Thursday 1 January 2015



PENGHUJUNG TAHUN

Tiupan terompet dan bunyi petasan terdengar bergantian, music di putar begitu keras. Suka cita menyambut malam pergantian tahun baru begitu terasa, namun aku hanya mengurung diri di kamar, meratapi kesedihanku di penghujung tahun ini.
Aku memang tidak pernah menyambut tahun baru dengan acara special karena itu tidak pernah ada dalam tradisi dalam keluargaku. Tapi, tahun ini berbeda karena di rumahku saat ini sedang mengadakan pesta besar-besaran. Ini bukan pesta penyambutan tahun baru melainkan pesta menyambut pernikahanku. Ya, pernikahanku yang tinggal menghitung hari dengan lelaki yang belum kukenal betul sifatnya. Aku hanya bertemu dia dua kali. Pertama waktu kecil saat aku berlibur di kampung halamannya, dan kedua kalinya saat dia datang melamar dengan kedua orang tuanya.
Orang tuaku memang selalu mengingatkan bahwa aku akan di jodohkan jadi mereka tidak pernah mengizinkanku pacaran. Mereka bahkan mengancamku jika aku berpacaran, aku tidak akan diizikan untuk melanjutkan sekolahku. Aku masih ingat betul pesan bapakku saat aku hendak melanjutkan kuliahku di kota. “Nak, kalau kamu mau sekolah maka sekolahlah dengan baik jangan pacaran-pacaran, jika kamu mau pacaran tidak usah sekolah menikah saja”.
Perkataan bapakku itu tertancap begitu mendalam dalam otakku hingga membuatku tak pernah merasakan yang namanya pacaran, bukannya aku jelek atau kurang menarik namun aku lebih menfokuskan diri untuk sekolahku. Aku bahkan beberapa kali menolak lelaki yang mengajakku pacaran.
Aku juga wanita yang normal yang menginginkan kekasih hati. Terkadang aku iri melihat teman-temanku yang punya pacar, mereka tampak bahagia karena selalu ada yang memperhatikan mereka. menemani mereka jalan, memberikan kejutan saat ulang tahun, bahkan selalu diteraktir nonton dan makan.
Tapi, aku juga bersyukur karena aku tidak pernah merasakan patah hati karena diselingkuhi dan dicampakkan. Dan yang lebih miris lagi ditinggalkan saat kesuciannya sudah direnggut.
Walaupun tanpa pacar aku masih bisa hidup normal, dan bisa menikmati masa-masa remaja dengan berbagai hal positif. Lebih focus Merajut mimpi-mimpi untuk masa depan yang cerah. Tapi, semua itu terasa sia-sia karena perjodohan ini. Baru sebulan aku bergelar sarjana, namun kedua orang tuaku sudah memintaku untuk mengakhiri masa lajangku. Aku bahkan belum mencicipi dunia kerja, tapi kedua orang tuaku sepertinya lebih bahagia melihatku menjadi ibu rumah tangga dari pada menjadi wanita karir.
Aku sempat memberontak tidak menyetujui perjodohan ini, aku tidak ingin menyia-nyiakan gelar sarjanaku dengan hanya menjadi ibu rumah tangga. Aku ingin menjadi wanita karir, aku ingin jadi wanita yang mandiri. Namun kedua orang tuaku sudah menetapkan tanggal pernikahannya dan itu tidak mungkin dibatalkan lagi.
Air mataku tak pernah berhenti menetes, perasaanku sungguh kacau. Aku seharusnya bahagia menyambut hari bahagiaku namun aku tidak merasakan hal itu, hanya kesedihan yang menyelimuti hatiku.
Terdengar tiupan terompet begitu keras, semua orang bersorak gembira. Terdengar jelas suara mereka menyambut pergantian tahun, aku hanya mendengarnya dibalik didinding kamarku, menikmati kesendirianku.
Hari pernikahankupun tiba, wajahku sudah di make up. Semua orang memuji kecantikanku, termasuk ibuku. Dia sempat meneteskan air mata saat melihatku sudah lengkap dengan pakaian pengantin dan dia memelukku begitu erat, aku meteskan air mata. “kamu sangat cantik anakku”. Bisiknya.
Ijab Kabul telah diucapkan Hasan dengan lantang. Lelaki itu kini resmi menjadi suamiku, akupun diantar kedekatnya. Dia tersenyum melihatku, semua orang bersorak saat Hasan memasangkan cincin di jari manisku. Berbagai prosesi pernikahan adat bugis Makassar telah kami jalani. Hasan selalu tersenyum saat menyambut tamu sangat berbeda denganku yang tampak sangat murung.
Malam ini aku resmi menjadi seorang istri namun, aku masih belum siap secara lahir batin. Sepertinya Hasan mengerti keadaanku, diapun tidak memaksakan kehendaknya padaku. Dia mencoba mengajakku mengobrol berusaha lebih dekat denganku tapi aku menjaga jarak darinya.
Sifat dinginku padanya masih tidak berubah saat di pagi hari. Aku masih belum bisa membuka hatiku untuknya.
Hari demi hari kami lalui tanpa kedekatan yang berarti. Aku sudah tidak tahan lagi dengan kondisi ini, akupun mengatakan pada Hasan bahwa aku tidak betah tinggal dirumah orang tuanya, aku ingin ke kota dan mencari pekerjaan. Aku tidak ingin menyia-nyiakan gelar sarjanaku. Awalnya, Hasan tampak tidak setuju karena saat ini dia masih bekerja di perkebunan orang tuanya. Orang tua Hasan mempunyai banyak kebun dan tentu kebun itu nantinya akan di wariskan pada Hasan, sehingga mau tidak mau Hasan belajar mengelolah perkebunan itu.
Setiap hari aku memaksa Hasan untuk pindah ke kota, akhirnya diapun mengalah dan meminta izin pada kedua orang tuanya. Kedua orang tua Hasan tentu tidak mengizinkannya, namun setelah aku dan Hasan memohon akhirnya mereka mengizikan juga.
Aku dan Hasan berangkat ke Kota dan kami menyewa sebuah kos sederhana untuk tempat tinggal kami. Hasan masih sabar menghadapiku, dia bahkan tidak pernah mengeluhkan sikapku yang masih dingin padanya.
Aku mulai mencari pekerjaan dan tidak membutuhkan waktu lama, aku sudah mendapatkan pekerjaan sebagai pegawai kantoran. Hasan juga mencari perkerjaan, namun karena dia hanya tamatan SMA, dia tampak kesulitan mendapatkan pekerjaan.
Sudah sebulan aku dan Hasan tinggal di kota namun Hasan belum juga mendapatkan pekerjaan, alhasil akulah yang membiyai kehidupan kami berdua.
Hasan terlihat tidak nyaman dengan kondisi kami saat ini, dimana aku yang seharusnya menjadi ibu rumah tangga malah menjadi tulang punggung. Sebenarnya aku tidak keberatan dengan kondisi kami saat ini, karena ini lebih baik daripada aku harus tinggal di kampung.
Setelah aku membujuk Hasan akhinya dia masih bisa bertahan dan mencari pekerjaan lebih giat lagi. Perhatian Hasan tidak pernah berkurang sedikitpun padaku, bahkan aku sudah merasa nyaman berada di dekatnya saat ini. Aku masih ingat saat dia merawatku dikala sakit, bahkan dia tidak pernah tidur hanya untuk menjagaku. Dan saat itulah aku merasakan kasih sayangnya padaku begitu besar.
Hari berjalan seperti biasanya saat Hasan datang dengan wajah yang sangat ceria, dia memelukku sangat erat dan menciumku dengan mesra, aku sempat kaget dengan tingkah anehnyaa itu. diapun tersenyum bahagia melihat wajah bingungku. Dengan mesra dia mengatakan bahwa dia sudah mendapat pekerjaan dengan gaji yang lumayan besar, walaupun gajinya tidak sebesar gajiku di kantor tapi hal itu sangat membahagiakan bagi kami. Akupun memeluknya dengan erat dan menciumnya balik.
Hasan terlihat begitu rapih di hari pertamanya kerja, akupun mempersiapkan baju yang dia kenakan dari subuh. Jujur saja aku begitu bangga memiliki suami seperti dia. Sebenarnya aku tidak tahu pasti Hasan kerja dimana karena dia tidak mau mengatakannya. Setelah Hasan ke tempat kerjanya aku juga bergegas ke kantorku.
Tidak terasa hari sudah beranjak sore, menandakan jam kantor sudah selesai. Tiba-tiba salah satu teman kantorku mengajakku makan di sebuah restoran cepat saji karena dia sedang berulang tahun, kamipun pergi beramai-ramai. Aku segera menelpon Hasan memberitahukan bahwa aku akan pulang terlambat, dan ternyata dia juga belum pulang dari tempat kerjanya.
Sesampainya di restoran kami menempati tempat yang dekat dengan jendela, salah seorang pelayan datang dan mencatat makanan yang kami pesan. Aku meminta salah seorang temanku memesankan makanan karena aku mau ke toilet.
Aku begitu kaget karena mendengar kegaduhan di tempat makan itu saat aku keluar dari toilet, kulihat seorang pengunjung marah-marah pada pelayan yang tidak sengaja menempahkan minumannya. Dan lebih membuatku shok ternyata pelayan itu adalah Hasan suamiku. Akupun segera mendekat ke tempat itu kulihat teman kantorku juga ikut mendekat di kerumunan itu.
Aku begitu marah saat pengunjung itu memarahi sumaiku dan menghinanya di depan banyak orang. Tanpa berpikir panjang aku membela suamiku dan melemparkan uang pada pengunjung itu yang sedari tadi mempermasalahkan baju mahalnya yang kotor. Aku mengatakan lebih baik dia membeli baju baru dengan uang itu dan tidak usah mempermalukan orang lagi. Hasan menarik tanganku saat aku mau menampar wajah pengunjung yang sombong itu. Dia membawaku keluar dari restoran itu, melewati keremunan pengunjung termasuk teman kantorku.
Sesampainya di rumah, Hasan tidak pernah mengucapkan sepata katapun, mungkin dia marah karena aku telah membuat keributan di tempat kerjanya. Tapi, seharusnya dia tidak marah dan berterima kasih padaku. Aku jadi serba salah menghadapinya, baru kali ini aku melihat dia marah. dan jujur saja aku lebih memilih di marahi dengan kata-kata daripada didiami seperti ini.
Akupun mendekat saat Hasan duduk di teras rumah kontrakan kami, aku membawakan Hasan secangkir teh hangat kesukaanya. Namun, dia tetap diam. aku meraih tangannya dan meminta maaf karena aku telah membuat kekacauan itu. Hasan mengalihkan pandangannya kearahku, dia hanya tersenyum. Dan mengatakan aku begitu berani membentak pengunjung itu. diapun meminta maaf karena belum bisa mencari pekerjaan yang lebih baik. Dia merasa bersalah karena tidak bisa menjadi suami yang baik. Akupun memeluknya dengan erat, bahkan di saat seperti ini dia masih menyalahkan dirinya atas keegoisanku. Aku tahu Hasan adalah seorang suami yang bertanggung jawab, namun karena keegoisanku dia melepaskan pekerjaannya di perkebunan. Sama seperti halnya diriku yang tidak betah hidup didesa, pasti dia juga tidak betah hidup di kota. Namun dia lebih sabar dariku.
Akupun mengatakan pada Hasan bahwa aku bersedia pulang kampung dan mengundurkan diri dari kantorku. Namun Hasan mengatakan dia akan berjuang lebih giat untuk bertahan di kota, dan melarangku mengundurkan diri. aku sungguh beruntung mempunyai suami yang begitu pengertian seperti dirinya.
Tidak butuh lama Hasan sudah mendapatkan pekerjaan baru di sebuah toko coklat, dia sangat bahagia karena setidaknya dia bisa mempelajari cara mengolah coklat yang salama ini dia kelolah di perkebunan di kampung halamannya. Setiap pulang kerja dia dengan semangatnya menceritakan cara pengolahan coklat menjadi kue-kue yang enak, namun yang dia sayangkan coklat-coklat itu di impor dari luar. Hasan juga selalu membawakanku kue coklat setiap dia pulang kerja.
Setelah beberapa bulan bekerja di restoran coklat itu, Hasan memutuskan untuk menundurkan diri. aku sempat kaget dengan keputusannya yang tiba-tiba itu. aku melihat dia begitu bahagia kerja di tempat itu namun dia malah berhenti. Dia tidak mengatakan alasannya saat memilih keluar dari tempat kerjanya itu.
Setelah keluar, dia terlihat sangat sibuk, bahkan lebih sibuk dari pada saat dia bekerja. Dia tidak mau mengatakan apa yang sedang dia kerjakan. Dia hanya mengatakan bahwa dia sedang berusaha membahagiakanku.
Semakin hari dia semakin sibuk, dia juga sering pulang balik dari kampungnya ke kota. Dan tentu aku tidak pernah ikut saat dia pulang karena aku masih harus kerja di kantor, dia biasanya tinggal selama dua hari ketika di kampung.
Hasan baru pulang dari kampung saat kami kedatangan tamu yang berpakaian begitu rapih, dan ternyata mereka adalah tamu Hasan. Aku tidak mengerti arah pembicaraan mereka dan aku melihat Hasan menandatangani beberapa dokumen yang dibawah oleh orang itu.
Setelah tamu itu pergi aku bertanya pada Hasan maksud dari kedatangan tamu itu, dengan santai dia mengatakan bahwa orang-orang itu dari Bank. Dia melakukan pinjaman pada bank untuk membuat pabrik coklat kecil-kecilan dikampung.
Hasan akhirnya menceritakan semua rencananya, sebenarnya aku kurang setuju. Namun Hasan melakukannya begitu percaya diri, aku hanya memberikan dia support sebagai istri yang baik.
Setelah beberapa bulan usaha Hasan membuahkan hasil, dia mulai bekerja sama dengan toko coklat tempat dia bekerja dulu. bahkan beberapa restoran mewah dikota ini memesan coklat dari pabrik kecil Hasan yang tidak kalah dengan mutu coklat yang di impor. Seiring berjalannya waktu Hasan mulai membuka pabrik yang cukup besar di kota ini. Dia memperoleh coklat-coklat mentah dari petani di kampung sehingga membuat kehidupan petani dikampung semakin maju.
Aku merasa kesepian walaupun keadaan ekonomi kami membaik seiring kemajuan usaha Hasan, dia sudah jarang berada dirumah. Bahkan dia lebih banyak berada di luar kota dari pada menemaniku. Kami masih tinggal dikontrakan kecil ini karena Hasan masih sangat sibuk, dia pernah mengatakan akan membeli rumah namun sepertinya rencanya itu terhalang karena kesibukannya.
Bahkan dipenghujung tahun ini, Hasan masih sibuk dengan usahanya itu. aku merasa diduakan, bukan diduakan dengan wanita lain, melainkan diduakan dengan usahanya itu. seluruh perhatiannya tertuju pada usahanya dan tidak ada yang tersisa untukku. Saat ini saja hampir semua orang meluangkan waktu bersama keluarga menyambut pergantian tahun, namun aku hanya duduk sendiri di depan TV, aku sangat bosan. Suamiku masih sibuk dengan urusannya di luar.
Hasan tiba dirumah saat jam menunjukkan pukul 10.15 menit, dia tersenyum melihat wajah kusamku. Diapun mencium keningku dan memelukku saat aku melihatnya dengan tatapan kesal. Dia mengajakku kekamar, dan memintaku untuk segera berganti baju. Akupun meluapkan kekesalanku dan marah-marah padanya. Dia masih tersenyum bahkan tertawa saat melihatku marah-marah.
Dia memintaku segera berganti baju, diapun mengatakan akan menggantikan bajuku jika aku masih tidak bergegas. Aku tahu dia sedang menggodaku. Akupun menyuruh dia keluar dan segera berganti baju. Aku tidak tahu apalagi yang dia rencanakan sekarang.
Saat berada di depan rumah aku di kejutkan dengan sebuah mobil hitam yang tampak begitu mengkilap, Hasan tersenyum dan mengatakan itu adalah mobil baru kami. Bukan hanya itu, dia mengajakku kesebuah kompleks perumahan mewah, dan berhenti di salah satu rumah yang terlihat begitu mewah. Aku pikir Hasan mengajakku bertemu dengan salah satu koleganya, namun aku melihat Hasan mengeularkan sebuah kunci dan memberikannya padaku. Diapun berbisik di telingaku, “mulai saat ini kita akan tinggal di rumah ini sayang”. aku menatap Hasan, aku tidak bisa menahan deraian air mataku. Akupun memeluk Hasan begitu erat.
Jujur saja saat aku kuliah, aku selalu memperhatikan perumahan mewah dan selalu bermimpi mempunyai rumah mewah seperti itu. dan mimpiku itu kini terwujud.
Aku sangat bersyukur Tuhan mengirimkanku lelaki sederhana yang mencintaiku apa adanya dan selalu membahagiaanku tanpa henti. Dia berjuang demi membahagiakanku, selalu sabar menghadapi tingkahku. Dan menghujaniku kasih sayang yang begitu mendalam.
Dan akhirnya aku bisa merasakan indahnya pernikahan tanpa harus berpacaran terlebih dahulu, dan merasakan indahnya kebersamaan dengan suamiku. Merasakan perhatiannya tanpa henti, pelukan, ciuman serta semua hal-hal yang sering aku impikan saat aku melihat orang lain pacaran. Akhirnya aku merasakan nikmatnya kebersamaan dipenghujung tahun ini bersama dengan orang yang kusayangi. Walaupun tahun ini begitu sulit bagi kami tapi pada akhirnya kami merasakan nikmatnya perjuang dan kesabaran itu di penghujung tahun.
Quote : kita tidak pernah tahu bagaimana masa depan kita, mungkin saat ini kita merasa begitu tersiksa dengan keadaan kita. Namun dengan usaha, kerja keras, doa dan sabar akan menuntun kita menuju kesuksesan yang bahkan tidak pernah kita bayangkan sebelumnya.