Tuesday 27 May 2014



Kekasih Yang Halal

Mungkin aku adalah cewek yang paling beruntung bisa mendapatkan cowok yang super keren, cool, kaya dan paling populer dikampus. Aku yang hanya mahamahasiswi yang biasa-biasa menjadi sangat luar biasa karena bisa pacaran dengan dia. Bahkan setiap hari kami selalu jadi bahan perbincangan menarik dikampus. Banyak cewek-cewek yang iri sama aku. Termasuk Helen, cewek yang paling populer dikampus ini. Dia seorang model dan pernah beberapa kali menjadi bintang iklan dan model video klip.
Tapi, sampai saat ini aku masih tidak percaya Rio lebih memilih aku dari pada dia. Dan semua ini masih seperti mimpi buat aku. Belum cukup sebulan aku pindah dikampus Harapan Bangsa ini, tapi aku sudah menjadi tranding topic setiap hari.
“Hai, say… ayo pergi makan” ajak Rio yang baru keluar dari kelas. Setiap hari kami selalu kekantin bersama. Lebih tepatnya kami selalu bersama setiap saat.
“iya say, tapi kamu yang bayarin yah” pintaku dengan mesra. Dia hanya tersenyum dan menggandeng tanganku menuju kekantin.
“weitzz… si couple mau kemana nie?” goda Rendi salah satu teman Rio.
“kenapa iri?” ucap Rio jutek. Sikap Rio memang selalu jutek pada semua orang dikampus. Bahkan dia  sombong dan terkesan pemarah.tapi, aku tidak peduli dengan semua itu karena dia tidak pernah menunjukkan sikapnya itu sama aku. Dia selalu bersikap manis padaku.
“say mau pesan apa?” tanya Rio dengan penuh hangat.
“bakso say”. Jawabku mesra. Diapun segera berdiri dan memesannya. Tidak lama kemudian. Pesanan kamipun datang.
“mas ini baksooo…. Aaa”. Bakso itupun menumpahi baju Rio.
“berengsekkk. Kamu tidak punya mata yah”. Ucap Rio penuh emosi. Kepalan tinjunyapun hampir mendarat diwajah pak Parno.
“jangan”. Seru Fahmi sambil memegang tangan Randi. Wajah rendi terlihat memerah karena menahan amarahnya.
“kamu jangan ikut campur, culun”. Diapun melihat Fahmi dengan penuh kebencian.
“maaf mas, aku tidak sengaja”. Ucap pak Parno dengan eksperesi ketakutan.
“aku tidak butuh permintaan maaf kamu, baju aku basa dan kotor. Kamu ini tidak becus”. Emosi Rio semakin tidak terkendali. Dia mendorong pak Parno, hingga pak Parno jatuh tersungkur di lantai.
“Rio kamu ini kenapa sih, pak Parnokan sudah minta maaf. Kenapa kamu malah melakukan itu padanya”. Akupun tidak bisa menahan emosiku.
Fahmi membantu pak Parno untuk berdiri. “Rio minta maaf sama Pak Parno. Cepat minta maaf”. Fahmipun menarik baju Rio. Rio melayangkan kepalan tinjunya kemuka Fahmi.
“aaa” teriakku histeris.
“aku tidak sudi minta maaf sama penjaga kantin kayak dia”. Riopun meninggalkan kantin tanpa mempedulikan kekacuan yang telah diperbuatnya.
“Fahmi, maafkan Rio yah”. Ucapku pada Fahmi.
“kenapa kamu yang meminta maaf, ini bukan salah kamu, tapi salah pacarmu”. Diapun memegang pipinya yang lebam.
“bibir kamu berdarah, aku antar kamu ke UKS yah”. Ucapku penuh bersalah, aku meresa harus bertanggung jawab atas apa yang dilakukan oleh Rio. Aku juga minta maaf kepada pak Parno dan membayar semua kerusakan dikantin.
“aaa… sakit, jangan kencang-kencang donk”. Protes Fahmi saat aku mengobati lukanya.
“Fahmi, aku mohon sama kamu. Jangan laporin Rio yah. Dia tadi hanya emosi, tapi sebenarnya dia orangnya sangat baik”. Aku sedikit memohon sama Fahmi.
“iya, aku tidak bakalan melaporkan dia. Tapi, kamu harus meminta dia untuk meminta maaf sama pak Parno”. Akupun mengiyakan permintaan Fahmi.
“thanksss. Aku duluan yah, aku mau cari Rio dulu”. Akupun segera keluar dari UKS.
Aku berjalan dikoridor kampus sambil mencari Rio. “say, kamu itu dari mana?”. ucap Rio mengagetkanku.
“Rio, aku tidak suka kalau kamu bersikap begini. kamu itu harus menghargai orang lain”. aku tidak bisa menahan emosiku melihat muka dia tanpa rasa bersalah.
“tapi say aku tidak salah, dan mana mungkin aku minta maaf sama penjaga kantin yang tidak becus itu. Itu bisa menurunkan citraku”. Ucapnya tanpa rasa bersalah sama sekali.
“justru sikapmu ini yang membuat citramu menurun. Pokoknya aku tidak mau bicara sama kamu sebelum kamu minta maaf sama pak Parno”. Ucapku sebelum meninggalkan Rio.
“tapi say…”. Aku tetap meneruskan langkahku tanpa menoleh padanya.
Seharian ini aku menghindari Rio. Walaupun terasa berat tapi aku harus melakukannya agar dia bisa sadar akan kelakuan buruknya itu.
“Say ayo kita pulang bareng” ajak Rio sambil menarik tanganku.
“akukan sudah bilang aku tidak mau biacara sama kamu sebelum kamu minta maaf sama Pak Parno, lagian apa salahnya sih, kamu minta maaf sama dia. Kamu meminta maaf beribu kali sama aku kalau aku marah tapi kenapa kamu tidak bisa minta maaf sama dia”.
“tentu bedalah say, kamu itu pacarku sedangkan dia hanya penjaga kantin kampus”.
“sikap kamu ini yang paling tidak  kusuka sama kamu, kamu itu selalu melihat orang dari status sosialnya”. Akupun menarik tanganku dari genggamannya. Aku harap semoga dia bisa menyadari kesalahnnya ini.
Terpaksa aku harus jalan kekompleks perumahan. Ini semua karena Rio, aku semakin  kesal mengiangat kelakuan dia tadi siang tapi disamping itu aku juga merindukan dia. Baru beberapa jam marahan sudah seperti ini.
“hai, kamu sendirian saja. Mau aku antar?” tegur Fahmi yang kebutulan lewat.
“eee… tidak usah”. Kenapa harus kata itu yang terlontar dari mulutku. Rumahku masih cukup jauh dari sini.
“tidak usah sungkan, rumah kitakan deketan”. Ucapnya tampa melihatku. Akhinya aku naik juga kemotornya.
“thanks yah sudah antarin aku. Aku tidak tahu kalau kamu tidak ada, mungkin betisku sudah pecah karena jalan kaki cukup jauh”. Ucapku sedikit bercanda.
“bukannya dulu waktu SMP kita selalu jalan bareng dari depan kompleks. Apa karena cowokmu yang super tajir itu selalu mengantar jemput kamu hingga kamu sudah tidak bisa jalan jauh”. Ucapanya cukup sinis.
“kamu kenapa sih, akukan Cuma bercanda. Kamu itu sudah berubah, bukan seperti Fahmi yang aku kenal dulu”. Akupun segera pergi dari hadapannya.
Fahmi kenapa kamu bisa berubah seperti ini, dulu kamu selalu menolong aku, dulu kamu itu sahabat terbaikku. Tapi sekarang kamu seperti orang lain bagiku. Kamu selalu bersikap dingin padaku.
TIT..TITTT… bunyi hp itu membuyarkan lamunanku. Aku melihat nama Rio tertera dilayar Hpku. Ternyata dia tidak tahan sehari tanpa berbicara sama aku. Hehehe… tapi, aku tidak akan mengangkat teleponnya, biar dia sadar dulu atas kesalahnnya. Maaf yah say, aku juga merindukanmu. Tapi aku mau melihat kamu berubah menjadi lebih baik.
Sekarang sudah jam 20.15 WIB. dan hpku mungkin sudah bunyi seribu kali. Ya ampun, Rio semangat banget menghubungi aku. Sampai-sampai panggilang tidak terjawabnya sudah segini banyaknya dan smsnya juga tidak kalah banyak. Ehm, bahkan mentionnya ditwitter, fb, wechat juga sangat banyak. Hehehe. Dia juga mengupload beberapa foto penyesalan di pad dan instagramnya. membuatku tidak tega mendiami dia terlalu lama.
“sayang. Ada teman kamu datang”. Panggil mama dari ruang tamu. Siapa yang datang malam-malam begini.
“tunggu ma, aku akan segera turun”.  Nanti aja aku balas semua permintaan maaf Rio ini. Dasar cowok nyebelin tapi kamu sangat angenin.
“hai say…” ucapnya sambil tersenyum lebar. Aku sangat kaget melihatnya yang tiba-tiba datang kerumahku.
“hai…” hanya itu yang kuucapkan.
“mama tinggal dulu, kamu bikinkan teman kamu minum”. Ucap mama sembari meninggalkan kami berdua.
“kamu mau minum apa?” ucapku dengan nada sedikit jutek sama Rio.
“tidak usah say, aku disini hanya mau minta maaf sama kamu”. Ucapnya dengan penuh penyesalan.
“ayo ikut aku ke taman, disini tidak aman untuk bicara berdua. Pasti mamaku lagi mengintip kita”. Akupun menarik tangan Rio menuju taman disamping rumahku.
“say. Apa kamu sudah memaafkan aku”. Ucapnya sedikit merengek. Aku tidak bisa menahan tawaku melihat ekspresinya.
“hahaha. Memanganya kamu salah apa sama aku? Kata maafmu itu seharusnya kamu tujukan ke Fahmi dan pak Parno”.
“ok say, aku akan minta maaf sama mereka berdua. Jujur aku tidak tahan seharian kamu marah sama aku. Sepertinya aku hampir gila”. Diapun mengularkan gombalannya.
“hahaha…. Aku tidak percaya, mana ada orang gila yang seganteng kamu ini”. Ucapku juga sedikit merayunya.
“walaupun aku gila tapi kegantenganku tidak akan berubah say. Hehehe. I LOVE U”. ucapnya sambil mencium tanganku dengan mesra. Rasanya sangat bahagia mempunya pacar seperti Rio yang super romantis ini. Aku tidak tahu, mungkin mama melihat kami. Tapi, aku tidak peduli. Yang penting aku merasa sangat bahagia saat ini.
Hari ini aku merasa sangat bahagia, mungkin karena efek keromantisan Rio tadi malam.
“sayang ayo bangun, kita pergi kepengajian”. Ucap mamaku sambil menarik selimutku.
“tapi ma, aku mau istirahat. Inikan hari minggu, hari istirhatnya aku dari rutinitas kampus”. Ucapku dengan penuh kemalasan.
“tidak ada alasan, cepat mandi sana, mama sama papa menunggu kamu didepan”. Dengan berat hati akupun beranjak dari tempat tidur.
“Raisa cepat”. Terdengar teriakan papa dari luar.
“iya pa tunggu”. Teriakku didalam kamar mandi. Akupun segera mandi dan memakai pakaian.
“ayo berangkat”. Ucapku begitu keluar dari rumah.
“sayang kita mau pengajian bukan ke mall, kenapa kamu berpakaian seperti ini”. Ucap mamaku heran.
“cepat ganti bajunya”. Ucap papa sedikit teriak. Akupun segera kembali kekamar untuk ganti baju, sebelum papa menyeretku.
Setelah beberapa menit, kamipun segera munuju tampat lokasi pengajian.
“gara-gara Raisa nih, kita jadi telat” gerutu papa saat kita sudah berada didepan mesjid.
“bukan salah Raisa kok pak, tapi papa aja yang bawa mobilnya sangat lelet”. Akupun membela diri.
“sudah-sudah, ayo cepat kita masuk” ucap mama sambil menarikku. Seperti dugaanku tempat ini pasti membosankan dan hanya dihadiri ibu-ibu dan bapak-bapak, sama sekali tidak ada seumuran denganku. Dengan terpaksa akupun mendengar ustadz favorit papa itu membawakan ceramahnya.
Wahai saudara-saudari yang diberkati oleh Allah swt. Ketahuilah bahwa jalan menuju surga tidaklah dihiasi dengan bunga-bunga nan indah, melainkan dipenuhi dengan rintangan yang berat untuk dilalui oleh manusia, kecuali orang-orang yang diberi ketegaran iman oleh Allah. Tapi ingatlah diujung jalan ini ada surga yang Allah sediakan untuk hamba-hamba-Nya yang sabar menempuhnya. Dan ketahuilah, bahwa jalan menuju nereka memang indah, penuh dengan syahwat dan kesenangan dunia yang setiap manusia pasti tertarik untuk menjalaninya. Namun perlu kita ingat nikmatnya duina hanyalah kesenangan sementara yang berujung kesengssaraan diakhirat.
Sepenggal ceramah ustadz itu membuatku jadi berpikir, bahwa selama ini aku ini  termasuk orang-orang yang hanya mau menempuh jalan yang indah yang hanya penuh syahwat. Aku tidak mau mengikuti saran mama untuk segera berhijab dan aku juga pacaran, padahal mama dan papaku sangat menentangnya. Sholatku juga selama ini masih bolong-bolong. Kalau benar kata pak ustadz bahwa kiamat sudah dekat pasti aku masuk neraka. Aku tidak boleh begini terus aku harus berubah. Pikirku dalam benak.
“bagaimana sayang, kamu tidak bosankan dengar ceramahnya?’ ucap mama setelah acaranya selesai yang membuatku terbangun dari lamunanku.
“iya, aku jadi berpikir, kalau aku selama ini hanya melakukan dosa terus. Maafin aku yah ma”. Akupun memeluk mamaku.
“papa kemana sih, sudah lama kita menunggu disini” gerutu mama.
“itu ma, tapi papa sedang bicara sama siapa?” tanyaku pada mama.
“bukannya itu Fahmi, anaknya bu Rina. Kalau tidak salah kalian satu kampuskan”. Ucap mama.
“iya ma itu memang Fahmi”. Akupun melambaikan tangan kearahnya. Dia hanya tersenyum, entah itu senyumnya ditujukan ke aku atau kemamaku.
“pa, kenapa tidak mengajak Fahmi pulang bareng kita aja”. Ucap mama.
“ma, diakan bawa motor sendiri”. Ucapku.
“iya ma dia bawa motor kesini. Sudalah ayo kita pulang”.
Keesokan harinya akupun bertemu Fahmi dikantin kampus. “hai…” sapaku padanya tapi dia hanya cuek tanpa mempedulikanku.
“Hai culun, kalau disapa menyahut donk”. Tegur Rio dengan penuh emosi.
“Rio aku tidak suka jika kamu masih bersikap seperti ini, bukannya kamu sudah janji mau minta maaf sama Fahmi dan Pak Parno”. Akupun menarik tangan Rio untuk berjabat tangan dengan Fahmi.
“aku sudah maafkan kamu dan lebih baik kamu juga segera minta maaf sama Pak Parno”. Seru Fahmi tanpa menggapai tangan Rio. Diapun segera pergi.
“eetss… kalau bukan karena kamu say, aku tidak akan minta maaf sama si Culun itu”. Emosi Rio semakin tidak tertahankan.
“aku tidak suka dengan sikapmu ini. Kenapa kamu tidak bisa mengontrol emosi kamu, kalau kamu masih begini mending kita tidak usah ketemu dulu?” akupun segera pergi dari tempat itu.
“Fahmi… tunggu…” aku segera berlari kearah Fahmi.
“ada apa?” ucapnya dingin melihatku.
“ee.. aku Cuma mau minta maaf soal tadi, maafkan sikap Rio yah”. ucapku meresa bersalah dengan perlakuan Rio tadi.
“kenapa kamu yang minta maaf, bukan kamukan yang salah. Dan aku juga sudah maafkan dia. tapi aku tidak suka dengan sikapnya yang terlalu sombong itu”.
“thanks… aku akan berusaha untuk membuatnya berubah menjadi lebih baik. Dan bisa tidak kita menjadi teman lagi, eee… kayak dulu waktu kita masih kecil..” akupun menjulurkan tanganku.
“bukannya kita sekarang berteman?” ucapnya sedikit heran.
“maksudku bukan teman seperti ini tapi lebih seperti sahabat, yang selalu mensuport dan selalu saling membantu saat kita kesusahan”. Ucapku sambil tersenyum.
“kamu tidak butuh sahabat seperti aku karena kamu sudah punya pacar yang sangat mencintai kamu”. Ekspresi juteknyapun masih belum berubah.
“pacar beda dengan sahabat. Pacar itu ibarat pemilik hati tapi sahabat itu  penjaga hati”. Akupun segera menggapai tangannya tanpa menunggu persetujuannya.
“ok… saat ini kita bersahabat lagi, aku akan ada setiap kamu membutuhkan aku dan begitupun sebaliknya, kamu juga harus ada setiap aku membutuhkan kamu. Jadilah sahabat dan penjaga hatiku”. Aku tersenyum bahagia, namun raut wajah Fahmi datar.
“Say, kita pulang bareng yah”. Ajak Rio saat melihatku baru keluar dari kelas,
“Rio, aku itu belum memaafkan kamu”. Seperti biasanya, aku akan menghindar dari dia jika aku marah supaya dia bisa menyadari kesalahannya.
“bukannya tadi aku sudah minta maaf, terus salahku dimana lagi?” ucapnya terdengar frustasi.
“kesalahan kamu karena tidak ikhlas minta maaf dan kamu minta maaf bukan karena menyadari kesalahanmu tadi tapi minta maaf hanya karena aku yang memintanya”.
Aku melihat Fahmi yang baru keluar dari kelasnya. “Fahmi…” aku melambaikan tangan kearahnya. Dia tampak cuek.
“Fahmi kita pulang bareng yah”. Teriakku. Diapun terkejut.
“loh… say, kenapa kamu malah mengajak dia pulang bareng. Pulang bareng aku aja, nanti kamu kepanasan kalau kamu naik motor. Mending naik mobil bareng aku”. Rio menarik tanganku.
“tidak… aku tidak mau ketemu kamu dulu, sebelum kamu merubah semua sifat burukmu itu”. Aku bergegas kearah Fahmi tanpa mempedulikan Rio yang masih diselimuti kemarahan.
“ok fine… kalau itu mau kamu, mungkin kamu bisa lebih menghargai aku jika kita tidak  bertemu dulu”. Teriaknya dengan penuh amarah membuat semua orang memperhatikan kami.
“kamu yakin mau pulang bareng aku?” Tanya Fahmi diparkiran.
“ya iyalah yakin, lagian aku lagi kesal dengan Rio. Dari dulu dia masih tidak bisa merubah sikapnya itu”. Seruku sedikit kesal.
“tapi kamu tidak perlu juga menjauhinya kalau  kamu tidak suka dengan sikapnya, setidaknya kamu memberikan pengertian padanya sedikit demi sedikit”.
“sudahlah, aku malas membahas ini. Nanti dia juga akan minta maaf dan memohon-mohon supaya aku tidak marah padanya lagi?”.
“tapi kalau dia tidak melakukan itu bagaimana? Kamu jugakan yang rugi”. Ucap Fahmi sedikit memojokkanku.
“aku yakin pasti dia akan minta maaf duluan”. Aku segera naik kemotor Fahmi.
HPku berbunyi tanda SMS masuk, segera kubuka inbox HPku, terlihat nama Rio terpampang dilayar. Akupun segera memebaca pesanya. Baiklah jika ini yang kamu inginkan, aku tidak akan mengganggu kamu dulu. Mungkin ini jalan yang terbaik untuk kita supaya menyadari kesalahn kita masing-masing. Pesan ini membuatku sedikit takut jika Rio berbalik marah padaku.
“Raisa… kita sudah sampai. Kamu tidak mau turun”. Ucapan Fahmi membangunkan aku dari lamunanku.
“eee… makasih yah”. Akupun segera masuk kerumah tanpa menunggu Fahmi pergi.
Sudah sejam aku melihat HPku yang berada diatas meja, menunggu Rio menelpon untuk meminta maaf tapi sampai saat ini tidak ada tanda-tanda hal itu akan terjadi. Akupun tidak tahan dan segera mengambilnya, aku mencoba melawan egoku untuk menelponnya duluan. Aku segera mencari nomornya. Tiba-tiba Hpku berdering, akupun segera mengangkatnya. “Halo… Rio, maafkan aku… aku tidak bermaksud untuk membuatmu marah”. Kata itu berentetan keluar dari mulutku.
“Assalamu Alaikum… maaf, aku bukan Rio tapi Fahmi”. Terdengar suara Fahmi sedikit kesal.
“walaikum salam… Sory… aku kira Rio. Kenapa kamu tiba-tiba menelpon?” tanyaku sedikit malu.
“eee… aku Cuma mau Tanya apa kamu mau ikut acara pengajian besok dikampus? Kebetulan pematerinya ustazd favorit kamu dan materinya juga menarik”.
“kenapa tiba-tiba kamu mengajak aku?” tanyaku sedikit bingung.
“kan tadi sudah kujelaskan kalau pematerinya itu ustazd favorit kamu dan materinya itu tentang cinta. Cocok banget buat kamu yang selalu galau karena cinta. Hahaha”. Diapun terdengar sangat puas mengejekku.
“besok deh aku liat, tapi kenapa kamu perhatian sama aku?” tanyaku penasaran.
“eee… kamukan yang memaksa aku untuk menjadi teman kamu jadi sebagai teman yang baik tentu aku ingin mengajak kamu melakukan kegiatan positif. Jangan lupa datang besok yah”. Ucap Fahmi sebelum menutup telponnya.
Keesokan harinya aku mencari Rio untuk meminta maaf padanya karena tidak sempat menelponnya tadi malam. Aku berjalan dikoridor kampus tapi sosoknya tidak tampak, akupun segera menuju kantin berharap dia berada disana. Tapi yang kutemui ternyata Fahmi.
“Raisa… sini”. Teriaknya sambil melambaikan tangan padaku. Aku bergegas menhampirinya.
“kenapa muka kamu kusut begitu?” Tanya Fahmi saat aku sudah berada dihadapannya.
“aku lagi mencari Rio, kamu melihat dia nggak?” tanyaku tanpa basa-basi.
“eee… aku tidak tahu, Btw kamu mau ikutkan pengajian nanti? Pokoknya kamu tidak akan menyesal.” Ucap Fahmi begitu semangat.
“liat nanti deh. Aku pergi dulu mau cari Rio”. Aku hendak pergi dari tempat itu. Tiba-tiba Fahmi menarikku dan memaksaku duduk didekatnya.
“kenapa kamu terburu-buru, makan dulu aku yang teraktir.” Ucapnya sambil memnggil pak Parno. Dengan terpaksa aku mengiyakan permintaannya.
Beberapa menit kemudian, aku melihat Rio bersama beberapa teman basketnya memasuki kantin dan terlihat juga beberapa anak cheers bersama dengan mereka. Mata Rio tertuju padaku tapi dia tidak menyapaku sama sekali. Helen si model yang juga merupakan ketua cheers  itu duduk disampinya bahkan dia melap keringat Rio dan Rio hanya membiarkannya. Seketika api cemburu menyelimutiku. Aku segera menarik tangan Fahmi untuk pergi dari tempat itu.
“Raisa.. ada apa? pesanan kamukan belum datang, kenapa kamu tiba-tiba mau pergi”. Aku hanya diam dan tetap menariknya pergi dari tempat itu. Terlihat wajah Fahmi begitu kebingungan.
Mataku terasa perih dan dadaku sesak. Aku mencoba menahan air mataku sekuat tenaga tapi hal itu sia-sia karena kini pipiku sudah basah. Fahmi hanya diam dengan ekspresi kebingungan.
“maaf… aku cengeng yah”. Ucapku sambil menghapus air mata dipipiku.
“kenapa kamu tiba-tiba menangis?” Tanya Fahmi masih dengan ekspresi kebingungnya.
“eee… mataku kelilipan…” ucapku berusaha tersenyum.
“kamu bohong… apa kamu menangis karena aku mengajak kamu kepengajian?”. Tanya Fahmi begitu polos.
“hehehe… tentu saja tidak, mana mungkin aku mengis karena itu”. Aku berusaha menutupi kesedihanku.
“lalu kenapa? Katanya kita sahabat yang harus saling support. Tapi kamu tidak mau menceritan masalah kamu?”. Kini Fahmi terlihat serius. Namun aku hanya diam.
“apa karena Rio?” ucapnya lagi. Aku hanya mengangguk pelan.
“ini yang aku benci. Melihat wanita menangis hanya karena seorang lelaki. Apa yang Rio lakukan?” Tanya Fahmi lagi.
“dia.. eee aku cemburu melihat dia bersama dengan Helen dikantin tadi.”. ucapku sambil menunduk. Terdengar suara Fahmi tertawa begitu keras.
“hahaha… ternyata hal sepele begitu yang membuatmu menangis. Ini salah satu alasan aku mengajak kamu kepengajian, supaya kamu tidak dibuat rapuh oleh cinta. Air mata kamu terlalu berharga untuk menangisi seseorang yang belum tentu menjadi jodohmu”.
“baiklah aku akan ikut kepangajian itu”.   Fahmipun tersenyum lebar.
Jam sudah menunjukkan pukul 2 siang, dan aku sudah berada di aula kampus untuk mengikuti kegiatan pengajian dikampus. Akupun menyimak dengan baik kata perkata yang dilontarkan oleh uztasd favoritku itu. Aku merasa lebih tenang saat mendengar ceramahnya dan pikiranku lebih terbuka, tidak hanya memikirkan soal duniawi tapi juga akhirat.
Sebagai seorang manusia sudah sepatutnya kita mencintai Allah SWT melebihi cinta pada hamba-Nya, termasuk cinta dengan si Dia… maksud saya adalah pacar. (Terdengar gelak tawa dari mahasiswa). dalam agama islam tidak ada istilah pacaran karena pacaran itu dosa, coba adik-adik pikirkan selama pacaran apakah dapat manfaat??. (Tanya sang uztasd.  seorang mahasiswapun teriak “pacar itu tempat berbagi kasih sayang”).  Tempat berbagi kasih sayang jika sedang bahagia tapi coba kalau marahan, apa dia masih sayang??? Atau dia mencari kasih sayang ditempat lain. Pacaran itu hanya membuat kita galau adik-adik. Tapi coba kalau kita membangun cinta karena Allah maka semuanya itu akan terasa lebih indah. Jadi jangan bercinta sebelum halal karena itu hanyalah cinta karena nafsu yang bisa menjerusmuskan kita kedalam kemaksiatan. Jika suatu waktu kita jatuh cinta, maka jatuhkanlah cinta itu pada seseorang yang melabuhkan cintanya pada Allah, agar bertambah kekuatan kita untuk mencintai dia.
Akupun seketika teringat dengan Rio, betul kata uztasd selama ini aku hanya merasakan bahagia sesaat saat pacaran. Mungkin aku betul-betul mencintai dia tapi cintaku padanya masih didasarkan nafsu bukan karena Allah, cintaku padanya belum halal. Sekita air mataku menetes, Ya Allah berikanlah hamba-Mu ini petunjuk menuju jalan kebenaran.
“bagaimana tadi cermahnya baguskan??” Tanya Fahmi yang begitu semangat saat acara pengajiannya selesai. Aku hanya tersenyum puas sambil menganggukkan kepalaku.
“aku bisa ikut lagi nggak jika ada kegiatan begini lagi?”. Seruku
“tentu saja boleh, bagaimana kalau kamu gabung aja dengan Rohis kampus. Kamu bisa lebih sering keacara pengajian dan anak Rohis itu baik, asyik dan tentu saja gaul”. Ucap Fahmi mengebu-gebu.
“memang aku boleh gabung? Mahasiswinyakan semuanya pakai jilbab tapi aku tidak berjilbab.”
“ooo… kalau masalah itu adalah proses, kamu bisa mendapatkan banyak ilmu tentang islam. Ehm, aku akan mengenalakan kamu dengan Sri ketua Rohis untuk mahamahasiswi. Orangnya sangat baik, pintar dan soleha”. Fahmipun mengajak aku bertemu dengan Sri di aula kampus.
Akupun berkenlan dengan Sri, dia sangat ramah dan sopan. Dengan senang hati dia menerimaku bergabung dengan Rohis.
“makasih yah Raisa kamu sudah mau bergabung dalam kegiatan Rohis. Semoga kita semua di Rahmati oleh Allah SWT”. Ucapnya sambil menjabat tanganku dan disertai dengan senyumannya yang begitu menawan. Diapun menjelaskan semua kegiatan Rohis dan berbagai jadwal kegiatannya.
“tapi… tidak apa-apakan kalau aku tidak pakai jilbab?” tanyaku sedikit ragu pada Sri.
Dia hanya tersenyum. “Raisa, aku tidak akan memaksa kamu berjilbab, karena semua itu butuh proses. Dan aku harap semoga kelak kamu bisa menjalani prosesnya”.
Ternyata pandanganku pada Sri selama ini sangatlah keliru, dulu aku pikir dia adalah  mahamahasiswi yang kampungan, suka menutup diri, anti dengan mahamahasiswi seperti aku dan hanya bergaul dengan mahasiswi yang berjilbab tapi ternyata dia sangat baik dan mempunyai wawasan yang luas.
Seminggu ini aku sibuk dengan kegiatan baruku di Rohis, aku menumakan teman-teman yang begitu baik dan sifatnya berbeda 180 derajat dengan teman-temanku yang dulu. Banyak hal yang baru yang aku dapatkan dan bisa mempelajari islam lebih dalam lagi. Akupun berpikir untuk menjadi lebih baik lagi dan mengikuti syariat islam yaitu memakai jilbab. Keinganan itu terbesit saat aku mendalami pelajaran islam dan berkumpul dengan orang-orang yang selalu mengajarkan aku tentang kebaikan.
“Sri, aku ingin berjilbab. tapi, aku masih takut dengan perkataan orang-orang”. Ucapku pada Sri saat acara pengajian Rohis selesai.
“kenapa kamu mesti takut dengan makhluk ciptaan Allah. Sedangkan Allah memerintahkan kita untuk menutup aurat”. Ucap Sri sambil tersenyum.
“aku takut teman-temanku menjauhiku jika aku memakai jilbab”. Kataku lagi.
“itu artinya mereka tidak patut untuk menjadi teman kamu dan kamu akan menemukan teman yang lebih baik dari mereka. Yang tidak memandang penampilan tapi mereka akan selalu ada buat kamu”. Entah mengapa setiap ucapan Sri membuat hatiku lebih tenang.
Semalaman penuh aku memikirkan perkataan Sri tadi di kampus. Tapi aku masih belum bisa membulatkan hatiku. Sepertinya aku harus mengutarakan niatku ini pada mama dan papa. Akupun bergegas menemui mereka, tapi tiba-tiba HPku berbunyi. Ternyata telepon dari Rio.
“Halo… Assalamu alaikum”. Ucapku sedikit gugup, ini pertama kalinya aku berbicara dengan Rio selama kami marahan.
“Walaikum salam… bagaimana kabar kamu?” ucapnya diujung telepon.
“Alhamdulillah baik, kamu?” ucapku sedikit canggung.
“aku juga baik. aku tidak menganggu kamukan?” Tanya.
“tidak”. Seruku singkat.
“eee… aku minta maaf, dan aku sangat rindu sama kamu”. Seketiku jantungku berdegup kencang. Aku hanya diam terpaku.
“halo… aku sangat rindu sama kamu sayang”. Ucapnya lagi. Dulu aku sangat bahagia saat Rio mengucapkan saysng tapi entah mengapa sekarang terdengar asing.
“aku sudah maafkan kamu. Tapi…”. Akupun tidak mampu melanjutkan perkataanku.
“tapi apa???” Tanya penasaran. Aku bingung harus menjawab apa.
“sudah dulu yah, aku lagi sibuk”. Ucapku cari alasan. Aku segera menutup teleponnya.
Ya Allah apa yang harus aku lakukan. Aku sangat mencintai dia tapi dia belum halal bagiku. Aku belum sanggup jika harus meninggalkan dia tapi aku juga tidak ingin berbuat maksiat terus-menerus. Ya Allah berikanlah hamba-Mu ini petunjuk. Hanya air mata yang mewakili semua perasaanku saat ini. Ampunilah aku Ya Allah.
Keesokan harinya akupun bertemu dengan Rio untuk membahas kelanjutan hubungan kami. “hai…. Sayang, aku sangat rindu sama kamu?” ucapnya menyapa dengan mesra seperti biasanya tapi semuanya terasa aneh buatku.
“hai juga”. hanya itu yang dapat kujawab.
“eee… kamu masih marah yah sama aku?” Tanya Rio agak curiga.
“tidak tapi aku merasa tidak nyaman dengan semua ini”. Ucapku jujur. Aku hanya dapat menunduk menyembunyikan perasaanku.
“maksudnya kamu sudah tidak nyaman jalan sama aku. apa karena Fahmi?” sontak aku kaget mendengar perkataannya.
“aku tidak punya perasaan apa-apa sama Fahmi. Kami hanya bersahabat”. Akupun mencoba menjelaskan yang sejujurnya. Kemarahan terlihat menyelimuti wajah Rio.
“terus kenapa kamu tiba-tiba berubah, aku minta maaf jika aku punya salah sama kamu. Tapi, aku mohon berikan aku kesempatan sekali lagi untuk membuktikan rasa sayangku padamu”. Ucap Rio penuh emosi. Aku tidak mampu melihat wajahnya.
“Raisa. Aku mohon berikan aku kesempatan sekali lagi”. Ucapnya memohon disertai dengan tangis. Akupun tidak kuasa melihat orang yang kucintai seperti ini, tapi aku merasa serba salah.
“maaf Rio, mungkin kita harus mengakhiri hubungan kita. Walaupun ini terasa sakit, tapi ini jalan yang terbaik untuk kita berdua”. Ucap dengan tangis yang tak bisa terbendung lagi.
“tapi kenapa? Apa yang salah dengan hubungan kita?” teriak Rio dengan penuh emosi. Akupun diam, hanya tangis yang mewakili semua perasaanku.
“maafkan aku Rio, walaupun aku masih sangat sayang sama kamu, tapi pacaran bukanlah realisasi yang tepat, cinta kita masih belum halal. Kita raih mimpi masing-masing dulu. Izinkan aku pergi, kalau memang kamu betul-betul serius datanglah disaat kamu sudah siap menjadikan aku kekasih halalmu. Kalaupun pada akhirnya kita tidak berjodoh, maka keputusan kita hari ini untuk putus adalah hal yang paling tepat. Kita saling mendoakan untuk yang terbaik”. Walaupun hatiku terasa remuk tapi semua ini harus kulakukan.
Riopun pergi tanpa berkata apa-apa lagi. Aku tahu dia masih sangat sayang padaku, tapi ini semua jalan terbaik untuk kita berdua. Maafkan aku Rio, semoga Allah mempersatukan cinta kita.
Sebulan berlalu tapi aku masih tidak bisa move on dari Rio, aku masih sering menangis jika memikirkan dia. Tidak ada kegiatan yang dapat kulakukan dengan benar, aku sudah tidak aktif lagi dalam Rohis dan bahkan sering absen dikampus. Melihat sikapku yang berubah, Fahmipun tidak tinggal diam.
Fahmi dan Sri datang kerumahku saat aku absen dikampus, mereka berdua menyemangatiku dan membantuku untuk move on. Merekapun selalu mengajakku untuk mengikuti kegiatan rohis kampus dan seminar tentang islam, hingga pada akhirnya aku membulatkan niatku untuk berjilbab. saat aku mengatakan niatku pada kedua orang tuaku, merekapun sangat setuju dan mendukungku sepenuh hati.
Saat pertama kali aku memakai jilbab kekampus, semua siswa memandangiku dengan tatapan aneh, disertai dengan bisikan-bisikan mereka. Aku merasa sangat canggung dan hanya dapat menunduk.
“Apa kalian semua tidak pernah melihat orang yang pakai jilbab?” bentak Rio pada semua mahasiswa yang memandangiku dengan tatapan aneh. Terpercik rasa bahagia dalam hati, teryata Rio masih perhatian sama aku.
“makasih”. Ucapku. Dia hanya mengangguk dan meninggalkan aku sendirian. Walaupun aku dan Rio tidak sedekat dulu, tapi aku cukup bahagia melihat Rio masih memperhatikanku.
Sesampainya dikelas, semua mata tertuju padaku. Aku seperti orang asing bagi mereka. “Raisa… kamu kok berubah?” seru salah satu teman kelasku tampak kaget. Aku hanya tertunduk malu dan tak bisa menjawabnya.
“berubah, memang power ranger… kenapa wajah kalian seperti itu. Terpesona yah dengan kecantikan Raisa”. Seru Fahmi yang tiba-tiba muncul dari belakangku.
“kamu kenapa bengong, ayo duduk. Sebentar lagi dosen masuk”. Diapun tersenyum padaku. Aku berjalan mengikutinya.
“kamu tidak perlu malu, kamu terlihat cantik kok dengan balutan jilbab”. Bisiknya. Aku hanya membalasnya dengan senyuman.
Berkat bantuan Fahmi dan Sri, akhirnya aku lebih pede dengan jilbabku. Aku tidak lagi malu dengan omongan orang-orang disekitarku, aku tidak peduli apa yang mereka katakan karena aku hanya ingin tampak baik dihadapan Allah SWT.
Waktu berjalan begitu cepat, masa-masa kuliahpun telah berakhir. Kini aku sudah bekerja dimajalah Fashion islami. Aku masih sering bertemu dengan Fahmi dan Sri, walaupun tidak sesering dulu. Saat ini Fahmi dan Sri menjadi guru disalah satu pondok pesantren terkemuka dikota ini. Tapi, semenjak lulus kuliah, aku tidak pernah lagi bertemu dengan Rio. Entah mengapa hingga saat ini aku masih belum bisa melupakan dia.
Hari ini aku janjian untuk bertemu dengan Fahmi dan Sri disebuah Kafe dekat kantorku. “Assalamu Alaikum… maaf, sudah menunggu lama yah?” ucap Sri sangat ramah.
“tidak kok, Fahmi mana? Kalian tidak barengan?” Tanyaku saat menyadari Fahmi belum datang.
“katanya sih, dia ada urusan dulu. Mungkin dia datangnya agak lambat?” ucap Sri lagi. Aku hanya mengangguk.
“bagaimana rasanya jadi guru?” tanyaku memulai percakapan.
“menyenangkan karena bisa berbagi ilmu. Kamu sendiri bagaimana dikantor?”. Dari dulu sampai sekarang Sri selalu semangat dalam mengerjakan apapun.
“menyenangkan karena aku bisa menyalurkan hobi menulisku, dan aku bisa bertemu dengan berbagai narasumber yang hebat-hebat. Edisi ini aku ingin mewawancarai kamu dengan Fahmi sebagai contoh guru teladan, edukasi dan inovatif”. Sripun kaget mendengar perkataanku.
“haa… kenapa harus aku, masih banyak guru-guru yang lebih berpenglaman”. Seru Sri kaget.
“menurut beberapa sumber yang aku dapat, kalian berdua ini ada guru favorit di pondok pesantren. Bahkan kalian berdua berhasil membawa beberapa siswa kalian berprestasi ditingkat nasional dan internasional”. Seruku penuh semangat.
“hahaha… itu bukan karena aku dan Fahmi, tapi karena siswa-siswa itu yang sudah berusaha”. Seru Sri masih rendah hati.
“sudalah jangan banyak alasan, pokoknya aku mau mewawancarai kalian berdua”. Ucapku tersenyum.
“Fahmi kemana yah, kenapa belum datang?”. Akupun melirik jam ditanganku.
“mungkin dia terjebak macet”.
“tapi, sudah sejam kita menunggu dia”. Ucapku tidak sabaran.
“sabar… dia pasti datang kok, aku tahu Fahmi itu tidak pernah ingkar janji”. Sri berusaha membela Fahmi.
“sepertinya kamu itu sangat memahami Fahmi. Kalau dipikir-pikir kalian berdua sangat cocok. Sama-sama baik, taat agama, pintar, kreatif, selalu semangat dan masih banyak lagi. Jangan-jangan kalian itu berjodoh”. Ucapku dengan nada bercanda.
“iii… kamu apa-apaan sih. menurut aku, Fahmi lebih suka sama kamu. Dari dulu dia sangat perhatian sama kamu”. Seru Sri dengan muka memerah. Akupun tertawa melihat tingkah Sri.
Setelah menunggu cukup lama, akhirnya Fahmipun datang. Aku segera mengeluarkan kertas note bookku. Awalnya mereka berdua tidak ingin menjadi narasumberku tapi setelah aku membujuknya merekapun bersedia melakukannya. Aku mulai mengeluarkan pertanyaan demi pertanyaan pada mereka berdua. Dan tibalah pada pertanyaan akhir yaitu pertanyaan pamungkasku. “kalian berduakan sudah bisa dibilang sukses menjadi guru yang hebat, tapi kapan kalian akan menikah?” mereka berduapun tampak kaget mendengar pertanyaanku.
“maksudnya???” seru Fahmi memperjelas pertanyaanku. Aku tidak bisa menahan tawaku melihat ekspresi mereka
“eee.. maksud aku, kapan kalian akan menikah dengan pilihan hati kalian masing-masing”. Jelasku sambil tertawa.
“hehehe… aku kira kamu menanyakan kapan aku sama Sri menikah. Kalau soal pernikahan aku masih belum tahu, calonnya saja belum dapat jadi bagaimana mau menikah?” jawab Fahmi juga diikuti tawanya.
“bagaimana kriteria wanita yang bisa jadi calon istri yang cocok buat kamu?” tanyaku lagi pada Fahmi.
“yang penting dia itu taat pada Allah, karena jika dia sudah taat pada Allah maka dia juga akan taat pada suaminya kelak”. Ucap Fahmi tersenyum. Akupun melirik Sri dengan penuh iseng. Seketika muka Sri memerah.
“bagaiman dengan kamu Sri?” ucapanku menganggetkan Sri.
“ee.. kalau aku… yang penting dia bisa menjadi imam yang baik buat aku dan bisa selalu menuntun kejalan Allah SWT”. Ucap Sri penuh keyakinan.
“sepertinya kalian berdua ini memang sangat cocok, tinggal tunggu undangannya aja nih. Hahaha”. Wajah Sri masih memerah sedangkan Fahmi melototiku dengan kesal. Akupun tertawa puas melihat tingkah mereka.
Aku menikamati waktu istirahatku dirumah. Ini waktu yang sangat kubutuhkan ditengah aktivitas padatku. Tiba-tiba HPku berbunyi, aku segera mengangkatnya. “halo.. Assalamu Alaikum…”seruku.
“Walaikum salam… Raisa kita bisa ketemu besok sore nggak”. Ucap Fahmi diujung telepon.
“eee.. besok aku usahakan. Memangnya ada apa?” Tanyaku agak heran.
“ada yang ingin aku sampaikan sama kamu”. Perkataan Fahmi membuatku penasaran.
“tapi kamu mengajak Sri jugakan”.
“iya, aku akan mengajaknya”. Setelah berbincang cukup lama, Fahmipun menutup teleponnya.
Keesokan harinya, aku sudah berada dikafe tempat kami janjian. Dari jauh aku sudah melihat Fahmi dan Sri. Mereka melambaikan tangan kearahku.
“Assalamu Alaikum… maaf aku agak lambat, soalnya tadi sibuk banget dikantor” jelasku pada mereka.
“Walaikum salam. Tidak apa-apa kok, kami juga baru datang”. Seru Fahmi. Aku agak heran melihat penampilan Fahmi yang agak berbeda dari biasanya,
“sebenarnya aku mengajak kamu bertemu disini karena aku ingin mengutarakan perasaanku padamu. Aku sudah lama menyukaimu dan kalau boleh aku ingin melamar kamu”. Aku sangat kaget mendengar perkataan Fahmi dan aku melirik Sri yang hanya menunduk disamping Fahmi.
“Fahmi sudah mengatan semuanya padaku. Dia sangat menyukai kamu Raisa, dan aku rasa kalian berdua sangat cocok”. Ucap Sri dengan wajah sedih yang disembunyikan dibalik senyumnya. Aku masih tidak bisa berkata-kata. Aku tidak ingin mengecewakan hati kedua sahabatku ini. Aku tahu Sri menyukai Fahmi tapi aku juga tidak mungkin menolak Fahmi tanpa alasan yang jelas.
“bagaimana Raisa? Apa kamu mau menerimah aku?” ucap Fahmi sekali lagi sambil menyodorkan sebuah kotak merah.
“ini apa?”. Tanyaku pada Fahmi. Diapun membuka kotak merah itu, yang ternyata isinya adalah sebuah kalung.
“jika kamu mau menerimah aku silahkan memakai kalung itu, tapi jika kamu tidak menerimaku kamu tidak usah memakainya. Tapi aku tidak akan memaksamu untuk menjawabnya sekarang”. Fahmipun meletakkan kotak merah itu dihadapanku.
“Raisa pikirkan baik-baik. Fahmi itu cowok yang baik buat kamu”. Seru Sri. Sementara itu aku hanya terdiam tak mampu berkata apa-apa.
Semalaman ini aku tidak bisa tidur dengan nyenyak memikirkan kejadian tadi sore, semuanya terjadi begitu cepat. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Aku tidak mau mengecewakan Fahmi yang sudah begitu baik padaku, dia selalu ada disetiap aku membutuhkannya. Tapi, disisi lain aku tidak ingin membuat Sri sakit hati, aku tahu dia menyukai Fahmi walaupun dia tidak pernah mengungkapkannya. Ya Allah berikanlah hamba-Mu petunjuk, hamba tidak ingin mengecewakan sahabat-sahabat hamba.
Tiba-tiba Hpku berbunyi tanda pesan masuk. Tertera nama Fahmi. Akupun segera membuka pesan tersebut. “Assalamu Alaikum… Raisa maafkan aku jika aku sudah membuat keputusan yang mendadak seperti ini, sebenarnya aku sudah menyukaimu sejak kita masih kuliah. Kamu ingat saat kamu pernah memintaku untuk menjadi penjaga hatimu? Waktu itu aku sudah bertekad untuk selalu menjaga hatimu agar tidak terluka. Dan sekarang aku ingin menjadi penjaga sekaligus pemilik hatimu. Aku harap kamu bisa mempercayakan hatimu padaku”. Pesan tersebut membuatku tambah bingung. aku ingin sekali curhat sama Sri tapi aku tidak ingin membuatnya sakit hati. Akupun mengambil buku diariku untuk mencurahkan semua perasaanku.
HPku berdering lagi tanda telepon masuk. “Halo Assalamu Alaikum…”. Ucapku.
“Walaikum Salam… bagaimana Raisa apa kamu sudah membuat keputusan?” Tanya Sri diujung telepon.
“eee… aku masih bingung Sri”. Ucapku pasrah.
“kalau kamu masih bingung, kamu sholat tahajud minta pentunjuk sama Allah. Tapi menurut aku Fahmi itu sangat baik dan bisa menjadi imam yang baik buat kamu kelak”. Sri mencoba menyakinkan aku.
“aku tahu itu Sri, tapi entah mengapa hatiku masih sulit untuk menerimahnya, aku sudah menganggap dia sahabatku sejak dulu. Dan itu sulit untuk dirubah”. akupun mengungkapkan perasaan yang mengganjal dihatiku.
“sahabatku… cinta itu akan tumbuh ketika kita bisa membuka hati dengan ikhlas pada orang tersebut. Banyak-banyaklah berdoa pada Allah”. Sri selalu memberikan solusi yang membuatku lebih tenang.
“makasih yah Sri, aku akan memikirkan semua ini dan minta petunjuk sama Allah”. setelah kami puas berbincang-bincang, Sripun menutup teleponnya.
Jam sudah menunjukkan pukul 03.00, aku segera ambil air wudhu untuk sholat Tahajud. Akupun mencurahkan seluruh keluh kesahku pada Allah. dan hatiku terasa lebih tenang. Entah mengapa tiba-tiba aku teringat dengan sosok Rio yang pernah menjadi pemilik hatiku.  Ya Allah pertanda apa ini, sudah lama aku tidak bertemu dengan dia, tapi kenapa tiba-tiba dia menghampiri ingatanku lagi.
Pagi ini aku akan bertemu dengan Fahmi. Akupun berjalan menuju kafe dekat kantorku tempat dimana aku dan Fahmi janjian. Walaupun aku belum yakin dengan pilihanku ini tapi aku harus memberikan kepastian pada Fahmi.
“Assalamu Alaikum… kamu sudah menunggu lama?”  ucapku saat sudah berada didepan Fahmi. Diapun menyambutku dengan senyuman manisnya.
“Walaikum salam… tidak, aku baru datang kok. Silahkan duduk”. Ucapnya penuh kelembutan. susanapun menjadi hening. Aku tidak tahu apa yang harus kuucapkan begitupun dengan Fahmi yang terlihat sedikit gugup. Walaupun kami sudah bersahabat begitu lama, tapi baru kali ini aku merasakan hal seperti ini.
“eee… bagaimana???” seru Fahmi memecah kesunyian. Pertanyaan itupun mengisyaratkan aku untuk menentukan pilihanku.
“sebenarnya aku sangat kaget dan masih tidak percaya dengan semua ini, aku minta maaf jika selama ini aku tidak pernah mengerti perasaan kamu. Tapi untuk kedepannya aku akan berusaha untuk lebih mengerti kamu”. Ucapku sangat gugup.
Ekspresi Fahmi seketika berubah. “maksudnya kamu menerimah aku?” Fahmi memperjelas apa yang kukatakan. Akupun hanya mengangguk pelan. Sekilas terlihat bahagia menyelimuti Fahmi. Akupun pamit pada Fahmi setelah selesai makan.
Sesampainya dirumah aku segera kekamar. Aku masih belum memberitahukan kedua orang tuaku mengenai lamaran Fahmi. Dia memang belum secara resmi melamarku pada kedua orang tuaku karena dia menunggu kedua orang tua yang berada diluar kota. Diapun mengatakan minggu depan akan segera melamarku secara resmi. Tapi aku tidak merasakan kebahagiaan seperti yang dirasakan Fahmi. Aku masih merasa terbebani dengan ini semua.
“Ma.. mama liat buku diari aku?” ucapku pada mama yang sedang berada didapur. Seperti biasanya aku selalu mencurahkan isi hatiku pada buku diari jika aku tidak bisa curhat pada sahabat-sahabatku, tapi entah dimana buku diari itu berada.
“buku yang mana?” ucap mama yang masih sibuk memotong-motong sayuran.
“buku yang warnanya merah Ma, tadi malam masih ada diatas meja”. Aku sudah frustasi mencarinya di semua sudut rungan kamarku.
“bukannya tadi pagi kamu membawanya kekantor. Mama liat kamu memegangnya”. Akupun mengingat kejadian tadi pagi. Sepertinya buku itu ketinggalan dikantor. Semoga tidak ada yang mengambilnya, semua rahasiaku ada pada buku itu.
“ma aku mau mengambil bukuku dikantor”. Ucapku pamit pada mamaku.
“sayang ini sudah malam. Besok saja kamu mengambilnya”. Ucap mamaku khawatir.
“tapi ma, buku itu sangat penting buatku” aku sedikit merengek pada  mama.
“baiklah tapi kamu hati-hati yah”.
“makasih ya ma… Assalamu alaikum”. Ucapku pamit dan  bergegas menuju kantor.
Aku membangungkan pak Satpam untuk membukakan pintu kantor. Sesampaianya dirunganku ternyata buku yang kucari tidak ada. Akupun sudah putus asa mencari buku itu. Akhirnya aku pulang kerumah dengan kecewa.
            Hari ini aku tidak konsen mengerjakan semua pekerjaan dikantor. Aku masih memikirkan buku diariku. Buku itu sangat penting bagiku. Hpku berbunyi, ternyata yang menelpon adalah Fahmi. Aku meraih Hpku dan menjawab telponnya. “Halo… Assalamu Alaikum…” ucapku.
“Walaikum salam… kamu lagi sibuk yah?” Tanya Fahmi secara spontan.
“eee kalau sekarang masih sibuk. Memangnya kenapa?” tanyaku.
“aku Cuma mau mengajak kamu ketemuan”. Ucapnya jujur.
“kita ketemuan saja dirumahku nanti sore. Sekalian kamu ketemu orang tuaku”. Akupun memberikan solusi supaya dia tidak kecewa.
“sebenarnya aku mau ketemu orang tua tapi aku tidak bisa soalnya aku ada acara sore nanti. Siang ini kamu tidak bisa?” tanyanya lagi.
“baiklah akan kuusahakan. Memangnya apa yang ingin kamu bicarakan?” seruku penasaran.
“nanti aja aku memberi tahukanmu. Kita ketemu dikafe depan kantormu yah”. Ucapnya sebelum menutup teleponnya.
          Jam sudah menunjukkan pukul 16.00. aku segera kekafe tempat aku janjian dengan Fahmi. Sudah sejam aku telat. Mungkin saat ini Fahmi sudah pergi, akupun tidak sempat menelponnya karena pekerjaan dikantor sangat banyak.
Sesampainya dikafe aku segera mencari sosok Fahmi. Kulihat sekeliling kafe, dan untungnya aku melihat dia duduk dipojok. Tapi sepertinya dia tidak sendirian, dia terlihat bersama dengan sosok lelaki. Fahmi melihatku dan melampaikan tangannya kearahku. Akupun segera berjalan kearah Fahmi tapi aku masih belum tahu dengan siapa Fahmi.
“Assalamu Alaikum… maaf aku telat”. Ucapku ongos-ongsan. Jantungku terasa berhenti saat melihat lelaki yang berada didepan Fahmi.
“Walaikum Salam… apa kabar Raisa?” ucap lelaki itu. Akupun diam terpaku melihat Rio dihadapanku. Sekilas dia tidak berubah tapi sekarang dia terlihat lebih rapi.
“silahkan duduk…” ucap Rio lagi sambil menarik kursi yang ada didekatnya. Aku masih belum bisa mengendalikan detak jantung yang berdetak seribu kali lebih cepat.
“Raisa kenapa kamu diam saja?” Tanya Fahmi yang menyadari tingkah anehku.
“eee… maaf aku… aku sedikit capek saja.”. ucapku asal.
“bagaimana kabar kamu Raisa?” Tanya Rio lagi. mendengar suaranya membuatku canggung.
“Alhamdulillah baik… kamu bagaimana?” akupun berusaha mengendalikan diriku untuk bersikap biasa.
“Alhamdulillah baik. kata Fahmi sekarang kamu bekerja dia majalah Fashion islami?” Tanya Rio berusaha mencairkan suasana.
“iya”. Jawabku singkat karena masih terlalu canggung melihat Rio.
“pantas saja kamu diterimah disana ternyata fashion kamu keren bahkan kamu terlihat lebih cantik”. Ucap Rio keceplosan, diapun segera menutup mulutnya dan meminta maaf. Aku tidak bisa menahan tawaku melihat tingkahnya yang masih tidak berubah.
“oo iya, Raisa. Ini buku kamukan, kemarin ketinggal”. Fahmipun menyodorkan buku yang selama ini kucari yaitu buku diariku. Akupun mengambilnya secepat kilat.
“itu buku apa?” Tanya Rio pensaran. aku hanya tersenyum tanpa menjawabnya.
“Raisa, silahkan pesan makan dulu. Aku sama Rio sudah memesan makanan”. Fahmi menyodorkan daftar menu makanan yang ada didekatnya.
“oh iya, kalian ketemu dimana, kenapa bisa barengan disini?” tanyaku pesaran.
“aku dan Fahmi ketemu diacara seminar kemarin”. Jawab Rio.
“iya Raisa, aku memang ketemu dia kemarin dan dia juga memaksaku untuk menelpon kamu supaya ketemuan ditempat ini”. Fahmi menjelaskan lebih detail. Riopun menyenggol tangan Fahmi. Sekali lagi tingkah Rio membuatku tertawa. Setelah puas berbincang-bincang dan bernostalgia, Riopun pamit pulang.
“terima kasih atas waktu kalian hari ini, aku sangat senang bisa bertemu kalian lagi. Assalamu Alaikum…” ucap Rio sebelum meninggalkan kafe. “walaiku salam” jawabku bersamaan dengan Fahmi. Sekarang tinggal aku dan Fahmi.
“bukannya tadi ada ingin kamu bicarakan?” tanyaku pada Fahmi saat Rio sudah pergi.
“eee.. masalah itu… nanti aja kita bicarakan. Kamu tahu nggak kalau Rio itu baru pulang dari mesir. Dia melanjutkan S2 disana, dan sekarang dia salah satu dosen dikampus kita dulu”. Sepertinya Fahmi mencoba mengalihkan pembicaraan.
“dia sudah berubah menjadi orang yang hebat. Dulu dia tidak pernah menghargai orang lain dan dia juga sangat sombong. Tapi sekarang semua sifat buruknya itu tidak tampak lagi pada dirinya. Dia juga terlihat lebih dewasa”. ucapku.
“sepertinya kamu mengenal dia luar dan dalam”. Seru Fahmi yang terlihat cemburu.
“akukan pernah dekat dengan dia. Pasti ada sosok wanita yang merubah dia seperti ini. Apa dia sudah menikah?” Tanyaku tiba-tiba pada Fahmi.
“sepertinya belum. Oh iya, dia menitipkan ini keaku”. Fahmi menyodorkan sepucuk surat padaku.
“kenapa dia tidak memberikan padaku secara langsung?” tanyaku bingung.
“mungkin  dia malu”. Jawab Fahmi singkat. Tidak biasanya Rio begini pikirku. akupun mengambil surat itu dan memasukkan kedalam tasku.
Sesampainya dirumah, akupun tidak bisa berhenti tersenyum mengingat wajah Rio. Tapi perasaan tiu seketika buyar saat aku menyadari sudah menerimah lamaran Fahmi. Aku tidak tahu apakah Rio sudah tahu soal ini. Aku tidak mungkin meninggalkan Fahmi demi Rio. Rasa sedihpun menyelimuti hatiku.
Kini aku harus membuka hati untuk Fahmi dan melupakan semua kenanganku bersama Rio, walaupun itu sulit tapi harus tetap kujalani. Fahmi adalah calon imanku dan aku akan berusaha membangun cintaku padanya.
Jam sudah menunjukkan pukul 00.30 menit tapi mataku masih sulit terpejam, pikiranku bercampur aduk begitupun perasaanku yang tidak menentu. aku segera bangun dan mengambil air wudhu untuk sholat Istihara. Perasaankupun lebih tenang seusai sholat, aku segera kembali ketempat tidur.
“Raisa… bangun sayang. Sudah waktunya sholat subuh”. Suara mama terdengar dari luar. Aku melihat jam wakerku yang ternyata sudah menunjukkan pukul 05.15. aku segera bangun mengambil air wudhu dan menunaikan  kewajibanku.
Hari ini aku menjalani hari-hariku seperti biasanya dikantor. Dan mengerjakan semua pekerjaan yang bertumpuk. Tiba-tiba hasil wawancara  Weni disodorkan padaku.
“ini apa pak?” ucapku kaget pada bos di perasahaan ini.
“ini hasil wawancara Weni. Tolong kamu edit soalnya Weni tiba-tiba sakit dan hasil wawancara ini akan diterbitkan minggu ini.” Aku hanya mengangguk pasrah. Akupun melihat profil narasumber tersebut, aku sangat kaget ketika melihat namanya Muh. Rio Adipurnama.
Akupun membaca hasil wawancara itu dengan cermat. Aku tidak percaya Rio bisa sehebat ini dan bisa meraih banyak penghargaan diluar dan dalam negeri. Apa yang membuat anda bisa sehebat ini? Pertanyaan itu menyita perhatianku. Dengan semangat aku membaca jawaban Rio. Aku tidak hebat tapi beruntung. Dulu aku hanyalah mahasiswa biasa yang tidak berprestasi sama sekali bahkan aku sering bolos kuliah. Aku hanya kuliah karena menuruti kata orang tua. Tapi semuanya berubah saat aku bertemu dengan seorang wanita yang hebat. Karena dibalik kesuksesan seorang lelaki ada wanita yang hebat dibelakangnya. Aku seperti ini karena dia.  Apakah dia berubah karena sudah mempunyai istri, Pikirku agak kesal. Apakah wanita itu adalah istri anda?. Pertanyaan selanjutnyapun diajukan oleh Weni. Bukan, tapi semoga dia bisa menjadi istriku kelak. Walaupun aku dan dia sudah tidak pernah bertemu lagi, tapi aku harap semoga Allah mempertemukan kami lagi. akupun membaca semua hasil wawancara itu dengan penuh semangat dan dari situlah akhirnya aku tahu ternyata Rio masih sangat mencintaiku.
Ternyata Rio masih sangat mencintaiku, tapi aku malah menerimah lamaran Fahmi. Hanya air mata yang mewakili semua perasaanku.
Setelah berkutat dengan komputerku akhirnya semua pekerjaanku rampung. Aku bergegas untuk pulang. aku berjalan menuju kelobi kantor, dari jauh terlihat Rio didepan kantor. Dia melambaikan tangan kearahku. Aku segera menghampirinya.
“Assalamu Alaikum”. Ucapku saat sudah berada dihadapannya.
“Walaikum salam… ada yang ingin aku bicarakan dengan kamu. Kamu ada waktukan?”. Ucapnya.
“apa yang ingin kamu bicarakan?” aku penasaran dengan sikap Fahmi yang tidak seperti biasanya.
“ kita ke kafe depan soalnya disini banyak orang”. Fahmipun berjalan menuju kafe depan dan aku mengikutinya.
“memang apa yang ingin kamu bicarakan?” tanyaku penasaran saat kami sudah berada didalam kafe.
“eee… sebenarnya… aku ingin minta maaf sama kamu”. Kini wajah Fahmi berubah menjadi pucat pasih.
“kenapa kamu minta maaf? Kamu salah apa sama aku?”. akupun semakin bingung. Fahmi hanya menunduk tanpa menjawab pertanyaanku.
 “maafkan aku Raisa. Aku sudah membaca buku diarimu”. jantungku seolah berhenti berdetak mendengarkan ucapan yang terlontar dari mulut Fahmi. Semua rahasia hatiku ada pada buku itu dan dia membacanya tanpa sepengetahuanku.
“Kenapa kamu begitu lancang”. Ucapku penuh emosi. Wajah Fahmi semakin pucat, bibirnya gemetaran.
“aku sudah tahu semuanya Raisa. Aku tahu kalau kamu masih sangat mencintai Rio. Seharusnya sudah dari awal aku menyadari hal ini. Tapi aku malah memaksakan kehendakku untuk membuatmu mencintaiku. Aku tidak pernah mengerti perasaanmu”. Fahmipun tidak mampu menahan tangisnya. Aku hanya terdiam tanpa mengucapkan sepatah katapun.
“seharusnya aku tidak memaksakan kehendakku untuk menjadi pemilik hatimu karena aku hanya sebagai penajaga hati buatmu. Aku akan membatalkan lamaranku, karena aku tidak ingin membuat kesalah yang kedua kalinya. Aku tahu kamu masih sangat mencintai Rio dan begitupun dengan Rio, dia masih sayang dengan kamu”. Aku menatap Rio, tiba-tiba air mataku menetes tanpa henti.
“Kenapa kamu tiba-tiba mengambil keputusan seperti ini.” ucapku penuh emosi.
“aku tidak ingin membuatmu menderita lagi. aku hanya ingin melihatmu bahagia dengan pilihan hatimu dan calon imam yang lebih pantas buatmu. Dan aku tahu itu adalah Rio”. Fahmi menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskan secara pelan-pelan. Suasanapun menjadi hening.
“Rio akan kesini. Jadi kamu hapus air matamu. Aku mohon tolong kamu rahasiakan ini padanya. Anggap saja ini hanya mimpi dan lupakan semuanya. Aku tidak ingin membuat Rio marah ataupun merasa bersalah padaku”. Ucap Fahmi dengan senyum dibalik lukanya. Akupun mengangguk pelan.
Beberapa menit kemudian Rio datang dengan wajah penuh keceriaan. Dari kejauhan dia sudah menampakkan senyum manisnya. “Assalamu Alaikum”. Ucapnya saat sudah duduk diantara aku dan Fahmi.
“walaikum salam” ucapku bersamaan dengan Fahmi. Riopun menatap wajahku dengan curiga.
“kamu habis nangis?” Tanya Rio masih memperhatikanku, aku segera menunduk dan mengambil tissue didepan meja.
“tidak, mana mungkin dia menangis”. Fahmipun berbohong sama Rio. Tapi, Rio masih menatapku dengan penuh curiga.
“apa persiapan rencanamu sudah beres”. Tanya Fahmi tiba-tiba, membuat Rio mengahlihkan perhatiannya padaku.
“Ssst… itu surprise”. Ucapnya penuh misterius.
“surprise apa sih”. Ucapku penasaran melihat tingkah laku mereka berdua yang mencurigakan.
Semua lampu kafe tiba-tiba mati. Terdengar suara teriakan pengunjung kafe yang kaget.
“ada apa ini?” ucapku takut. Rio menyalakan sebuah lilin dan meletakkan lilin itu diatas meja. Aku melihat sosok Rio yang membawa bungan dan sebuah cincin.
“Mungkin aku masih belum pantas buatku tapi aku akan berusaha menjadi imam yang baik buatmu. Dulu aku mencintai dan sekarang aku masih sangat mencintaimu, dulu aku memberikanmu cinta yang tidak halal tapi sekarang aku ingin cinta itu menjadi halal. Aku mencintaimu karena Allah. maukah kamu menikah denganku?”. Ucap Rio penuh romantis membuat jantungku berdetak sangat kencang, aku tidak dapat mengungkapkan sepata katapun, bibirku terasa kaku. Aku melirik Fahmi yang berada disamping Rio. Dia hanya tersenyum mengangguk, aku kembali menatap Rio, dia terlihat begitu tegang. aku hanya menangis tak mampu berkata apa-apa.
“kenapa kamu menangis Raisa? Apa itu artinya kamu menolak aku?” Ekspresi kecewa terpancar diwajah Rio.
“tentu saja aku menerimahmu. Aku sudah lama menunggu hari ini. Hari dimana kamu melamarku”. Ucapku ditengah tangisku. Rio dan Fahmipun tertawa secara bersamaan.
Setelah sebulan mempersiapkan acara pernikahan ini, akhirnya hari ini aku akan resmi menjadi istri Rio. Aku begitu gelisah, rasa takut, tegang, senang, semuanya bercampur aduk. Sekarang aku berada dikamar menunggu Rio yang saat ini sudah berada didepan penghulu untuk mengucapkan ijab Kabul. Mulutku tidak pernah berhenti berdoa, memohon pada Allah supaya dilancarkan semuanya.
“Raisa, kamu sekarang boleh keluar bertemu dengan suamimu”. Ucap tanteku dengan wajah bahagia. Akupun tersenyum dan segera keluar kamar untuk menemui suamiku.
Aku tidak dapat membunyikan kebahagiaanku saat berada dihadapan Rio. Dia terseyum penuh mesra padaku. Aku menatapnya, tiba-tiba air mataku terjatuh tanpa kusadari.
“kenapa kamu menangis sayang? aku tidak ingin melihatmu meneteskan air mata karena aku”. bisik Rio sambil menghapus air mataku. Dia mencium keningku penuh mesra dan akupun tersenyum seketika.
Malam ini resepsipun digelar, semua keluarga, kerabat dan teman-tamanku dan Rio diundang. Diantara para tamu undangan terlihat Sri dan Fahmi, aku melihat keduanya begitu serasi.
“Assalamu alaikum… selamat yah sudah resmi menjadi sepasang suami istri”. Ucap Fahmi.
“Walaikum salam. Iya makasih sudah datang” ucap Rio sambil memeluk Fahmi.
“semoga kalian bisa menjadi keluarga yang sakinah mawaddah warahma. Semoga Allah selalu meridhoi rumah tangga kalian”. Ucap Sri.
“amin. Makasih yah sudah datang. Kapan kalian menyusul?” ucapku bercanda. Fahmi dan Sripun hanya tersenyum.
“doakan saja secepatnya.”. ucap Fahmi masih tersenyum. Wajah Sri terlihat memerah, aku dan Rio tersenyum melihat tingkah laku kedua sahabatku tersebut.
Setelah resepsi selesai, akupun sudah berada dikamar menunggu Rio. aku sangat deg-degkan menunggunya. Setelah beberapa menit menunggu akhirnya Rio masuk kamar, aku tersenyum melihatnya dan dia membalas senyumku penuh kemesraan. Perlahan-lahan dia mendekatiku dan menarikku kedalam pelukannya.
“terima kasih karena kamu sudah memberikan aku kesempatan untuk menjadi kekasih halalmu. Aku mencintaimu sayang, aku mencintai karena Allah. aku sangat bersyukur Allah mempersatukan kita dalam indahnya jalinan rumah tangga”. Ucap Rio penuh mesra.
“aku akan berusaha menjadi istri yang soleha dan menjadi kekasih halal yang selalu mencintaimu”. Ucapku membalas kemesraan Rio.
Akupun mengerti betapa indahnya menajalin cinta dengan ridho Allah, tidak ada lagi kecemasan yang menghampiriku. Kebahagiaankupun terasa lebih lengkap.