Jadi kamu hapus air matamu. Aku mohon tolong kamu rahasiakan ini
padanya. Anggap saja ini hanya mimpi dan lupakan semuanya. Aku tidak ingin
membuat Rio marah ataupun merasa bersalah padaku”. Ucap Fahmi dengan senyum dibalik
lukanya. Akupun mengangguk pelan.
Beberapa
menit kemudian Rio datang dengan wajah penuh keceriaan. Dari kejauhan dia sudah
menampakkan senyum manisnya. “Assalamu Alaikum”. Ucapnya saat sudah duduk
diantara aku dan Fahmi.
“walaikum
salam” ucapku bersamaan dengan Fahmi. Riopun menatap wajahku dengan curiga.
“kamu
habis nangis?” Tanya Rio masih memperhatikanku, aku segera menunduk dan
mengambil tissue didepan meja.
“tidak,
mana mungkin dia menangis”. Fahmipun berbohong sama Rio. Tapi, Rio masih menatapku
dengan penuh curiga.
“apa
persiapan rencanamu sudah beres”. Tanya Fahmi tiba-tiba, membuat Rio
mengahlihkan perhatiannya padaku.
“Ssst…
itu surprise”. Ucapnya penuh misterius.
“surprise
apa sih”. Ucapku penasaran melihat tingkah laku mereka berdua yang
mencurigakan.
Semua
lampu kafe tiba-tiba mati. Terdengar suara teriakan pengunjung kafe yang kaget.
“ada
apa ini?” ucapku takut. Rio menyalakan sebuah lilin dan meletakkan lilin itu
diatas meja. Aku melihat sosok Rio yang membawa bungan dan sebuah cincin.
“Mungkin
aku masih belum pantas buatku tapi aku akan berusaha menjadi imam yang baik
buatmu. Dulu aku mencintai dan sekarang aku masih sangat mencintaimu, dulu aku
memberikanmu cinta yang tidak halal tapi sekarang aku ingin cinta itu menjadi
halal. Aku mencintaimu karena Allah. maukah kamu menikah denganku?”. Ucap Rio
penuh romantis membuat jantungku berdetak sangat kencang, aku tidak dapat
mengungkapkan sepata katapun, bibirku terasa kaku. Aku melirik Fahmi yang
berada disamping Rio. Dia hanya tersenyum mengangguk, aku kembali menatap Rio,
dia terlihat begitu tegang. aku hanya menangis tak mampu berkata apa-apa.
“kenapa
kamu menangis Raisa? Apa itu artinya kamu menolak aku?” Ekspresi kecewa
terpancar diwajah Rio.
“tentu saja aku menerimahmu. Aku
sudah lama menunggu hari ini. Hari dimana kamu melamarku”. Ucapku ditengah
tangisku. Rio dan Fahmipun tertawa secara bersamaan.
Setelah
sebulan mempersiapkan acara pernikahan ini, akhirnya hari ini aku akan resmi
menjadi istri Rio. Aku begitu gelisah, rasa takut, tegang, senang, semuanya
bercampur aduk. Sekarang aku berada dikamar menunggu Rio yang saat ini sudah
berada didepan penghulu untuk mengucapkan ijab Kabul. Mulutku tidak pernah
berhenti berdoa, memohon pada Allah supaya dilancarkan semuanya.
“Raisa,
kamu sekarang boleh keluar bertemu dengan suamimu”. Ucap tanteku dengan wajah
bahagia. Akupun tersenyum dan segera keluar kamar untuk menemui suamiku.
Aku
tidak dapat membunyikan kebahagiaanku saat berada dihadapan Rio. Dia terseyum
penuh mesra padaku. Aku menatapnya, tiba-tiba air mataku terjatuh tanpa
kusadari.
“kenapa
kamu menangis sayang? aku tidak ingin melihatmu meneteskan air mata karena
aku”. bisik Rio sambil menghapus air mataku. Dia mencium keningku penuh mesra
dan akupun tersenyum seketika.
Malam
ini resepsipun digelar, semua keluarga, kerabat dan teman-tamanku dan Rio
diundang. Diantara para tamu undangan terlihat Sri dan Fahmi, aku melihat
keduanya begitu serasi.
“Assalamu
alaikum… selamat yah sudah resmi menjadi sepasang suami istri”. Ucap Fahmi.
“Walaikum
salam. Iya makasih sudah datang” ucap Rio sambil memeluk Fahmi.
“semoga
kalian bisa menjadi keluarga yang sakinah mawaddah warahma. Semoga Allah selalu
meridhoi rumah tangga kalian”. Ucap Sri.
“amin.
Makasih yah sudah datang. Kapan kalian menyusul?” ucapku bercanda. Fahmi dan
Sripun hanya tersenyum.
“doakan
saja secepatnya.”. ucap Fahmi masih tersenyum. Wajah Sri terlihat memerah, aku
dan Rio tersenyum melihat tingkah laku kedua sahabatku tersebut.
Setelah
resepsi selesai, akupun sudah berada dikamar menunggu Rio. aku sangat
deg-degkan menunggunya. Setelah beberapa menit menunggu akhirnya Rio masuk
kamar, aku tersenyum melihatnya dan dia membalas senyumku penuh kemesraan.
Perlahan-lahan dia mendekatiku dan menarikku kedalam pelukannya.
“terima
kasih karena kamu sudah memberikan aku kesempatan untuk menjadi kekasih
halalmu. Aku mencintaimu sayang, aku mencintai karena Allah. aku sangat
bersyukur Allah mempersatukan kita dalam indahnya jalinan rumah tangga”. Ucap
Rio penuh mesra.
“aku
akan berusaha menjadi istri yang soleha dan menjadi kekasih halal yang selalu
mencintaimu”. Ucapku membalas kemesraan Rio.
Akupun
mengerti betapa indahnya menajalin cinta dengan ridho Allah, tidak ada lagi
kecemasan yang menghampiriku. Kebahagiaankupun terasa lebih lengkap.