Monday 13 November 2017

MALAIKAT JAS HUJAN #2



MALAIKAT JAS HUJAN #2
http://katakata.me/wp-content/uploads/2015/08/gambar-kartun-romantis-islami-terbaru.jpg

        Pikirkanku masih terjebak dengan sosoknya, senyum perpisahan itu tak pernah bisa kuhapuskan dari ingatanku. Aku tahu ini keputusanku untuk tidak mengikat janji, namun hatiku masih terpikat olehnya.
          Malaikat jas hujanku, sampai kapankah kuharus menunggu. Kamu tahu melupakanmu adalah hal yang sulit bagiku. Sosokmu selalu hadir dipikiranku mengacaukan semua akal sehatku.
          Sudah dua tahun ku menunggu. Menunggu dalam ketidak pastian namun tetap percaya akan janji yang kau ucap. Aku tidak tahu apakah kamu masih mengingatku atau sudah melupakanku.
          Aku sudah lelah, lelah dengan perasaan rindu yang semakin lama semakin sulit untuk ku bendung. Mungkin aku tidak pantas dengan rindu ini, karena kamu bukanlah milikku. Namun rindu ini selalu kucurahkan disetiap doaku, meminta pada sang Maha Kuasa agar kamu bisa menjadi imamku.
          Hei malaikat jas hujanku, dimanapun kamu berada saat ini, aku rindu.
***
          Tiba-tiba aku dipanggil di ruang keluarga, muka kedua orang tuaku begitu serius. Ibuku menatapku dengan wajah sedih, dan ayahku tampak cemas. Akupun bingung apa yang terjadi pada mereka.
          “Syifa sayang, kamu  anak ibu yang paling mandiri. Kamu sudah punya pekerjaan yang bagus. Kamu juga sudah menjadi Apoteker. Mungkin saatnya kamu membangun rumah tangga”. Ayah menatapku tajam.
          Aku bingung, harus menjawab apa. Ibu mendekat sambil memelukku dan mengelus rambutku dengan sayang. Diapun tersenyum, namun kulihat air mata membasahi pipinya. Aku membalas pelukan itu. Terasa hangat dan nyaman.
          “nak, sebenarnya ibu masih tidak rela jika harus melepaskanmu, namun ibu yakin dia  lelaki yang baik. Dengan menunjukkan niatnya itu dengan tulus. Bahkan dia bisa meluluhkan hati Ayahmu”. Entah mengapa air mataku tiba-tiba mengalir. Bagaimana dengan Malaikat Jas Hujanku?. Apakah aku harus melupakannya dan bersama lelaki itu. Bahkan akupun tidak tahu nama lelaki itu.
          “Syifa, kami sudah menerimah lamarannya dan minggu depan keluarganya akan datang kesini untuk melamarmu secara resmi”. Bahkan kedua orang tuaku sudah menyetujui lamaran ini.
          “aku bahkan tidak tahu dia siapa, lalu kenapa aku harus menikah dengannya?”. Aku sudah tidak bisa membendung rasa kesalku.
          “dia adalah lelaki yang baik sayang”. Ucap ibuku mencoba untuk menenangkanku.
          “tapi aku belum mengenalnya. Sudahlah aku capek”. Akupun meninggalkan ruangan itu. Kenapa aku malah terjebak dalam perjodohan ini.
***
          Hei Malaikat jas hujan apa kabarmu disana, aku benar-benar bingung mengapa kedua orang tuaku menjodohkan aku. Kamu tahu aku masih menunggumu, aku berharap kamu yang datang melamarku. Bukan lelaki asing itu. Aku hanya bisa berdoa semoga semua ini hanya mimpi.
          Keesokan harinya aku sudah terbangun, masih dengan peraaan sedih. Tiba-tiba ibuku datang dan mengetuk pintu kamarku. Ibu menerobos masuk karena pintu itu tidak terkunci. Dia menatapku dengan senyum manisnya, membelai rambutku sambil berkata. “kamu tambah cantik calon pengntin”. Apakah semua ini benar-benar nyata? Jika ini nyata semoga orang yang melamarku tersebut adalah kau malaikat jas Hujanku.
          Aku pamit keluar namun aku harus diceramahi satu jam lebih sebelumnya akhirnya aku diperbolehkan keluar. Katanya sih hari ini terakhir aku bisa keluar karena besok harus mengurus segela pernak-pernik pernikahan. Sepertinya aku benar-benar belum siap dengan semua ini.
          Akhirnya kakiku melangkah ke toko buku favoritku, disinilah tempat pelampiasan dikala dirundung masalah.
          “sepertinya kamu masih suka nongkrong di toko buku yah?”. Aku menoleh kebelakang, sepertinya suara itu tidak asing.
“Malaikat jas Hujan…”. Ucapku spontan. Lelaki itu memasang senyum termanisnya padaku
          “kenapa sih kamu selalu memanggilku malaikat jas hujan? Memang aku seperti malaikat yah?”. Irham berusaha mencairkan suasana yang sedikit canggung.
          “ehm…”. Aku bingung harus berkata apa, perasaan bahagia memenuhi hatiku, namun aku juga sedih memikirkan perjodohannya yang tinggal menghitung hari.
          “kita cari tempat yang enak yuk, banyak yang ingin aku ceritakan ke kamu”. Ajak Irham, kamipun keluar dari toko buku itu dan berjalan ke cafĂ© depan toko buku.
          “gimana kabar kamu? Kok kurusan sih”. Irham membuka percakapan, dia menatapku. Aku sedikit canggung dibuatnya dan aku merasa bersalah.
          “Alhamdulillah baik, kamu apa kabar?”. Aku masih saja canggung. Irham masih tersenyum manis, seolah berusaha menarik perhatianku dengan senyumannya itu.
          “Alhamdulllah baik dan kabar baiknya aku sudah lulus. Maaf yah sudah membuatmu menunggu lama. Gimana kuliah kamu? Kamu masih kuliah atau sudah kerja?”. Irham masih bertanya seperti wartawan infotaiment.
          “sudah kerja. Alhamdulillah kemarin sudah lulus Apoteker dan sekarang kerja di Rumah Sakit”. Aku mencoba menjawab dengan suara lembut.
          “wah keren. Cepat juga kamu dapat kerja”. Irham menyeruput kopinya, sambil menetapku. Aku tidak bisa melihat tatapan itu, perasaan bersalahku semakin besar dibuatnya.
          Tiba-tiba handphoneku berbunyi, ternyata itu panggilan telepon dari ibuku. Aku segera pamit pada Irham. Wajah Irham tampak kecewa.
          “Syifa… kita bisa ketemu lagi besok?”. Irham menatapku penuh harap.
          “Maaf tapi aku tidak bisa”. Ucapku dengan tegas.
          “kalau besoknya lagi gimana?”. Irham masih saja berharap. Aku menatapnya tajam.
          “mungkin aku tidak akan pernah menemuimu lagi”. Aku segera beranjak pergi. Irham berusaha mengejarku.
          “ini nomor Hpku, jika kamu berubah pikiran kamu bisa menelponku kapan saja. Aku akan menunggumu hingga kamu mau menemuiku lagi. Aku merindukanmu Syifa”. Irham menatapku, Aku memalingkan wajah dan segera beranjak pergi dari tempat itu.
***
          Tangisku pecah, hatiku hancur seketika. Malaikat jas hujanku telah kembali, namun aku menghianati janjinya untuk menunggu. Aku tidak bisa menyembunyikan rasa sedihku pada kedua orang tuaku. Mereka menatapku dengan heran, aku segera ke kamar tanpa mempedulikan mereka.
          “sayang kamu kenapa? ibu boleh masuk”. Terdengar suara khawatir ibuku di depan pintu. Aku akhirnya membuka pintu itu, ibuku memelukku dengan erat.
          “ibu… malaikat jas hujanku telah kembali”. Tangisku semakin keras.
          “tenang sayang, ceritakan siapa malaikat jas hujan itu?”. Aku berusaha meredam tangisku. Akupun menceritakan semuanya pada ibuku.
          “maaf sayang. Ibu tidak bisa membantumu, sebaiknya kamu berdoa sama Allah. Jika dia jodohmu pasti kalian akan disatukan dalam ikatan halal. Manusia bisa berencana tapi takdir Allah adalah penentu. Pernikahan kamu tidak mungkin dibatalkan secara sepihak karena keluarga lelaki itu akan datang besok untuk melamarmu secara resmi. Tapi ibu percaya lelaki yang akan meminangmu ini adalah lelaki yang baik nak. Ibu sudah bertemu dengan dia dan ibu yakin dia calon suami yang baik. Sebaiknya kamu istirahat jangan nagis lagi”. Aku menatap ibunya dengan sedih. Ibu menghapus air mataku yang masih saja terus mengalir.
          “sebaiknya kamu istirahat, besok keluarga besar calon suamimu akan datang. Nanti mereka kaget lihat calon pengatin matanya bengkak karena nangis”. Ibu beranjak pergi.  
          Aku merasa sangat bersalah dengan Irham, tidak seharusnya aku seperti ini. Aku tidak bisa menepati janjiku untuk menunggunya. Tapi tidak seharusnya aku mengabaikannya lagi. Lelaki itu akan kecewa bahkan marah jika mengetahui pernikahanku, tapi tidak seharusnya aku sembunyikan semua ini.
          Malaikat jas hujan maafkan aku, aku tidak bisa menepati janji untuk menunggu.
          Aku melihat nomor handphone yang diberikan Irham tadi. Aku ingin sekali menelponnya. Banyak yang ingin aku tanyakan padanya. Dan aku juga rindu sama kamu Irham.
          sudah sebulan berlalu berlalu namun aku juga belum menghubungi Irham, tinggal dua lagi pernikahanku akan digelar, namun bukanya bahagia, hatiku terasa pilu. Aku tidak bisa membayangkan hari-hariku setelah pernikahan ini.
          keluarga besarku telah berdatangan. Mereka semua terlihat bahagia menanti hari bahagiaku, namun aku hanya bisa tersenyum dibalik rasa sakit yang harus kututupi.
          Baiklah hari ini aku harus menemui Irham, aku akan menjelaskan semuanya. Aku mengambil nomor handphone itu dan segera menelpon Irham. Kami akhirnya janjian bertemu di kafe dekat took buku kemarin.
          Aku berusaha keluar dari rumah. Sudah beberapa hari ini aku dipingit, katanya sih calon pengantin tidak boleh keluar-keluar rawan kecelakan. Aku harus mencari cara agar bisa menemui Irham.
          Akhirnya aku meminta sepupuku untuk menemaniku dan aku bersyukur dia mau menemaniku.
          Tidak butuh waktu lama aku sudah sampai di kafe tempat aku janjian dengan Irham. Aku meminta sepupuku menjemputku setengah jam kemudian. Untung saja dia tidak banyak tanya dan mau menuruti permintaanku.
          Ternyata Irham sudah berada didalam kafe. Dia duduk dengan tenang sambil menyeruput kopinya. Dia tersenyum kearahku saat melihatku berjalan kearahnya.
          “sudah lama menunggu”. Tanyaku sebelum duduk.
          “nggak juga, silahkan duduk”. Diapun menarik kursi untukku. Wajahnya tampak bahagia.
          “Irham, sebelumnya aku mau minta maaf sama kamu. Aku akan menceritakan semua secara singkat karena waktuku tidak banyak”. Irham hanya terdiam menatapku.
          “apa kamu sudah bosan bertemu denganku? Apa kamu marah, hingga menghindar seperti ini?”. irham malah balik bertanya.
          “bukan seperti itu, tapi aku… aku akan menikah”. Akupun meletakkan undangan pernikahnku didepannya. Dia hanya diam terpaku.
          “maafkan aku tidak bisa menunggumu, aku harap kamu bisa datang ke pernikahanku. Aku harap kamu bisa menemukan wanita lebih baik dari aku”. Irham masih saja terdiam. Tatapannya tertuju pada undangan tersebut.
          Setelah diam cukup lama, akhirnya dia membuka suara. “Baiklah aku akan datang. Semoga kamu bahagia”. Irham bediri, diapun beranjak pergi tanpa memandangku.
          Maafkan aku Irham, mungkin ini yang terbaik untuk kita. aku masih mencintaimu. Sampai saat ini aku masih berharap kamu yang menjadi kekasih halalku. Air mataku kembali mengalir, hatiku terasa sesak.
***
          Hari ini telah tiba, kamarku telah dihiasi dengan bunga dan tampak cantik seperti kamar pengantin pada umumnya. aku harus duduk berjam-jam untuk dirias. Sesekali aku diminta untuk tersenyum oleh tanteku. Gimana mau senyum jika hati ini sudah tercabik-cabik. Apakah Irham akan datang? Aku harap dia tidak datang. Aku tidak bisa melihatnya.
          Suara di luar kamarku terdengar riuh. “calon suami kamu baru saja  datang, dia sangat ganteng loh” bisik tanteku sambil tersenyum. Bahkan hingga detik ini aku belum melihat fotonya. Bahkan berinteraksi dengannya juga tidak pernah. Sempat beberapa kali aku ingin diperlihatkan fotonya tapi aku menolaknya dengan berbagai alasan. Sampai detik ini aku masih berharap dia adalah malaikat jas hujanku, aku tidak rela melihat lelaki lain yang harus bersanding denganku. Tapi mungkn inilah takdir yang terbaik untuk kami.
          Aku menunggu didalam kamar, saat pengucapan ijab Kabul. Terdengar suara lelaki itu dengan tegas melafalkan ijab Kabul dengan lancar. Semuanyapun berteriak sah. Air matakupun menetes, bukan karena bahagia namun semakin sedih. Harapanku semakin jauh untuk bersama malaikat jas hujanku.
          Aku mendengar suara rombong memasuki kamarku, dan inilah pertama kalinya aku akan melihat suamiku. Yah dia sudah resmi jadi suamiku sekarang. Lelaki asing yang akan kuhabiskan sisa hidupku bersamanya.
          Jantung berdetak kencang, pintu kamar dibuka. Aku menundukkan pandanganku. Kudengar beberapa tamu mengatakan pengantinnya masih malu. Lelaki itu mendekat dan duduk didepanku.
          Dia memegang tanganku. Akupun melihat wajahnya. Senyum manis lelaki itu menyambutku. Air mataku mengalir penuh haruh. Lelaki itu memelukku dengan erat, diapun mencium keningku. Kehangatan terasa dihatiku air mataku masih saja terus mengalir.
          “sudah dong nangisnya, banyak tamu yang liat”. Bisiknya, aku tersenyum menatapnya. Namun aku menjadi kesal, kenapa dari dulu dia tidak mengatakan kalau dia yang melamarku.
          “kamu jahat”. Aku mencubit perutnya. Diapun tertawa sambil menghapus air mataku.
          “nanti aja peluk-pelukannya yah, masih ada prosesi adat yang harus dilakukan. Sekarang tukaran cincin dulu”. Kata salah seorang tanteku. Semuanyapun tertawa. Aku dan Irham hanya tersipu malu. Kini sedih itu seketika sirna tergantikan rasa bahagia.
          Terima kasih Ya Allah, akhirnya dia yang selalu kesebut dalam doaku adalah jodohku. Mungkin kami sempat terpisah tanpa kepastian. Berusaha untuk menahan perasaan dan akhirnya hari ini kami dipersatukan dalam ikatan halal. Malaikat jas hujanku… terima kasih telalu menepati janjimu, engaku datang di saat yang tepat. Walaupun kejutanmu ini membuatku sedih beberapa hari ini tapi kamu sudah sukses membuatku bahagia karena mencintaimu.

http://3.bp.blogspot.com

***TAMAT***