Hai…
Namaku Rara dan aku bekerja sebagai farmasis di sebuah puskesmas di salah satu
pulau kecil diujung Indonesia. Banyak hal yang menarik dalam hidupku dan di
sekitarku yang kali ini akan aku ceritakan.
“woi… bukannya ini kisahku yah,
kenapa jadi kamu yang memperkenalkan diri. Kamukan hanya pemeran pendukung di
cerita ini”. Lia menatap Rara denga tajam.
“yaelah… kan aku Cuma memperkenalkan
diri sedikit doang. Lagian juga penulisnya bingung mau mulai cerita kamu dari
mana, terlalu ribet dan berliku. Hahahaa”. Rara tertawa puas melihat wajah
masam Lia.
“sudalah dari pada kita habiskan
waktu untuk bertengkar mending, aku kasi saran ke Penulis untuk memulai cerita
ini dari mini market, tidak usah membahas cerita galauku yang putus dan
berjuang LDRan itu”. Mereka berduapun melihat kearah penulis meminta
persetujuan…
***
Rara dan Lia bekerja di puskesmas
terpencil, namun tiba-tiba mereka berdua mendapat tugas untuk ikut dalam sidak
makanan di kabupaten. Sidak ini bertujuan untuk mengamankan komsumen dari
prilaku prodesen yang tidak bertanggung jawab dengan menjual makanan yang tidak
layak lagi seperti makan yang kemasannya rusak ataupun yang sudah expired.
Sidak ini bekerjasama dengan pihak
kepolisian dan pemerintah setempat. Mereka berduapun ikut dalam rombongan
bersama menuju minimarket. Mereka mulai berfoto dengan narsis, kadang membuat
video untuk dijadikan VLOG di Youtube mereka, yah walaupun vlog tersebut hanya
mereka saja yang nonton.
Ketika staff puskesmas, pak lurah
beserta beberapa pak polisi berjajar rapih untuk di foto ternyata tidak ada
yang mengfoto. Saat itu juga datang dua orang polisi ganteng yang menawarkan
diri untuk mengambil foto.
Sesi fotopun berakhir, berlanjut ke
kegiatan yaitu pemeiksaan makanan dan minumaman. Lia selalu curi-curi pandang
pada polisi ganteng tersebut, dia kadang tidak focus untuk memriksa makanan.
Sejam berlalu, terkumpullah beberapa
makanan yang kedapatan masih di pajang namun sudah expired, beberapa
tindakanpun dilakukan oleh puskesmas. Semua makanan yang terjaringpun dibawa oleh
polisi. Surat teguran dilayangkan oleh pak lurah.
Saat hendak pulang, polisi ganteng
itu menghampiri Lia, diapun meminta foto bareng. Namun Rara yang saat itu
melihat rombongan puskesmas sudah keluar dari puskesmaspun menjadi panic dan
menarik Lia untuk segera keluar ke puskesmas.
“cepat Lia, kita sudah ketinggalan
tuh. Kamu mau jalan kaki dari sini ke puskesmas, kan jauh”. Rara menarik baju
Lia tanpa mempedulikan muka bete temannya itu.
“its… mana mungkin sih kita di
tinggalkan, lagian kalau ditinggalkan kita bisa numpang sama pak polisi
tadikan”. Lia menatap Rara dengan tajam seakan ingin mencakar-cakar muka
temannya yang kelewat polos itu. Rara terlalu serius saat bekerja hingga tidak
memperhatikan yang bening-bening di sekitarnya.
***
Hari berlalu demi hari, namun Lia
masih belum bisa melupakan wajah Polisi ganteng itu. Liapun selalu terlihat
termenung, kadang juga melamun sendirian tidak seperti biasanya yang selalu
ceria
“kamu kenapa sih Li?” Tanya Rara
yang semakin bingung melihat temannya itu.
“Kira-kira polisi ganteng itu tugas
dimana yah? Aku jadi penasaran. Seandainya saat itu aku jadi foto bareng, pasti
aku sudah tukaran pin BB”. Lia menerawan jauh sambil senyum-senyum sendiri.
“jadi kamu demam Polga?”. Tebak Rara
asal, Liapun bingung .
“demam Polga itu apa? Seumur-umur
aku jadi bidan baru kali aku dengar demam Polga. Apa itu demam jenis baru?”.
Lia menatap Rara meminta penjelasan.
“percuma kamu jadi Bidan kalau tidak
tahu demam Polga, demam ini bisa membuat susah tidur, sering melamun, banyak
pikiran dan banyak menghayal”. Rara senyum-senyum melihat reaksi Lia yang
semakin kebingungan.
“itukan memang yang ku alami
sekarang, tapi deman itu tidak bahayakan?”. Tatapan Lia berubah jadi cemas.
Rara tertawa tebahak-bahak, air
matanya sampai keluar. “loh, kok malah ketawa… aku harus minum obat apa?”.
Lia menatap Rara dengan kesal campur
kekekhawatiran.
“tenang saja Li, kamu Cuma butuh doa
lebih banyak agar lebih dekat dengan sang pencipta”. Rara masih saja tertawa
melihat muka manyun Lia
“jadi maksud kamu, penyakit ini
tidak ada obatnya gitu, dan aku tinggal tunggu ajal?”. Rara masih saja tertawa.
“hahaha… kan ajal tidak ada yang
tahu, lagian Polga itu artinya Polisi Ganteng. Jadi kamu itu lagi demam Polisi
ganteng, makanya tidak ada obatnya. Aku saranin kamu berdoa sama Allah semoga
dijodohkan dengan abang Polisi ganteng itu, yah walaupun itu agak mustahil
sih”. Rarapun berlari sebelum Lia melayangkan tinjunya.
“dasar Rara…. Pagi-pagi sudah buat
kesal”. Teriak Lia di lorong Puskesmas, untung saat itu masih sepi.
***
Lia tampaknya sudah sehat dari demam
Polganya, diapun tidak pernah melamun lagi. Justru kini dia sangat sibuk dengan
semua tugas di puskesmas yang semakin hari semakin menumpuk.
Rara mnghampiri Lia yang sedang
membuat laporan. “Lia akhirnya aku tahu siapa nama polga itu”. Liapun mengalihkan
pandangannya kearah Rara.
Rara mempebaiki posisi duduknya,
mulai mengambil nafas dan menghembuskan secara perlahan, mengambil nafas lagi
dan menghembuskan secara perlahan, diulang-ulangnya tiga kali.
“woi… kamu mau cerita atau
mengajarkan pernafasan sih”. Muka Lia jadi bête, diapun kembali mengerjakan
laporan. Mengabaikan Rara yang masih mengeloah pernafasannya.
“hehehe… sorry, inikan berita
penting jadi harus hati-hati meyampaikannya. Jadi gini ceritanya, kemarinkan
aku sempat ngobrol-ngobrol sama kak Lina, suaminyakan polisi tuh, aku sempat tanya-tanya
tentang polisi ganteng. Dan ternyata dia langsung menebak, katanya sih polisi
gantengnya ada dua yang satu namanya Sandi dan satunya lagi namanya Dion. Dan
kabar buruknya si sandi sudah punya pacar tapi kabar baiknya Dion masih jomblo
katanya”. Lia mendengarkan penuh semangat, diapun senyum-senyum sendriri
mendengar penjelasan Rara barusan.
“jadi kamu naksir Dion atau Sandi?”
tanya Rara dengan muka Kepo dengan kadar tinggi.
“aku suka yang putih itu, yang
wajahnya selalu muncul di kepalaku”. Rara kebingungan
“hei.. kamu pikir aku bisa melihat
pikiranmu, akh… sebaiknya kamu cari tahu dulu deh, jangan sampai cinta kamu
bertepuk sebelah tangan, bertepuk kedua tanganpun belum tentu bahagia apalagi
kalau sebelah tangan”. Rara kembali keruangannya sambil menatap Lia penuh rasa
iba. Kini temannya itu kembali terserang demam Polga gara-gara infonya tadi.
***
Seminggu berlalu masih tidak ada perkembangan
info dari polga, namun kini Lia semakin galau. Tingkat semangat hidupnya
semakin berkurang, dia selalu terlihat lesuh tanpa semangat.
Ria yang baru pulang dari honeymoon
di Bengkulu bingung melihat Lia yang duduk lesuh. Dia tidak seperti biasanya
yang selalu ceria dan penuh semangat.
“Kamu kenapa Lia? Lagi tanggal merah
yah?”. Tanya Ria sambil duduk di didekat Lia. Lia terperanjat kaget baru
menyadari kedatangan Ria.
“Hari ini tanggal merah yah kak?
Pantas dari tadi belum ada orang yang datang, tapi kenapa kak Ria juga datang
ke Puskesmas”. Liapun segera membereskan barang-barangnya.
“Hei… kamu kenapa? maksud saya
tanggal merah itu datang bulan Lia, bukan tanggal merah hari libur. Lagian
semua orang sudah di depan tuh, siap-siap apel pagi. Ayo cepat berdiri, nanti
BPJSnya di potong loh”. Ria meninggalkan Lia yang masih kebingungan.
Lia memegang kepalanya merasa
frustasi dengan dirinya sendiri yang tidak bisa melupakan Polga pujaan hatinya.
Apel pagi telah usai, Liapun kembali
keruangan masih tetap lesuh. Ria yang melihat kejadian untuk menjadi semakin
bingung. Riapun menarik Rara yang kebutulan lewat didepannya.
“Ra.. Lia kenapa sih? Kok dia tidak
seperti biasanya. Kalian berantem lagi yah?”. Ria menodong Rara dengan berbagai
pertanyaan.
“Kak Ria kapan balik dari Bengkulu,
gimana honeymoonnya? Sudah berisi belum, secepatnya buatkan kami keponakan yang
lucu. Hihihi”. Bukannya menjawab pertanyaan Ria, Rara malah bertanya balik.
Riapun menjitak kepala Rara.
“kamu ini orang bertanya bukannya
dijawab malah balik bertanya. Ada apa dengan Lia?”. Kini Ria bertanya lagi
dengan nada tegas.
“dia demam polga kak”. Jawab Rara
tanpa bercanda lagi takut di jitak untuk kedua kalinya.
“maksudnya?” sisi kepo Ria semakin
meningkat. Rara mengerutkan keningnya melihat Ria begitu antusias.
“aku akan jelaskan semuanya kak,
tapi mana ole-oleku dari Bengkulu?”. Riapun terlihat kesal, namun karena rasa
keponya tidak terbendung lagi diapun memberikan sebuah gelang cantik.
“ini, tapi kamu boleh ambil ini
setelah cerita semuanya sampai tuntas tanpa ada yang disensor. Ok”. Rarapun
mengangguk penuh semangat, matanya berbinar-binar melihat gelang itu.
Rara dan Riapun kegudang obat untuk
melanjutkan gossip mereka, Rara menceritakan semua dari awal sampai akhir.
Riapun senyum-senyum sendiri mendengar carita Rara.
“jadi gitu kak ceritanya, aku juga
kasihan sih melihatnya kak. Tapi mau gimana lagi. Kami tidak tahu tentang dia,
kami hanya tahu namanya Dion dan Shandy. Liapun tidak tahu yang mana yang dia
suka diantara keduanya”. Ria akhirnya tahu inti dari permasalahan Lia.
“Baiklah aku akan mencoba membantu
semampuku yah, kasihan juga melihat dia seperti itu”. Riapun kembali
keruangannya setelah rasa keponya terjawab.
***
Keesokan harinya Ria datang ke
Puskesmas dengan ceria, dia menghampiri Rara dan Lia yang lagi duduk diam tanpa
pembasan. “hei… tumben kalian berdua diam. Biasanya selalu ribut, selalu
berantem dan selalu heboh. Aku jadi khawatir melihat kalian akur gini”. Ria
duduk diantara Lia dan Rara, menatap kedua gadis itu dengan senyum penuh arti.
“kenapa sih kak Ria senyum-senyum
gitu. Tadi pagi di buatkan sarapan sama bang Rangga yah?”. Rara melirik penuh
arti.
“kalau kalian mendengar info ini,
pasti kalian tidak percaya”. Ria mengeluarkan HPnya. Rara dan Lia terlihat
penasaran dibuatnya.
Riapun memperliatkan foto di hpnya.
Sesuatu yang membuat Rara dan Lia terkejut sampai mangap.
“dari mana kak Ria tahu nama
Instagramnya Dion?”. Rara akhirnya bisa berkata setelah bisa mengendalikan
dirinya”. Ria tersenyum misterius.
“Lia polisi ini yang kamu suka yah”
tanya Ria tanpa mempedulikan pertanyaan Rara. Lia hanya mengangguk penuh
semangat hingga kepalanya hampir copot.
“Baiklah berarti kamu masih ada
kesempatan Li, soalnya kata kak Linakan Dion masih jomblo, yah walaupun
kemungkinan kecil dia bisa milirik kamu tapi setiap kemungkinan pasti ada jalan”.
Rara berusaha memberikan dukungan pada Lia. Lia hanya pasrah dan memasang muka
manyunnya.
***
Lia duduk terpaku menatap kearah
jendela menunggu Rara datang menjemput, setelah menunggu sekian lama yang
ditunggu akhirnya datang juga. Dari jauh wajah Rara sudah tampak kusut.
“sorry Lia tadi tuh ada razia di
dekat rumah jadi aku harus putar arah jadinya kejauhan deh. Tahu sendirikan
kamu kalau simku sudah mati dan belum aku perpanjang”. Lia hanya meangguk
pasrah, percuma juga dia marah toh mereka sudah pasti terlambat,
“sini
biar aku yang bawa”. Akhirnya Lia yang membawa motor. Lia membawa motornya
sedikit ngebut.
“Li
santai ajah bawa motornya, kita juga sudah telambat kok. Eee… ngapain lewat
situ, kan aku sudah bilang ada razia besar-besaran”. Rara teriak-teriak, namun
Lia tidak mempedulikan ocehan sahabatnya tersebut,
Merekapun sampai diarea razia, Lia
menghentikan motornya tampak memperhatikan sesuatu dari jauh.
“lo
cari siapa sih Li, ayolah putar balik motornya sebelum polisi itu melihat kita.
Kitakan juga tidak pake helm”. Tanpa mempeulikan kata-kata Rara, Lia kembali
melajukan motornya.
“STOPPPP…” Teriak salah satu petugas
polisi yang ada disana. Rara menutup mata saking takutnya. Namun Lia malah
tersenyum lebar.
“maaf
pak, aku sudah bilangin ke tamanku ini kalau ada razia tapi dia tetap ngebut
kearah sini. Jadi kalau mau tahan dia silahkan tapi aku jangan yah pak please…
aku masih jomblo pak, belum punya anak juga. nanti tidak ada yang minat lagi
sama aku, kalau aku masuk penjara”. Rara memohon masih tetap memejamkan
matanya.
“kalian berdua silahkan turun dulu,
aku akan periksa kelengkapan surat-surat kalian”. Lia berdiri, namun rara tetap
mematung di tempat duduknya.
“Ra…
bediri coba liat polisi itu”. Bisik Lia. Rara akhirnya berdiri
Rara membuka matanya perlahan, dia
berdiri mematung. Kemudian mengucek matanya 10 kali hingga hampir iritasi.
“kenapa mbak, kelilipan? Sini aku tiupkan matanya”. Pak Polisi itu sudah
menunduk ingin membantu meniupkan mata Rara. Dengan sigap Lia menarik Rara
hingga Rara hampir terjatuh.
Rara menatap Lia dengan kesal, ingin
rasanya dia mendorong Lia hingga terjatuh dan tak bisa bangkit lagi. Lah kok
jadi seperti lirik lagu yah. Namun Rara mengurungkan niat jahatnya, saat
melihat sahabatnya itu tersenyum dengan manis didepan pak Polisi, senyuman yang
beberapa bulan ini hilang diantara muka kusut Lia. Liapun terlihat begitu manis
dengan senyumannya yang merona itu hingga hampir membuat diabetes orang yang melihatnya.
“Tenang saja pak, teman aku Cuma
silau lihat kegantengan bapak”. Lia masih tersenyum. Polisi itupun terlihat
bingung.
“baiklah selamat pagi mbak, saya
DION yang bertugas pagi ini dalam sidak secara serentak. Sebelumnya maaf
perjalanannya terganggu. Kami akan melakukan pemeriksa kelengkapan berkas
kendaraan bermotor. Mbak bisa perlihatkan SIM dan STNKnya?”. Lia masih saja
tersenyum melihat polisi itu, polisi yang membuatnya terserang demam Polga
akhi-akhir ini.
“woi Lia.. pak Polisinya minta SIM
dan STNK kamu. Jatuh cinta sih boleh tapi jangan sampai terbang kelangit
ketujuh hingga melupakan bumi tempat
kamu berpijak. Kalau jatuhkan sakit”. Liapun melirik Rara dengan kesal, kenapa
sih mulut sahabatnya itu tidak disaring dulu sebelum bicara.
Lia menatap polisi itu, tetap
memasang senyum manisnya berharap bisa menarik perhatian sang Polga. “maaf pak…
tapi Lia rela kok ditangkap sama pak polisi, dipejanrapun rela apalagi kalau
dibawa kepalaminan”. Rara hampir muntah mendengar gombalan sahabatnya itu.
Namun pak Polisi itu masih memasang muka kakunya. Coba kalau dia senyum sedikit
aja, mungkin Lia sudah menarik paksa polisi itu ke KUA dekat puskesmas tempat
dia kerja.
“maaf SIM sama STNKnya mana?” ucap
Dion lagi dengan tegas.
“ehm… aku lupa bawa SIM pak, tapi
kalau SIM, Surat Izin Mencintaimu selalu ada didalam hatiku”. Rara hanya bisa
geleng-geleng kepala sambil menyembunyikan mukanya dibalik tas, malu melihat
tingkah aneh sahabatnya.
“baiklah, motornya kami tahan yah
mbak, ini surat tilangnya. Mbak melakukan beberapa pelanggaran. Pertama tidak
memakai helm, kedua SIM dan STNKnya tidak ada”. Muka Rara berubah jadi pucat,
yang tilang motor dia.
“pak STNKnya ada kok”. Rarapun
memperlihatkan STNKnya sambil memasang muka sedihnya.
“ok pak silahkan ditilang saja,
kapan dan dimana kami harus mengambilnya. Dan bisa minta no hpnya supaya kami
bisa lebih muda menghubungi bapak jika ada masalah”. Ucap Lia penuh semangat
bahkan tidak ada rasa bersalah pada dirinya.
“Lia… kita ke puskesmas naik apa?
Hari ini juga aku ada tugas pembinaan dan pengawasan toko obat. Terus aku naik
apa?”. Emosi Rara sudah tidak terbendung lagi, ingin rasanya dia menelan
sahabatnya itu bulat-bulat.
“Tenang ajah Ra, kita minta tolong
pak Arif jemput kita pakai ambulance disini”. Lia masih saja tersenyum.
“baiklah silahkan ambil motornya di
pengadilan minggu depan. dan ini nomor hpku”. Liatpun mencatat no hp itu dengan
semangat.
“makasih yah pak Dion. Kami permisi
dulu”. Senyum Lia masih belum luntur, namun sangat berbeda jauh dari Rara yang
kini memasang muka kusut menahan amarahnya. Jatuh cinta boleh saja, tapi jangan
mengorbankan sahabat, kan didunia ini yang ada mantan pacar tapi tidak ada
mantan sahabat. Dibelahan dunia mana lagi coba dia bisa menemukan sahabat
seperti Rara yang baik hati, rajin, hemat, dan manis pula.
Paket
komplitkan… melebihi paket komplit K*C.
Sepanjang hari Lia tersenyum pada
semua orang, bahkan dia juga tersenyum pada kucing yang lewat didekat
ruangannya. Dan Rara uring-uringan sepanjang hari, diapun harus meminjam motor
kak Ria saat harus turun lapangan. Rara tidak tahu bagaimana nasibnya dalam
seminggu ini tanpa motornya.
***
Seminggu berlalu, namun senyum Lia
masih belum pudar yah walaupun seminggu ini dia harus rela mengantar jemput
Rara. Hari ini adalah hari yang ditunggu Lia, dimana dia bisa ketemu lagi
dengan Dion sang Polga pujaan hatinya.
Dengan penuh semangat dia mengajak
Rara ke pengadilan, padahal sidangnya baru dimulai 2 jam lagi, namun dia sudah
minta izin dirungannya dan menarik Rara dari Apotek.
“Lia… sidangnya masih 2 jam lagi.
Pasien banyak nih”. Protes Rara saat melihat Lia yang sudah didepan pintu
Apotek.
“ayolah Ra, kan ada kak Lina.
Bolehkan kak kami izin dulu”. Liapun meminta izin pada ka Lina, Apoteker
penanggung jawab di apotek. Kak Lina hanya mengangguk.
Mereka berduapun segera pergi ke
kantor pengadilan. Dan mereka berdua memakai helm dan tentu sudah melengkapi diri
dengan surat-surat kendaraan yang lengkap.
“gara-gara kamu, kita jadi repot
seperti ini, memang segitu tergila-gila sama si Polga sampai membuat motorku
harus ditilang selama seminggu”. Rara masih saja mengomel tidak terimah dengan
kelakuan sahabatnya itu.
“tenang saja, aku akan menteraktir
kamu es krim jika aku bisa jadian sama Dion”. Lia tertawa puas, dan Rara
semakin kesal dibuatnya.
Akhirnya mereka berduapun sampai di
kantor pengadilan, suasana sunyi senyap. “benarkan ini kantornya?”. Tanya Rara
yang terlihat bingung.
“berdasarkan google map, benar ini
tempatnya tapi kok tidak ada orang yah”. Keduanyapun terlihat bingung.
Rara dan Lia memperhatikan
sekeliling, mencari seseorang yang bisa mereka tanya. Tanpa sengaja dia melihat
seorang lelaki yang melambaikan tangan kearahnya.
“Hei… kalian lagi ngapain disini?”
tanya lelaki itu yang tidak lain adalah Adit yang merupakan kenalan Lia.
“ini kami mau ke pengadilan,
motornya Rara ditilang”Jawab Lia sambil tersenyum, muka Rara terlihat kusut
sedari tadi.
“ini semuakan gara-gara kamu
yang…”.Lia membekap mulut Rara sebelum sahabatnya itu keceplosan.
“sudahlah kita masuk aja yuk, disini
panas”. Lia menarik Rara setengah menyeretnya, muka Rara masih saja kusut.
Adit
mengikuti mereka, tanpa bertanya lagi. Sesampainya didalam, ruang sidang
terlihat sudah ramai, merekapun menemui salah seorang petugas polisi yang
berdiri didekat pintu.
“maaf pak, sidangnya kapan dimulai
yah?”. Tanya Lia pada petugas itu.
“silahkan duduk buk, sebentar lagi
dimulai kok”. Liapun tersenyum pada petugas itu sambil menarik Rara untuk mencari
tempat duduk yang kosong.
Mereka mengikuti sidang sambil
menunggu nama mereka dipanggil, setengah jam menunggu akhirnya nama Lia
dipanggil. Merekapun membayar denda dan berjanji tidak mengulang kesalahan
lagi.
Lia tampak murung, karena tidak
melihat Dion ditempat itu. Sementara
Rara begitu bahagia melihat motornya masih dalam keadaan utuh.
Senyum Rara seketika pudar saat
melihat sosok Dion dari jauh, namun lelaki itu ternyata bersama seorang wanita
dan mereka terlihat sangat mersa. Rarapun menarik Lia menunjuk kearah Dion.
“Lia… itu bukannya Dion yah”. Ucap
Rara masih menarik tangan Lia. Lia hanya mengangguk kaku. Tiba-tiba dadanya
terasa sesak. Dion melihat kearah mereka, dia tersenyum sambil melambaikan
tangannya. Dionpun berjalan kearah Rara dan Lia. Dengan cepat Lia menghapus air
matanya, berusaha memasang senyumnya, namun hatinya masih saja terasa sakit.
“Hei… kalian sudah kedalam?
Bagaimana urusannya sudah selesai?” Dion bertanya pada Lia, namun dia hanya
diam seribu bahasa sibuk memperhatikan gadis cantik disamping Dion. Mereka
sungguh terlihat serasi semakin membaut Lia sakit hati.
“iya sudah selesai kok”. Rara yang
menjawab pertanyaan Dion. Sementara Lia masih saja berusaha menahan tangisnya,
perasaannya sangat kacau saat ini.
“oh iya kenalkan ini Dian, tunangku”.
Dion mengenalkan sosok wanita cantik didekatnya. Lia berdiri mematung,
perasaannya semakin kacau, dadanya begitu sesak, ingin rasanya dia menangis
meluapkan semua perasaannya. namun, dia berusaha menahannya sekuat tenaga.
“APA????”… tiba-tiba Rara teriak setelah
sadar dari lamunannya, dia baru bisa mencerna ucapan Dion, Rara melirik Lia.
Sahabatnya itu terlihat begitu rapuh.
Adit meyambut tangan Dian, dan
memperkenalkan dirinya juga. “Hei… aku Adit pacar Lia”. Rara dan Lia bersamaan
menatap Adit, sementara Adit hanya mengedipkan mata.
“wah.. ternyata kamu pacar Lia yah,
hehehe aku pikir Lia benar-benar suka sama aku”. Ucap Dion sambil tertawa.
“Lia suka sama bang Dion?”. Tanya
Dian bingung.
“hehehe… iya sayang tapi sepertinya
Lia Cuma bercanda. Aku pikir dia benar-benar tergila-gila sama aku”. Dion
menggaruk kepalanya yang tidak gatal, dia terlihat salah tingkah.
“tentu saja Lia hanya bercanda,
kamikan sebentar lagi akan menikah, mana mungkin dia berpaling pada lelaki
lain. Aku tidak akan rela jika dia bersanding dengan lelaki lain, karena hanya
akulah yang pantas untuknya saat ini, esok dan hingga akhirat kelak”. Adit
megenggang tangan Lia, terasa begitu hangat hingga jantung Lia berdetak begitu
cepat, tubuhnya seketika hangat. Adit tersenyum mesra padanya.
“selamat yah buat kalian berdua,
kami tunggu undangannya secepatnya. Kalau begitu kami duluan yah”. Kata Dion,
diapun pamit bersama Dian.
“sepertinya aku juga harus segera
pergi masih ada kerjaan dikantor nih, aku pergi dulu yah sayang”. Adit juga
pamit pergi, dia begitu romantis saat mencium tangan Lia sebelum pergi dari
tempat itu.
Rara terpaku melihat prilaku ajaib
Adit, dia mencubit lengannya dan terasa sakit, diapun mencubit lengan Lia.
sahabatnya itu berteriak kesakitan.
“aku pikir aku sedang bermimpi Lia”.
Rara mengalihkan pandangannya pada Lia.
Lia
hanya menunduk frustasi, masih bingung dengan situasi yang menimpanya saat ini.
“aku juga bingung Rara”. Lia menatap
Rara penuh tanda tanya
“kamukan baru kenal Adit tiga bulan
lalu di puskesmas saat dia melakukan pemeriksaan kesehatan, diakan salah satu
anak Bea Cukai yang kamu ceritakan sama akukan. Kalau tidak salah dia pernah
menteraktir kita makan, dan seingatku kamu pernah bilang kalau Adit itu sudah
punya pacar dan sebentar lagi tunangan. Makanya akhir-akhir ini kamu selalu
menghindar jika dia mengajak kamu jalan. Tapi, kenapa tiba-tiba dia berkata
seperti itu pada Dion. Kalau ini bercanda itukan kelewatan Lia”. Lia hanya
menunduk, bingung harus berkata apa.
“aku tidak tahu Rara, aku capek,
ngantuk mau tidur”. Lia beranjak pergi, saat ini dia hanya butuh tidur.
Berharap saat bangun semuanya hanya mimpi.
***
Seminggu berlalu, namun ternyata
Adit tidak pernah muncul lagi. Dia menghilang tanpa jejak, telpon dan semua
chat Lia tidak dibalasnya. Liapun tampak sangat kacau. Bahkan dia sudah seperti
mayat hidup, tidak ada lagi canda tawa ataupun senyum diwajahnya. Rara dan kak
Ria juga bingung harus berbuat apa untuk mengembalikan senyum sahabat mereka
itu.
“kak Ria, Adit benar-benar tega yah.
Aku tahu mungkin maksud dia baik, mau menolong Lia yang sakit hati saat melihat
Dion bersama dengan tungangannya tapi bukan dengan cara seperti itu juga. ini
sama saja, menolong Lia yang hampir tenggelam di kolom renang kemudian
melemparkannya kesungai yang penuh buaya. Membuat Lia semakin sakit. Akhhh…
lelaki sama saja semuanya buaya darat”. Rara begitu geram, tidak tahan lagi
melihat sahabatnya menderita.
“kamu jangan samakan semua lelaki
Rara, buktinya bang Rangga beda. Dia baik, penyanyang, bertanggung jawab dan
romantis”. Kak Ria tidak terimah pendapat Rara.
“iya sih kak, tapi lelaki yang
seperti bang Rangga itu langka dan hampir punah. Makanya kak Ria musiumkan ajah
tuh bang Rangga biar nggak hilang”. Jitakan keras mendarat di kepala Rara,
diapun diam seketika menahan rasa sakitnya.
“benar tuh kata Ria, masih banyak
kok lelaki yang baik”. Rara dan Ria sontak berbalik, bingung siapa yang
menimpali percakapan mereka.
“bang Adit??? Sejak kapan disini?”.
Tanya Rara masih dengan wajah bingungnya.
“sejak tadi, saat kalian membahas
lelaki buaya darat. Tumben berdua ajah. Lia kemana, kok nggak kekantin Umi?”.
Tanya Adit dengan tampang polosnya.
PLAKKK… tamparan keras mendarat
dipipi Adit.
“itu pelajaran buat kamu. Kenapa
kamu mempermainkan Lia seperti ini”. Ria tidak bisa menahan emosinya lagi.
“maaf… tapi aku tidak bermaksud
untuk mempermainkan Lia”. Adit masih memegang pipinya yang merah.
“kenapa kamu begitu tega mengatakan
kamu akan menikah dengan Lia, bukannya kamu sudah punya tunangan. Dan kamu
menghilang tanpa penjelasan setelah semuanya kacau”. Ria masih emosi, hampir
saja tamparannya kembali mendarat di pipi Adit, untung Rara bisa mencegahnya.
“sabar kak, kita dengar dulu
penjelasan dia”. Rara berusaha menenangkan Ria, mereka bertiga akhirnya kembali
duduk, untung saja kantin Umi masih sepi. jadi hanya mereka bertiga dan Umi
yang merupakan pemilik kantin yang menyaksikan kejadian itu.
Adit menarik nafas dalam-dalam,
menenangkan dirinya. Dia masih memegang pipinya. “aku tahu aku salah, memang
pantas aku mendapatkan tamparan ini. Bahkan jika kalian masih ingin memukulku
silahkan aku pasrah. Tapi dengarkan dulu penjelasanku. Aku dan tunanganku sudah
putus sejak dua bulan lalu. Dia selingkuh dan sudah mengakui kesalahan itu
padaku. Bahkan secara terang-terangan dia meminta putus padaku karena ingin
bersama selingkuhannya tersebut. Seperti yang kalian ketahui aku sudah tunangan
dengan dia, bahkan aku sudah mempersiapkan pernikahan kita. aku begitu sakit
hati, hidupku kacau. Namun, semua berubah saat aku bertemu dengan Lia. aku
bahkan bisa melupakan tunanganku itu secara perlahan, dia mau mendengar semua
curahan hatiku. Tapi, Lia tiba-tiba menjauh saat mendengar aku akan menikahi
tunanganku. Aku belum sempat mengatakan jika aku sudah putus, namun dia sudah
menjauh dan berusaha menghidariku. Aku sudah berusaha untuk menjelaskan
semuanya tapi dia tidak pernah memberikan kesempatan. Dia mengatakan tidak
ingin menjadi orang ketiga dalam hubunganku. Diapun memintaku untuk menjauhinya
dan bodonya aku karena menuruti permintaannya itu”. Adit tertunduk, penyesalan
terpancar diwajahnya.
“apakah kamu benar-benar serius
dengan perkataanmu tempo hari?”. Rara menatap Adit. Adit hanya tersenyum dalam
diamnya.
***
Beberapa hari berlalu. Adit, Rara
dan Ria sudah merencanakan sesuatu buat Lia. Lia masih saja seperti mayat
hidup, tubuhnya terlihat kurus dan tanpa semangat hidup. Bahkan gosip putusnya
Dion dengan tunangannya tidak bisa membuatnya pulih. Beberapa kali Dion sempat
chat dia di Intagram, tapi Lia seolah sudah tidak tertarik lagi dengan Dion.
Yang ada dipikirannya saat ini hanyalah Adit, yang tiba-tiba menghilang setelah
mengguncang pikiran dan jiwanya.
Lia
termenung sendiri di ruangannya, Rarapun menghampiri dengan senyumnya yang
begitu lebar. “Heiii Lia… kamu tidak bosan apa dengan wajah seperti itu. Sudah
jelek tambah jelek tahu. Senyum dikit kek, supaya terlihat manis”.
“sanalah, aku lagi males”. Lia
menatap Rara dengan jengkel.
“Lia… kak Ria mengajak kita ke
coastal area nanti sore, katanya sih mau ngajak makan karena bang Rangga ulang
tahun”. Ucap Rara tanpa basa basi lagi.
“pokoknya kamu harus datang yah,
kalau tidak kak Ria akan marah. Ingat jangan sampai lupa, jam 4 yah”. Rarapun
pergi sebelum Lia semakin jengkel.
Sore harinya Lia sudah duduk
menunggu Rara di coastal area tepatnya dia duduk di tepi pantai. Tempat itu
begitu ramai saat sore hari. Banyak anak-anak yang main sepatu roda dan masih
banyak permainan lainnya.
Lia duduk termunung, menikmati
terpaan angin laut yang menyejukkan. Dia merasa lebih tenang. “hei Lia… Apa
kabar?”. Tanya seorang lelaki yang tiba-tiba duduk di sampinya.
Lia terkejut saat mengetahui
ternyata lelaki itu adalah Adit. Adit tersenyum lebar. Lia terdiam terpaku.
“sepertinya kamu baik-baik saja”.
Ucap Adit lagi.
“aku tidak sebaik seperti apa yang
kamu lihat”. Lia mengalihkan pandangan kelaut.
“Lia, kamu tahu nggak kenapa tempat
ini dinamakan coastal area?”. Tanya Adit tiba-tiba.
“nggak, memang kenapa?”. tanya Lia
balik.
“hehehe… aku juga tidak tahu”. Adit
tertawa
“kirain kamu mau gombalin aku”. Lia
mulai tersenyum
“aku nggak tahu cara gombalin cewek.
Tapi Lia, kok senyum kamu manis yah semanis jambu Bangkok yang di jual mas-mas
yang disana”. Adit mencoba mengeluarkan jurus gombalannya, bukanya terpesona
Lia malah tertawa.
“HAHAHA… bukannya jambu Bangkok rasanya
hambar yah”. Ucap Lia disela tawanya.
“yaelah… ada yang manis tahu. Kamu
belum coba aja makan jambu Bangkoknya sambil bercermin dan tersenyum pasti
lebih manis”. Tawa Lia semakin kencang.
“bagaimana caranya makan jambu
sambil tersenyum Adit. Dasar kamu memang aneh”. Adit ikut tertawa. Suasana
mencair, Lia merasakan kehangatan saat disamping Adit, lelaki itu bahkan bisa
membuat moodnya menjadi lebih baik.
“Lia aku minta maaf yah, aku sudah
membuat kamu bingung seperti ini”. Adit mulai berbiara dengan serius, dia
menatap Lia penuh penyesalan.
“Adit…”. Lia membalas tatapan Adit.
“Lia, sebenarnya aku serius dengan
ucapanku waktu itu. Aku benar-benar ingin menikahi kamu”. Lia hanya diam, tidak
tahu harus berkata apa.
“huffft… mungkin caraku salah, tapi
aku benar-benar serius dengan ucapanku Lia”. Adit masih menatap Lia. dia meraih
tangan Lia, mengenggamnya begitu erat. Diapun berlutut dihadapan Lia.
“aku mohon menikahlah denganku, jadi
pendamping hidupku, belahan jiwaku, kekasih halalku. Mungkin aku bukan lelaki
yang tampan seperti Dion tapi aku adalah lelaki yang akan selalu menjagamu”.
Lia menitikkan air mata, terharu dengan ucapan Adit.
Lia hanya diam, air matanya tidak
terbendung lagi. Lia hanya mengagguk sambil tersenyum begitu haru.
“cie… yang dilamar. Sampai nangis
seperti itu kayak anak kecil aja”. Teriak Rara yang tiba-tiba muncul dari
belakang. Lia memeluk Rara masih menangis haru di pelukan sahabatnya itu.
“selamat yah Lia, semoga rencana
pernikahannya lancar yah”. Ucap Ria sambil memeluk Lia dan Rara.
“selamat Bro, akhirnya kamu bisa
menemukan belahan jiwa kamu. Aku pikir kalian adalah pasangan yang sangat
serasi”. Rangga tersenyum pada Adit yang terlihat malu-malu di depan mereka.
Merekapun tertawa, Rara begitu heboh
merancang konsep pernikahan Adit dan Lia. Ria sesekali memberikan masukan
kepada kedua calon pengantin itu.
“tunggu dulu, kamu sudah melamar Lia
pada kedua orang tuanya”. Tanya Rangga tiba-tiba. Merekapun terdiam sejenak.
“hehehe… tentu saja dong, aku sudah
memperoleh SIM dari kedua orang tua Lia, bahkan aku sudah berencana membawa
kedua orang tuaku untuk menemui kedua orang tua Lia di lampung”. Ucap Adit
dengan bangga sambil mengedipkan mata pada Lia. hingga Lia tersipu malu di
buatnya.
“kok pakai SIM segala sih”. Ria
terlihat bingung sama bingungnya dengan Rangga. Sementara Rara hanya tersenyum.
“kak Ria SIM itu bukannya surat izin
mengemudi tapi SIM yang dimaksud bang Adit adalah SURAT IZIN MENCINTAI”.
Semuanyapun tertawa mendengar penjelasan Rara. Adit mengacungkan kedua
jempolnya pada Rara.
“setelah SIM terbit akan disusul
terbitnya buku nikah”. Adit tersenyum
mesra pada Lia. semuanyapun kembali tertawa.
Akhirnya Lia merasa begitu bahagia,
lelaki yang dia temui dan selalu curhat padanya ternyata adalah jodohnya.
Jodoh itu bukan
kita yang tentukan tapi Allah, jadi tidak usah risau dengan jodohmu. Bahkan
pacaran dan berusaha mati-matian mendekati gebetan ehh ujung-ujung dia malah
menikah dengan orang lain. Yang harus kita lakukan memperbaiki diri, karena
jodoh kita adalah cerminan diri kita. semakin baik kita, maka kita juga akan
menemukan jodoh yang baik. By canradewi