Thursday 27 April 2017

SIM (Surat Ijin Mencintai)

 

Hai… Namaku Rara dan aku bekerja sebagai farmasis di sebuah puskesmas di salah satu pulau kecil diujung Indonesia. Banyak hal yang menarik dalam hidupku dan di sekitarku yang kali ini akan aku ceritakan.
            “woi… bukannya ini kisahku yah, kenapa jadi kamu yang memperkenalkan diri. Kamukan hanya pemeran pendukung di cerita ini”. Lia menatap Rara denga tajam.
            “yaelah… kan aku Cuma memperkenalkan diri sedikit doang. Lagian juga penulisnya bingung mau mulai cerita kamu dari mana, terlalu ribet dan berliku. Hahahaa”. Rara tertawa puas melihat wajah masam Lia.
            “sudalah dari pada kita habiskan waktu untuk bertengkar mending, aku kasi saran ke Penulis untuk memulai cerita ini dari mini market, tidak usah membahas cerita galauku yang putus dan berjuang LDRan itu”. Mereka berduapun melihat kearah penulis meminta persetujuan…
***
            Rara dan Lia bekerja di puskesmas terpencil, namun tiba-tiba mereka berdua mendapat tugas untuk ikut dalam sidak makanan di kabupaten. Sidak ini bertujuan untuk mengamankan komsumen dari prilaku prodesen yang tidak bertanggung jawab dengan menjual makanan yang tidak layak lagi seperti makan yang kemasannya rusak ataupun yang sudah expired.
            Sidak ini bekerjasama dengan pihak kepolisian dan pemerintah setempat. Mereka berduapun ikut dalam rombongan bersama menuju minimarket. Mereka mulai berfoto dengan narsis, kadang membuat video untuk dijadikan VLOG di Youtube mereka, yah walaupun vlog tersebut hanya mereka saja yang nonton.
            Ketika staff puskesmas, pak lurah beserta beberapa pak polisi berjajar rapih untuk di foto ternyata tidak ada yang mengfoto. Saat itu juga datang dua orang polisi ganteng yang menawarkan diri untuk mengambil foto.
            Sesi fotopun berakhir, berlanjut ke kegiatan yaitu pemeiksaan makanan dan minumaman. Lia selalu curi-curi pandang pada polisi ganteng tersebut, dia kadang tidak focus untuk memriksa makanan.
            Sejam berlalu, terkumpullah beberapa makanan yang kedapatan masih di pajang namun sudah expired, beberapa tindakanpun dilakukan oleh puskesmas. Semua makanan yang terjaringpun dibawa oleh polisi. Surat teguran dilayangkan oleh pak lurah.
            Saat hendak pulang, polisi ganteng itu menghampiri Lia, diapun meminta foto bareng. Namun Rara yang saat itu melihat rombongan puskesmas sudah keluar dari puskesmaspun menjadi panic dan menarik Lia untuk segera keluar ke puskesmas.
            “cepat Lia, kita sudah ketinggalan tuh. Kamu mau jalan kaki dari sini ke puskesmas, kan jauh”. Rara menarik baju Lia tanpa mempedulikan muka bete temannya itu.
            “its… mana mungkin sih kita di tinggalkan, lagian kalau ditinggalkan kita bisa numpang sama pak polisi tadikan”. Lia menatap Rara dengan tajam seakan ingin mencakar-cakar muka temannya yang kelewat polos itu. Rara terlalu serius saat bekerja hingga tidak memperhatikan yang bening-bening di sekitarnya.
***
            Hari berlalu demi hari, namun Lia masih belum bisa melupakan wajah Polisi ganteng itu. Liapun selalu terlihat termenung, kadang juga melamun sendirian tidak seperti biasanya yang selalu ceria
            “kamu kenapa sih Li?” Tanya Rara yang semakin bingung melihat temannya itu.
            “Kira-kira polisi ganteng itu tugas dimana yah? Aku jadi penasaran. Seandainya saat itu aku jadi foto bareng, pasti aku sudah tukaran pin BB”. Lia menerawan jauh sambil senyum-senyum sendiri.
            “jadi kamu demam Polga?”. Tebak Rara asal, Liapun bingung .
            “demam Polga itu apa? Seumur-umur aku jadi bidan baru kali aku dengar demam Polga. Apa itu demam jenis baru?”. Lia menatap Rara meminta penjelasan.
            “percuma kamu jadi Bidan kalau tidak tahu demam Polga, demam ini bisa membuat susah tidur, sering melamun, banyak pikiran dan banyak menghayal”. Rara senyum-senyum melihat reaksi Lia yang semakin kebingungan.
            “itukan memang yang ku alami sekarang, tapi deman itu tidak bahayakan?”. Tatapan Lia berubah jadi cemas.
            Rara tertawa tebahak-bahak, air matanya sampai keluar. “loh, kok malah ketawa… aku harus minum obat apa?”. Lia  menatap Rara dengan kesal campur kekekhawatiran.
            “tenang saja Li, kamu Cuma butuh doa lebih banyak agar lebih dekat dengan sang pencipta”. Rara masih saja tertawa melihat muka manyun Lia
            “jadi maksud kamu, penyakit ini tidak ada obatnya gitu, dan aku tinggal tunggu ajal?”. Rara masih saja tertawa.
            “hahaha… kan ajal tidak ada yang tahu, lagian Polga itu artinya Polisi Ganteng. Jadi kamu itu lagi demam Polisi ganteng, makanya tidak ada obatnya. Aku saranin kamu berdoa sama Allah semoga dijodohkan dengan abang Polisi ganteng itu, yah walaupun itu agak mustahil sih”. Rarapun berlari sebelum Lia melayangkan tinjunya.
            “dasar Rara…. Pagi-pagi sudah buat kesal”. Teriak Lia di lorong Puskesmas, untung saat itu masih sepi.
***
            Lia tampaknya sudah sehat dari demam Polganya, diapun tidak pernah melamun lagi. Justru kini dia sangat sibuk dengan semua tugas di puskesmas yang semakin hari semakin menumpuk.
            Rara mnghampiri Lia yang sedang membuat laporan. “Lia akhirnya aku tahu  siapa nama polga itu”. Liapun mengalihkan pandangannya kearah Rara.
            Rara mempebaiki posisi duduknya, mulai mengambil nafas dan menghembuskan secara perlahan, mengambil nafas lagi dan menghembuskan secara perlahan, diulang-ulangnya tiga kali.
            “woi… kamu mau cerita atau mengajarkan pernafasan sih”. Muka Lia jadi bête, diapun kembali mengerjakan laporan. Mengabaikan Rara yang masih mengeloah pernafasannya.
            “hehehe… sorry, inikan berita penting jadi harus hati-hati meyampaikannya. Jadi gini ceritanya, kemarinkan aku sempat ngobrol-ngobrol sama kak Lina, suaminyakan polisi tuh, aku sempat tanya-tanya tentang polisi ganteng. Dan ternyata dia langsung menebak, katanya sih polisi gantengnya ada dua yang satu namanya Sandi dan satunya lagi namanya Dion. Dan kabar buruknya si sandi sudah punya pacar tapi kabar baiknya Dion masih jomblo katanya”. Lia mendengarkan penuh semangat, diapun senyum-senyum sendriri mendengar penjelasan Rara barusan.
            “jadi kamu naksir Dion atau Sandi?” tanya Rara dengan muka Kepo dengan kadar tinggi.
            “aku suka yang putih itu, yang wajahnya selalu muncul di kepalaku”. Rara kebingungan
            “hei.. kamu pikir aku bisa melihat pikiranmu, akh… sebaiknya kamu cari tahu dulu deh, jangan sampai cinta kamu bertepuk sebelah tangan, bertepuk kedua tanganpun belum tentu bahagia apalagi kalau sebelah tangan”. Rara kembali keruangannya sambil menatap Lia penuh rasa iba. Kini temannya itu kembali terserang demam Polga gara-gara infonya tadi.
***
            Seminggu berlalu masih tidak ada perkembangan info dari polga, namun kini Lia semakin galau. Tingkat semangat hidupnya semakin berkurang, dia selalu terlihat lesuh tanpa semangat.
            Ria yang baru pulang dari honeymoon di Bengkulu bingung melihat Lia yang duduk lesuh. Dia tidak seperti biasanya yang selalu ceria dan penuh semangat.
            “Kamu kenapa Lia? Lagi tanggal merah yah?”. Tanya Ria sambil duduk di didekat Lia. Lia terperanjat kaget baru menyadari kedatangan Ria.
            “Hari ini tanggal merah yah kak? Pantas dari tadi belum ada orang yang datang, tapi kenapa kak Ria juga datang ke Puskesmas”. Liapun segera membereskan barang-barangnya.
            “Hei… kamu kenapa? maksud saya tanggal merah itu datang bulan Lia, bukan tanggal merah hari libur. Lagian semua orang sudah di depan tuh, siap-siap apel pagi. Ayo cepat berdiri, nanti BPJSnya di potong loh”. Ria meninggalkan Lia yang masih kebingungan.
            Lia memegang kepalanya merasa frustasi dengan dirinya sendiri yang tidak bisa melupakan Polga pujaan hatinya.
            Apel pagi telah usai, Liapun kembali keruangan masih tetap lesuh. Ria yang melihat kejadian untuk menjadi semakin bingung. Riapun menarik Rara yang kebutulan lewat didepannya.
            “Ra.. Lia kenapa sih? Kok dia tidak seperti biasanya. Kalian berantem lagi yah?”. Ria menodong Rara dengan berbagai pertanyaan.
            “Kak Ria kapan balik dari Bengkulu, gimana honeymoonnya? Sudah berisi belum, secepatnya buatkan kami keponakan yang lucu. Hihihi”. Bukannya menjawab pertanyaan Ria, Rara malah bertanya balik. Riapun menjitak kepala Rara.
            “kamu ini orang bertanya bukannya dijawab malah balik bertanya. Ada apa dengan Lia?”. Kini Ria bertanya lagi dengan nada tegas.
            “dia demam polga kak”. Jawab Rara tanpa bercanda lagi takut di jitak untuk kedua kalinya.
            “maksudnya?” sisi kepo Ria semakin meningkat. Rara mengerutkan keningnya melihat Ria begitu antusias.
            “aku akan jelaskan semuanya kak, tapi mana ole-oleku dari Bengkulu?”. Riapun terlihat kesal, namun karena rasa keponya tidak terbendung lagi diapun memberikan sebuah gelang cantik.   
            “ini, tapi kamu boleh ambil ini setelah cerita semuanya sampai tuntas tanpa ada yang disensor. Ok”. Rarapun mengangguk penuh semangat, matanya berbinar-binar melihat gelang itu.
            Rara dan Riapun kegudang obat untuk melanjutkan gossip mereka, Rara menceritakan semua dari awal sampai akhir. Riapun senyum-senyum sendiri mendengar carita Rara.
            “jadi gitu kak ceritanya, aku juga kasihan sih melihatnya kak. Tapi mau gimana lagi. Kami tidak tahu tentang dia, kami hanya tahu namanya Dion dan Shandy. Liapun tidak tahu yang mana yang dia suka diantara keduanya”. Ria akhirnya tahu inti dari permasalahan Lia.
            “Baiklah aku akan mencoba membantu semampuku yah, kasihan juga melihat dia seperti itu”. Riapun kembali keruangannya setelah rasa keponya terjawab.
***
            Keesokan harinya Ria datang ke Puskesmas dengan ceria, dia menghampiri Rara dan Lia yang lagi duduk diam tanpa pembasan. “hei… tumben kalian berdua diam. Biasanya selalu ribut, selalu berantem dan selalu heboh. Aku jadi khawatir melihat kalian akur gini”. Ria duduk diantara Lia dan Rara, menatap kedua gadis itu dengan senyum penuh arti.
            “kenapa sih kak Ria senyum-senyum gitu. Tadi pagi di buatkan sarapan sama bang Rangga yah?”. Rara melirik penuh arti.
            “kalau kalian mendengar info ini, pasti kalian tidak percaya”. Ria mengeluarkan HPnya. Rara dan Lia terlihat penasaran dibuatnya.
            Riapun memperliatkan foto di hpnya. Sesuatu yang membuat Rara dan Lia terkejut sampai mangap.
           
            “dari mana kak Ria tahu nama Instagramnya Dion?”. Rara akhirnya bisa berkata setelah bisa mengendalikan dirinya”. Ria tersenyum misterius.
            “Lia polisi ini yang kamu suka yah” tanya Ria tanpa mempedulikan pertanyaan Rara. Lia hanya mengangguk penuh semangat hingga kepalanya hampir copot.
            “Baiklah berarti kamu masih ada kesempatan Li, soalnya kata kak Linakan Dion masih jomblo, yah walaupun kemungkinan kecil dia bisa milirik kamu tapi setiap kemungkinan pasti ada jalan”. Rara berusaha memberikan dukungan pada Lia. Lia hanya pasrah dan memasang muka manyunnya.
***
            Lia duduk terpaku menatap kearah jendela menunggu Rara datang menjemput, setelah menunggu sekian lama yang ditunggu akhirnya datang juga. Dari jauh wajah Rara sudah tampak kusut.
            “sorry Lia tadi tuh ada razia di dekat rumah jadi aku harus putar arah jadinya kejauhan deh. Tahu sendirikan kamu kalau simku sudah mati dan belum aku perpanjang”. Lia hanya meangguk pasrah, percuma juga dia marah toh mereka sudah pasti terlambat,
“sini biar aku yang bawa”. Akhirnya Lia yang membawa motor. Lia membawa motornya sedikit ngebut.
“Li santai ajah bawa motornya, kita juga sudah telambat kok. Eee… ngapain lewat situ, kan aku sudah bilang ada razia besar-besaran”. Rara teriak-teriak, namun Lia tidak mempedulikan ocehan sahabatnya tersebut,
            Merekapun sampai diarea razia, Lia menghentikan motornya tampak memperhatikan sesuatu dari jauh.
“lo cari siapa sih Li, ayolah putar balik motornya sebelum polisi itu melihat kita. Kitakan juga tidak pake helm”. Tanpa mempeulikan kata-kata Rara, Lia kembali melajukan motornya.
            “STOPPPP…” Teriak salah satu petugas polisi yang ada disana. Rara menutup mata saking takutnya. Namun Lia malah tersenyum lebar.
“maaf pak, aku sudah bilangin ke tamanku ini kalau ada razia tapi dia tetap ngebut kearah sini. Jadi kalau mau tahan dia silahkan tapi aku jangan yah pak please… aku masih jomblo pak, belum punya anak juga. nanti tidak ada yang minat lagi sama aku, kalau aku masuk penjara”. Rara memohon masih tetap memejamkan matanya.
            “kalian berdua silahkan turun dulu, aku akan periksa kelengkapan surat-surat kalian”. Lia berdiri, namun rara tetap mematung di tempat duduknya.
“Ra… bediri coba liat polisi itu”. Bisik Lia. Rara akhirnya berdiri
            Rara membuka matanya perlahan, dia berdiri mematung. Kemudian mengucek matanya 10 kali hingga hampir iritasi. “kenapa mbak, kelilipan? Sini aku tiupkan matanya”. Pak Polisi itu sudah menunduk ingin membantu meniupkan mata Rara. Dengan sigap Lia menarik Rara hingga Rara hampir terjatuh.
            Rara menatap Lia dengan kesal, ingin rasanya dia mendorong Lia hingga terjatuh dan tak bisa bangkit lagi. Lah kok jadi seperti lirik lagu yah. Namun Rara mengurungkan niat jahatnya, saat melihat sahabatnya itu tersenyum dengan manis didepan pak Polisi, senyuman yang beberapa bulan ini hilang diantara muka kusut Lia. Liapun terlihat begitu manis dengan senyumannya yang merona itu hingga hampir membuat diabetes  orang yang melihatnya.
            “Tenang saja pak, teman aku Cuma silau lihat kegantengan bapak”. Lia masih tersenyum. Polisi itupun terlihat bingung.
            “baiklah selamat pagi mbak, saya DION yang bertugas pagi ini dalam sidak secara serentak. Sebelumnya maaf perjalanannya terganggu. Kami akan melakukan pemeriksa kelengkapan berkas kendaraan bermotor. Mbak bisa perlihatkan SIM dan STNKnya?”. Lia masih saja tersenyum melihat polisi itu, polisi yang membuatnya terserang demam Polga akhi-akhir ini.  
            “woi Lia.. pak Polisinya minta SIM dan STNK kamu. Jatuh cinta sih boleh tapi jangan sampai terbang kelangit ketujuh hingga melupakan  bumi tempat kamu berpijak. Kalau jatuhkan sakit”. Liapun melirik Rara dengan kesal, kenapa sih mulut sahabatnya itu tidak disaring dulu sebelum bicara.
            Lia menatap polisi itu, tetap memasang senyum manisnya berharap bisa menarik perhatian sang Polga. “maaf pak… tapi Lia rela kok ditangkap sama pak polisi, dipejanrapun rela apalagi kalau dibawa kepalaminan”. Rara hampir muntah mendengar gombalan sahabatnya itu. Namun pak Polisi itu masih memasang muka kakunya. Coba kalau dia senyum sedikit aja, mungkin Lia sudah menarik paksa polisi itu ke KUA dekat puskesmas tempat dia kerja.
            “maaf SIM sama STNKnya mana?” ucap Dion lagi dengan tegas.
            “ehm… aku lupa bawa SIM pak, tapi kalau SIM, Surat Izin Mencintaimu selalu ada didalam hatiku”. Rara hanya bisa geleng-geleng kepala sambil menyembunyikan mukanya dibalik tas, malu melihat tingkah aneh sahabatnya.
            “baiklah, motornya kami tahan yah mbak, ini surat tilangnya. Mbak melakukan beberapa pelanggaran. Pertama tidak memakai helm, kedua SIM dan STNKnya tidak ada”. Muka Rara berubah jadi pucat, yang tilang motor dia.
            “pak STNKnya ada kok”. Rarapun memperlihatkan STNKnya sambil memasang muka sedihnya.
            “ok pak silahkan ditilang saja, kapan dan dimana kami harus mengambilnya. Dan bisa minta no hpnya supaya kami bisa lebih muda menghubungi bapak jika ada masalah”. Ucap Lia penuh semangat bahkan tidak ada rasa bersalah pada dirinya.
            “Lia… kita ke puskesmas naik apa? Hari ini juga aku ada tugas pembinaan dan pengawasan toko obat. Terus aku naik apa?”. Emosi Rara sudah tidak terbendung lagi, ingin rasanya dia menelan sahabatnya itu bulat-bulat.
            “Tenang ajah Ra, kita minta tolong pak Arif jemput kita pakai ambulance disini”. Lia masih saja tersenyum.
            “baiklah silahkan ambil motornya di pengadilan minggu depan. dan ini nomor hpku”. Liatpun mencatat no hp itu dengan semangat.
            “makasih yah pak Dion. Kami permisi dulu”. Senyum Lia masih belum luntur, namun sangat berbeda jauh dari Rara yang kini memasang muka kusut menahan amarahnya. Jatuh cinta boleh saja, tapi jangan mengorbankan sahabat, kan didunia ini yang ada mantan pacar tapi tidak ada mantan sahabat. Dibelahan dunia mana lagi coba dia bisa menemukan sahabat seperti Rara yang baik hati, rajin, hemat, dan manis pula.
Paket komplitkan… melebihi paket komplit K*C.
            Sepanjang hari Lia tersenyum pada semua orang, bahkan dia juga tersenyum pada kucing yang lewat didekat ruangannya. Dan Rara uring-uringan sepanjang hari, diapun harus meminjam motor kak Ria saat harus turun lapangan. Rara tidak tahu bagaimana nasibnya dalam seminggu ini tanpa motornya.
***
            Seminggu berlalu, namun senyum Lia masih belum pudar yah walaupun seminggu ini dia harus rela mengantar jemput Rara. Hari ini adalah hari yang ditunggu Lia, dimana dia bisa ketemu lagi dengan Dion sang Polga pujaan hatinya.
            Dengan penuh semangat dia mengajak Rara ke pengadilan, padahal sidangnya baru dimulai 2 jam lagi, namun dia sudah minta izin dirungannya dan menarik Rara dari Apotek.
            “Lia… sidangnya masih 2 jam lagi. Pasien banyak nih”. Protes Rara saat melihat Lia yang sudah didepan pintu Apotek.
            “ayolah Ra, kan ada kak Lina. Bolehkan kak kami izin dulu”. Liapun meminta izin pada ka Lina, Apoteker penanggung jawab di apotek. Kak Lina hanya mengangguk.
            Mereka berduapun segera pergi ke kantor pengadilan. Dan mereka berdua memakai helm dan tentu sudah melengkapi diri dengan surat-surat kendaraan yang lengkap.
            “gara-gara kamu, kita jadi repot seperti ini, memang segitu tergila-gila sama si Polga sampai membuat motorku harus ditilang selama seminggu”. Rara masih saja mengomel tidak terimah dengan kelakuan sahabatnya itu.
            “tenang saja, aku akan menteraktir kamu es krim jika aku bisa jadian sama Dion”. Lia tertawa puas, dan Rara semakin kesal dibuatnya.
            Akhirnya mereka berduapun sampai di kantor pengadilan, suasana sunyi senyap. “benarkan ini kantornya?”. Tanya Rara yang terlihat bingung.
            “berdasarkan google map, benar ini tempatnya tapi kok tidak ada orang yah”. Keduanyapun terlihat bingung.
            Rara dan Lia memperhatikan sekeliling, mencari seseorang yang bisa mereka tanya. Tanpa sengaja dia melihat seorang lelaki yang melambaikan tangan kearahnya.
            “Hei… kalian lagi ngapain disini?” tanya lelaki itu yang tidak lain adalah Adit yang merupakan kenalan Lia.
            “ini kami mau ke pengadilan, motornya Rara ditilang”Jawab Lia sambil tersenyum, muka Rara terlihat kusut sedari tadi.
            “ini semuakan gara-gara kamu yang…”.Lia membekap mulut Rara sebelum sahabatnya itu keceplosan.
            “sudahlah kita masuk aja yuk, disini panas”. Lia menarik Rara setengah menyeretnya, muka Rara masih saja kusut.
            Adit mengikuti mereka, tanpa bertanya lagi. Sesampainya didalam, ruang sidang terlihat sudah ramai, merekapun menemui salah seorang petugas polisi yang berdiri didekat pintu.
            “maaf pak, sidangnya kapan dimulai yah?”. Tanya Lia pada petugas itu.
            “silahkan duduk buk, sebentar lagi dimulai kok”. Liapun tersenyum pada petugas itu sambil menarik Rara untuk mencari tempat duduk yang kosong.
            Mereka mengikuti sidang sambil menunggu nama mereka dipanggil, setengah jam menunggu akhirnya nama Lia dipanggil. Merekapun membayar denda dan berjanji tidak mengulang kesalahan lagi.
            Lia tampak murung, karena tidak melihat Dion ditempat itu.  Sementara Rara begitu bahagia melihat motornya masih dalam keadaan utuh.
            Senyum Rara seketika pudar saat melihat sosok Dion dari jauh, namun lelaki itu ternyata bersama seorang wanita dan mereka terlihat sangat mersa. Rarapun menarik Lia menunjuk kearah Dion.
            “Lia… itu bukannya Dion yah”. Ucap Rara masih menarik tangan Lia. Lia hanya mengangguk kaku. Tiba-tiba dadanya terasa sesak. Dion melihat kearah mereka, dia tersenyum sambil melambaikan tangannya. Dionpun berjalan kearah Rara dan Lia. Dengan cepat Lia menghapus air matanya, berusaha memasang senyumnya, namun hatinya masih saja terasa sakit.
            “Hei… kalian sudah kedalam? Bagaimana urusannya sudah selesai?” Dion bertanya pada Lia, namun dia hanya diam seribu bahasa sibuk memperhatikan gadis cantik disamping Dion. Mereka sungguh terlihat serasi semakin membaut Lia sakit hati.
            “iya sudah selesai kok”. Rara yang menjawab pertanyaan Dion. Sementara Lia masih saja berusaha menahan tangisnya, perasaannya sangat kacau saat ini.           
            “oh iya kenalkan ini Dian, tunangku”. Dion mengenalkan sosok wanita cantik didekatnya. Lia berdiri mematung, perasaannya semakin kacau, dadanya begitu sesak, ingin rasanya dia menangis meluapkan semua perasaannya. namun, dia berusaha menahannya sekuat tenaga.
            “APA????”… tiba-tiba Rara teriak setelah sadar dari lamunannya, dia baru bisa mencerna ucapan Dion, Rara melirik Lia. Sahabatnya itu terlihat begitu rapuh.
            Adit meyambut tangan Dian, dan memperkenalkan dirinya juga. “Hei… aku Adit pacar Lia”. Rara dan Lia bersamaan menatap Adit, sementara Adit hanya mengedipkan mata.
            “wah.. ternyata kamu pacar Lia yah, hehehe aku pikir Lia benar-benar suka sama aku”. Ucap Dion sambil tertawa.
            “Lia suka sama bang Dion?”. Tanya Dian bingung.
            “hehehe… iya sayang tapi sepertinya Lia Cuma bercanda. Aku pikir dia benar-benar tergila-gila sama aku”. Dion menggaruk kepalanya yang tidak gatal, dia terlihat salah tingkah.
            “tentu saja Lia hanya bercanda, kamikan sebentar lagi akan menikah, mana mungkin dia berpaling pada lelaki lain. Aku tidak akan rela jika dia bersanding dengan lelaki lain, karena hanya akulah yang pantas untuknya saat ini, esok dan hingga akhirat kelak”. Adit megenggang tangan Lia, terasa begitu hangat hingga jantung Lia berdetak begitu cepat, tubuhnya seketika hangat. Adit tersenyum mesra padanya.
            “selamat yah buat kalian berdua, kami tunggu undangannya secepatnya. Kalau begitu kami duluan yah”. Kata Dion, diapun pamit bersama Dian.
            “sepertinya aku juga harus segera pergi masih ada kerjaan dikantor nih, aku pergi dulu yah sayang”. Adit juga pamit pergi, dia begitu romantis saat mencium tangan Lia sebelum pergi dari tempat itu.
            Rara terpaku melihat prilaku ajaib Adit, dia mencubit lengannya dan terasa sakit, diapun mencubit lengan Lia. sahabatnya itu berteriak kesakitan.
            “aku pikir aku sedang bermimpi Lia”. Rara mengalihkan pandangannya pada Lia.
Lia hanya menunduk frustasi, masih bingung dengan situasi yang menimpanya saat ini.
            “aku juga bingung Rara”. Lia menatap Rara penuh tanda tanya
            “kamukan baru kenal Adit tiga bulan lalu di puskesmas saat dia melakukan pemeriksaan kesehatan, diakan salah satu anak Bea Cukai yang kamu ceritakan sama akukan. Kalau tidak salah dia pernah menteraktir kita makan, dan seingatku kamu pernah bilang kalau Adit itu sudah punya pacar dan sebentar lagi tunangan. Makanya akhir-akhir ini kamu selalu menghindar jika dia mengajak kamu jalan. Tapi, kenapa tiba-tiba dia berkata seperti itu pada Dion. Kalau ini bercanda itukan kelewatan Lia”. Lia hanya menunduk, bingung harus berkata apa.
            “aku tidak tahu Rara, aku capek, ngantuk mau tidur”. Lia beranjak pergi, saat ini dia hanya butuh tidur. Berharap saat bangun semuanya hanya mimpi.
***
            Seminggu berlalu, namun ternyata Adit tidak pernah muncul lagi. Dia menghilang tanpa jejak, telpon dan semua chat Lia tidak dibalasnya. Liapun tampak sangat kacau. Bahkan dia sudah seperti mayat hidup, tidak ada lagi canda tawa ataupun senyum diwajahnya. Rara dan kak Ria juga bingung harus berbuat apa untuk mengembalikan senyum sahabat mereka itu.
            “kak Ria, Adit benar-benar tega yah. Aku tahu mungkin maksud dia baik, mau menolong Lia yang sakit hati saat melihat Dion bersama dengan tungangannya tapi bukan dengan cara seperti itu juga. ini sama saja, menolong Lia yang hampir tenggelam di kolom renang kemudian melemparkannya kesungai yang penuh buaya. Membuat Lia semakin sakit. Akhhh… lelaki sama saja semuanya buaya darat”. Rara begitu geram, tidak tahan lagi melihat sahabatnya menderita.
            “kamu jangan samakan semua lelaki Rara, buktinya bang Rangga beda. Dia baik, penyanyang, bertanggung jawab dan romantis”. Kak Ria tidak terimah pendapat Rara.
            “iya sih kak, tapi lelaki yang seperti bang Rangga itu langka dan hampir punah. Makanya kak Ria musiumkan ajah tuh bang Rangga biar nggak hilang”. Jitakan keras mendarat di kepala Rara, diapun diam seketika menahan rasa sakitnya.
            “benar tuh kata Ria, masih banyak kok lelaki yang baik”. Rara dan Ria sontak berbalik, bingung siapa yang menimpali percakapan mereka.
            “bang Adit??? Sejak kapan disini?”. Tanya Rara masih dengan wajah bingungnya.
            “sejak tadi, saat kalian membahas lelaki buaya darat. Tumben berdua ajah. Lia kemana, kok nggak kekantin Umi?”. Tanya Adit dengan tampang polosnya.
            PLAKKK… tamparan keras mendarat dipipi Adit.
            “itu pelajaran buat kamu. Kenapa kamu mempermainkan Lia seperti ini”. Ria tidak bisa menahan emosinya lagi.
            “maaf… tapi aku tidak bermaksud untuk mempermainkan Lia”. Adit masih memegang pipinya yang merah.
            “kenapa kamu begitu tega mengatakan kamu akan menikah dengan Lia, bukannya kamu sudah punya tunangan. Dan kamu menghilang tanpa penjelasan setelah semuanya kacau”. Ria masih emosi, hampir saja tamparannya kembali mendarat di pipi Adit, untung Rara bisa mencegahnya.
            “sabar kak, kita dengar dulu penjelasan dia”. Rara berusaha menenangkan Ria, mereka bertiga akhirnya kembali duduk, untung saja kantin Umi masih sepi. jadi hanya mereka bertiga dan Umi yang merupakan pemilik kantin yang menyaksikan kejadian itu.
            Adit menarik nafas dalam-dalam, menenangkan dirinya. Dia masih memegang pipinya. “aku tahu aku salah, memang pantas aku mendapatkan tamparan ini. Bahkan jika kalian masih ingin memukulku silahkan aku pasrah. Tapi dengarkan dulu penjelasanku. Aku dan tunanganku sudah putus sejak dua bulan lalu. Dia selingkuh dan sudah mengakui kesalahan itu padaku. Bahkan secara terang-terangan dia meminta putus padaku karena ingin bersama selingkuhannya tersebut. Seperti yang kalian ketahui aku sudah tunangan dengan dia, bahkan aku sudah mempersiapkan pernikahan kita. aku begitu sakit hati, hidupku kacau. Namun, semua berubah saat aku bertemu dengan Lia. aku bahkan bisa melupakan tunanganku itu secara perlahan, dia mau mendengar semua curahan hatiku. Tapi, Lia tiba-tiba menjauh saat mendengar aku akan menikahi tunanganku. Aku belum sempat mengatakan jika aku sudah putus, namun dia sudah menjauh dan berusaha menghidariku. Aku sudah berusaha untuk menjelaskan semuanya tapi dia tidak pernah memberikan kesempatan. Dia mengatakan tidak ingin menjadi orang ketiga dalam hubunganku. Diapun memintaku untuk menjauhinya dan bodonya aku karena menuruti permintaannya itu”. Adit tertunduk, penyesalan terpancar diwajahnya.
            “apakah kamu benar-benar serius dengan perkataanmu tempo hari?”. Rara menatap Adit. Adit hanya tersenyum dalam diamnya.
***
            Beberapa hari berlalu. Adit, Rara dan Ria sudah merencanakan sesuatu buat Lia. Lia masih saja seperti mayat hidup, tubuhnya terlihat kurus dan tanpa semangat hidup. Bahkan gosip putusnya Dion dengan tunangannya tidak bisa membuatnya pulih. Beberapa kali Dion sempat chat dia di Intagram, tapi Lia seolah sudah tidak tertarik lagi dengan Dion. Yang ada dipikirannya saat ini hanyalah Adit, yang tiba-tiba menghilang setelah mengguncang pikiran dan jiwanya.
            Lia termenung sendiri di ruangannya, Rarapun menghampiri dengan senyumnya yang begitu lebar. “Heiii Lia… kamu tidak bosan apa dengan wajah seperti itu. Sudah jelek tambah jelek tahu. Senyum dikit kek, supaya terlihat manis”.
            “sanalah, aku lagi males”. Lia menatap Rara dengan jengkel.
            “Lia… kak Ria mengajak kita ke coastal area nanti sore, katanya sih mau ngajak makan karena bang Rangga ulang tahun”. Ucap Rara tanpa basa basi lagi.
            “pokoknya kamu harus datang yah, kalau tidak kak Ria akan marah. Ingat jangan sampai lupa, jam 4 yah”. Rarapun pergi sebelum Lia semakin jengkel.
            Sore harinya Lia sudah duduk menunggu Rara di coastal area tepatnya dia duduk di tepi pantai. Tempat itu begitu ramai saat sore hari. Banyak anak-anak yang main sepatu roda dan masih banyak permainan lainnya.
            Lia duduk termunung, menikmati terpaan angin laut yang menyejukkan. Dia merasa lebih tenang. “hei Lia… Apa kabar?”. Tanya seorang lelaki yang tiba-tiba duduk di sampinya.
            Lia terkejut saat mengetahui ternyata lelaki itu adalah Adit. Adit tersenyum lebar. Lia terdiam terpaku.
            “sepertinya kamu baik-baik saja”. Ucap Adit lagi.
            “aku tidak sebaik seperti apa yang kamu lihat”. Lia mengalihkan pandangan kelaut.
            “Lia, kamu tahu nggak kenapa tempat ini dinamakan coastal area?”. Tanya Adit tiba-tiba.
            “nggak, memang kenapa?”. tanya Lia balik.
            “hehehe… aku juga tidak tahu”. Adit tertawa
            “kirain kamu mau gombalin aku”. Lia mulai tersenyum
            “aku nggak tahu cara gombalin cewek. Tapi Lia, kok senyum kamu manis yah semanis jambu Bangkok yang di jual mas-mas yang disana”. Adit mencoba mengeluarkan jurus gombalannya, bukanya terpesona Lia malah tertawa.
            “HAHAHA… bukannya jambu Bangkok rasanya hambar yah”. Ucap Lia disela tawanya.
            “yaelah… ada yang manis tahu. Kamu belum coba aja makan jambu Bangkoknya sambil bercermin dan tersenyum pasti lebih manis”. Tawa Lia semakin kencang.
            “bagaimana caranya makan jambu sambil tersenyum Adit. Dasar kamu memang aneh”. Adit ikut tertawa. Suasana mencair, Lia merasakan kehangatan saat disamping Adit, lelaki itu bahkan bisa membuat moodnya menjadi lebih baik.
            “Lia aku minta maaf yah, aku sudah membuat kamu bingung seperti ini”. Adit mulai berbiara dengan serius, dia menatap Lia penuh penyesalan.
            “Adit…”. Lia membalas tatapan Adit.
            “Lia, sebenarnya aku serius dengan ucapanku waktu itu. Aku benar-benar ingin menikahi kamu”. Lia hanya diam, tidak tahu harus berkata apa.
            “huffft… mungkin caraku salah, tapi aku benar-benar serius dengan ucapanku Lia”. Adit masih menatap Lia. dia meraih tangan Lia, mengenggamnya begitu erat. Diapun berlutut dihadapan Lia.
            “aku mohon menikahlah denganku, jadi pendamping hidupku, belahan jiwaku, kekasih halalku. Mungkin aku bukan lelaki yang tampan seperti Dion tapi aku adalah lelaki yang akan selalu menjagamu”. Lia menitikkan air mata, terharu dengan ucapan Adit.
            Lia hanya diam, air matanya tidak terbendung lagi. Lia hanya mengagguk sambil tersenyum begitu haru.
            “cie… yang dilamar. Sampai nangis seperti itu kayak anak kecil aja”. Teriak Rara yang tiba-tiba muncul dari belakang. Lia memeluk Rara masih menangis haru di pelukan sahabatnya itu.
            “selamat yah Lia, semoga rencana pernikahannya lancar yah”. Ucap Ria sambil memeluk Lia dan Rara.
            “selamat Bro, akhirnya kamu bisa menemukan belahan jiwa kamu. Aku pikir kalian adalah pasangan yang sangat serasi”. Rangga tersenyum pada Adit yang terlihat malu-malu di depan mereka.
            Merekapun tertawa, Rara begitu heboh merancang konsep pernikahan Adit dan Lia. Ria sesekali memberikan masukan kepada kedua calon pengantin itu.
            “tunggu dulu, kamu sudah melamar Lia pada kedua orang tuanya”. Tanya Rangga tiba-tiba. Merekapun terdiam sejenak.
            “hehehe… tentu saja dong, aku sudah memperoleh SIM dari kedua orang tua Lia, bahkan aku sudah berencana membawa kedua orang tuaku untuk menemui kedua orang tua Lia di lampung”. Ucap Adit dengan bangga sambil mengedipkan mata pada Lia. hingga Lia tersipu malu di buatnya.
            “kok pakai SIM segala sih”. Ria terlihat bingung sama bingungnya dengan Rangga. Sementara Rara hanya tersenyum.
            “kak Ria SIM itu bukannya surat izin mengemudi tapi SIM yang dimaksud bang Adit adalah SURAT IZIN MENCINTAI”. Semuanyapun tertawa mendengar penjelasan Rara. Adit mengacungkan kedua jempolnya pada Rara.
            “setelah SIM terbit akan disusul terbitnya buku nikah”. Adit  tersenyum mesra pada Lia. semuanyapun kembali tertawa.
            Akhirnya Lia merasa begitu bahagia, lelaki yang dia temui dan selalu curhat padanya ternyata adalah jodohnya.
            Jodoh itu bukan kita yang tentukan tapi Allah, jadi tidak usah risau dengan jodohmu. Bahkan pacaran dan berusaha mati-matian mendekati gebetan ehh ujung-ujung dia malah menikah dengan orang lain. Yang harus kita lakukan memperbaiki diri, karena jodoh kita adalah cerminan diri kita. semakin baik kita, maka kita juga akan menemukan jodoh yang baik. By canradewi