PENGHUJUNG
TAHUN
Tiupan
terompet dan bunyi petasan terdengar bergantian, music di putar begitu keras.
Suka cita menyambut malam pergantian tahun baru begitu terasa, namun aku hanya
mengurung diri di kamar, meratapi kesedihanku di penghujung tahun ini.
Aku
memang tidak pernah menyambut tahun baru dengan acara special karena itu tidak
pernah ada dalam tradisi dalam keluargaku. Tapi, tahun ini berbeda karena di
rumahku saat ini sedang mengadakan pesta besar-besaran. Ini bukan pesta
penyambutan tahun baru melainkan pesta menyambut pernikahanku. Ya, pernikahanku
yang tinggal menghitung hari dengan lelaki yang belum kukenal betul sifatnya.
Aku hanya bertemu dia dua kali. Pertama waktu kecil saat aku berlibur di
kampung halamannya, dan kedua kalinya saat dia datang melamar dengan kedua
orang tuanya.
Orang
tuaku memang selalu mengingatkan bahwa aku akan di jodohkan jadi mereka tidak
pernah mengizinkanku pacaran. Mereka bahkan mengancamku jika aku berpacaran,
aku tidak akan diizikan untuk melanjutkan sekolahku. Aku masih ingat betul
pesan bapakku saat aku hendak melanjutkan kuliahku di kota. “Nak, kalau kamu
mau sekolah maka sekolahlah dengan baik jangan pacaran-pacaran, jika kamu mau
pacaran tidak usah sekolah menikah saja”.
Perkataan
bapakku itu tertancap begitu mendalam dalam otakku hingga membuatku tak pernah
merasakan yang namanya pacaran, bukannya aku jelek atau kurang menarik namun
aku lebih menfokuskan diri untuk sekolahku. Aku bahkan beberapa kali menolak
lelaki yang mengajakku pacaran.
Aku
juga wanita yang normal yang menginginkan kekasih hati. Terkadang aku iri
melihat teman-temanku yang punya pacar, mereka tampak bahagia karena selalu ada
yang memperhatikan mereka. menemani mereka jalan, memberikan kejutan saat ulang
tahun, bahkan selalu diteraktir nonton dan makan.
Tapi,
aku juga bersyukur karena aku tidak pernah merasakan patah hati karena
diselingkuhi dan dicampakkan. Dan yang lebih miris lagi ditinggalkan saat
kesuciannya sudah direnggut.
Walaupun
tanpa pacar aku masih bisa hidup normal, dan bisa menikmati masa-masa remaja
dengan berbagai hal positif. Lebih focus Merajut mimpi-mimpi untuk masa depan
yang cerah. Tapi, semua itu terasa sia-sia karena perjodohan ini. Baru sebulan
aku bergelar sarjana, namun kedua orang tuaku sudah memintaku untuk mengakhiri
masa lajangku. Aku bahkan belum mencicipi dunia kerja, tapi kedua orang tuaku
sepertinya lebih bahagia melihatku menjadi ibu rumah tangga dari pada menjadi
wanita karir.
Aku
sempat memberontak tidak menyetujui perjodohan ini, aku tidak ingin menyia-nyiakan
gelar sarjanaku dengan hanya menjadi ibu rumah tangga. Aku ingin menjadi wanita
karir, aku ingin jadi wanita yang mandiri. Namun kedua orang tuaku sudah
menetapkan tanggal pernikahannya dan itu tidak mungkin dibatalkan lagi.
Air
mataku tak pernah berhenti menetes, perasaanku sungguh kacau. Aku seharusnya
bahagia menyambut hari bahagiaku namun aku tidak merasakan hal itu, hanya
kesedihan yang menyelimuti hatiku.
Terdengar
tiupan terompet begitu keras, semua orang bersorak gembira. Terdengar jelas
suara mereka menyambut pergantian tahun, aku hanya mendengarnya dibalik
didinding kamarku, menikmati kesendirianku.
Hari
pernikahankupun tiba, wajahku sudah di make up. Semua orang memuji
kecantikanku, termasuk ibuku. Dia sempat meneteskan air mata saat melihatku
sudah lengkap dengan pakaian pengantin dan dia memelukku begitu erat, aku
meteskan air mata. “kamu sangat cantik anakku”. Bisiknya.
Ijab
Kabul telah diucapkan Hasan dengan lantang. Lelaki itu kini resmi menjadi
suamiku, akupun diantar kedekatnya. Dia tersenyum melihatku, semua orang
bersorak saat Hasan memasangkan cincin di jari manisku. Berbagai prosesi
pernikahan adat bugis Makassar telah kami jalani. Hasan selalu tersenyum saat
menyambut tamu sangat berbeda denganku yang tampak sangat murung.
Malam
ini aku resmi menjadi seorang istri namun, aku masih belum siap secara lahir
batin. Sepertinya Hasan mengerti keadaanku, diapun tidak memaksakan kehendaknya
padaku. Dia mencoba mengajakku mengobrol berusaha lebih dekat denganku tapi aku
menjaga jarak darinya.
Sifat
dinginku padanya masih tidak berubah saat di pagi hari. Aku masih belum bisa
membuka hatiku untuknya.
Hari
demi hari kami lalui tanpa kedekatan yang berarti. Aku sudah tidak tahan lagi
dengan kondisi ini, akupun mengatakan pada Hasan bahwa aku tidak betah tinggal
dirumah orang tuanya, aku ingin ke kota dan mencari pekerjaan. Aku tidak ingin
menyia-nyiakan gelar sarjanaku. Awalnya, Hasan tampak tidak setuju karena saat
ini dia masih bekerja di perkebunan orang tuanya. Orang tua Hasan mempunyai
banyak kebun dan tentu kebun itu nantinya akan di wariskan pada Hasan, sehingga
mau tidak mau Hasan belajar mengelolah perkebunan itu.
Setiap hari
aku memaksa Hasan untuk pindah ke kota, akhirnya diapun mengalah dan meminta
izin pada kedua orang tuanya. Kedua orang tua Hasan tentu tidak mengizinkannya,
namun setelah aku dan Hasan memohon akhirnya mereka mengizikan juga.
Aku dan
Hasan berangkat ke Kota dan kami menyewa sebuah kos sederhana untuk tempat
tinggal kami. Hasan masih sabar menghadapiku, dia bahkan tidak pernah
mengeluhkan sikapku yang masih dingin padanya.
Aku
mulai mencari pekerjaan dan tidak membutuhkan waktu lama, aku sudah mendapatkan
pekerjaan sebagai pegawai kantoran. Hasan juga mencari perkerjaan, namun karena
dia hanya tamatan SMA, dia tampak kesulitan mendapatkan pekerjaan.
Sudah
sebulan aku dan Hasan tinggal di kota namun Hasan belum juga mendapatkan
pekerjaan, alhasil akulah yang membiyai kehidupan kami berdua.
Hasan
terlihat tidak nyaman dengan kondisi kami saat ini, dimana aku yang seharusnya
menjadi ibu rumah tangga malah menjadi tulang punggung. Sebenarnya aku tidak
keberatan dengan kondisi kami saat ini, karena ini lebih baik daripada aku
harus tinggal di kampung.
Setelah
aku membujuk Hasan akhinya dia masih bisa bertahan dan mencari pekerjaan lebih
giat lagi. Perhatian Hasan tidak pernah berkurang sedikitpun padaku, bahkan aku
sudah merasa nyaman berada di dekatnya saat ini. Aku masih ingat saat dia
merawatku dikala sakit, bahkan dia tidak pernah tidur hanya untuk menjagaku.
Dan saat itulah aku merasakan kasih sayangnya padaku begitu besar.
Hari
berjalan seperti biasanya saat Hasan datang dengan wajah yang sangat ceria, dia
memelukku sangat erat dan menciumku dengan mesra, aku sempat kaget dengan
tingkah anehnyaa itu. diapun tersenyum bahagia melihat wajah bingungku. Dengan
mesra dia mengatakan bahwa dia sudah mendapat pekerjaan dengan gaji yang
lumayan besar, walaupun gajinya tidak sebesar gajiku di kantor tapi hal itu
sangat membahagiakan bagi kami. Akupun memeluknya dengan erat dan menciumnya
balik.
Hasan
terlihat begitu rapih di hari pertamanya kerja, akupun mempersiapkan baju yang
dia kenakan dari subuh. Jujur saja aku begitu bangga memiliki suami seperti
dia. Sebenarnya aku tidak tahu pasti Hasan kerja dimana karena dia tidak mau
mengatakannya. Setelah Hasan ke tempat kerjanya aku juga bergegas ke kantorku.
Tidak
terasa hari sudah beranjak sore, menandakan jam kantor sudah selesai. Tiba-tiba
salah satu teman kantorku mengajakku makan di sebuah restoran cepat saji karena
dia sedang berulang tahun, kamipun pergi beramai-ramai. Aku segera menelpon
Hasan memberitahukan bahwa aku akan pulang terlambat, dan ternyata dia juga
belum pulang dari tempat kerjanya.
Sesampainya
di restoran kami menempati tempat yang dekat dengan jendela, salah seorang
pelayan datang dan mencatat makanan yang kami pesan. Aku meminta salah seorang
temanku memesankan makanan karena aku mau ke toilet.
Aku
begitu kaget karena mendengar kegaduhan di tempat makan itu saat aku keluar
dari toilet, kulihat seorang pengunjung marah-marah pada pelayan yang tidak
sengaja menempahkan minumannya. Dan lebih membuatku shok ternyata pelayan itu
adalah Hasan suamiku. Akupun segera mendekat ke tempat itu kulihat teman
kantorku juga ikut mendekat di kerumunan itu.
Aku
begitu marah saat pengunjung itu memarahi sumaiku dan menghinanya di depan
banyak orang. Tanpa berpikir panjang aku membela suamiku dan melemparkan uang
pada pengunjung itu yang sedari tadi mempermasalahkan baju mahalnya yang kotor.
Aku mengatakan lebih baik dia membeli baju baru dengan uang itu dan tidak usah
mempermalukan orang lagi. Hasan menarik tanganku saat aku mau menampar wajah
pengunjung yang sombong itu. Dia membawaku keluar dari restoran itu, melewati
keremunan pengunjung termasuk teman kantorku.
Sesampainya
di rumah, Hasan tidak pernah mengucapkan sepata katapun, mungkin dia marah
karena aku telah membuat keributan di tempat kerjanya. Tapi, seharusnya dia
tidak marah dan berterima kasih padaku. Aku jadi serba salah menghadapinya,
baru kali ini aku melihat dia marah. dan jujur saja aku lebih memilih di marahi
dengan kata-kata daripada didiami seperti ini.
Akupun
mendekat saat Hasan duduk di teras rumah kontrakan kami, aku membawakan Hasan
secangkir teh hangat kesukaanya. Namun, dia tetap diam. aku meraih tangannya
dan meminta maaf karena aku telah membuat kekacauan itu. Hasan mengalihkan
pandangannya kearahku, dia hanya tersenyum. Dan mengatakan aku begitu berani
membentak pengunjung itu. diapun meminta maaf karena belum bisa mencari
pekerjaan yang lebih baik. Dia merasa bersalah karena tidak bisa menjadi suami
yang baik. Akupun memeluknya dengan erat, bahkan di saat seperti ini dia masih
menyalahkan dirinya atas keegoisanku. Aku tahu Hasan adalah seorang suami yang
bertanggung jawab, namun karena keegoisanku dia melepaskan pekerjaannya di
perkebunan. Sama seperti halnya diriku yang tidak betah hidup didesa, pasti dia
juga tidak betah hidup di kota. Namun dia lebih sabar dariku.
Akupun
mengatakan pada Hasan bahwa aku bersedia pulang kampung dan mengundurkan diri
dari kantorku. Namun Hasan mengatakan dia akan berjuang lebih giat untuk
bertahan di kota, dan melarangku mengundurkan diri. aku sungguh beruntung
mempunyai suami yang begitu pengertian seperti dirinya.
Tidak
butuh lama Hasan sudah mendapatkan pekerjaan baru di sebuah toko coklat, dia
sangat bahagia karena setidaknya dia bisa mempelajari cara mengolah coklat yang
salama ini dia kelolah di perkebunan di kampung halamannya. Setiap pulang kerja
dia dengan semangatnya menceritakan cara pengolahan coklat menjadi kue-kue yang
enak, namun yang dia sayangkan coklat-coklat itu di impor dari luar. Hasan juga
selalu membawakanku kue coklat setiap dia pulang kerja.
Setelah
beberapa bulan bekerja di restoran coklat itu, Hasan memutuskan untuk
menundurkan diri. aku sempat kaget dengan keputusannya yang tiba-tiba itu. aku
melihat dia begitu bahagia kerja di tempat itu namun dia malah berhenti. Dia
tidak mengatakan alasannya saat memilih keluar dari tempat kerjanya itu.
Setelah
keluar, dia terlihat sangat sibuk, bahkan lebih sibuk dari pada saat dia
bekerja. Dia tidak mau mengatakan apa yang sedang dia kerjakan. Dia hanya
mengatakan bahwa dia sedang berusaha membahagiakanku.
Semakin
hari dia semakin sibuk, dia juga sering pulang balik dari kampungnya ke kota.
Dan tentu aku tidak pernah ikut saat dia pulang karena aku masih harus kerja di
kantor, dia biasanya tinggal selama dua hari ketika di kampung.
Hasan
baru pulang dari kampung saat kami kedatangan tamu yang berpakaian begitu
rapih, dan ternyata mereka adalah tamu Hasan. Aku tidak mengerti arah
pembicaraan mereka dan aku melihat Hasan menandatangani beberapa dokumen yang
dibawah oleh orang itu.
Setelah
tamu itu pergi aku bertanya pada Hasan maksud dari kedatangan tamu itu, dengan
santai dia mengatakan bahwa orang-orang itu dari Bank. Dia melakukan pinjaman
pada bank untuk membuat pabrik coklat kecil-kecilan dikampung.
Hasan
akhirnya menceritakan semua rencananya, sebenarnya aku kurang setuju. Namun
Hasan melakukannya begitu percaya diri, aku hanya memberikan dia support
sebagai istri yang baik.
Setelah
beberapa bulan usaha Hasan membuahkan hasil, dia mulai bekerja sama dengan toko
coklat tempat dia bekerja dulu. bahkan beberapa restoran mewah dikota ini
memesan coklat dari pabrik kecil Hasan yang tidak kalah dengan mutu coklat yang
di impor. Seiring berjalannya waktu Hasan mulai membuka pabrik yang cukup besar
di kota ini. Dia memperoleh coklat-coklat mentah dari petani di kampung
sehingga membuat kehidupan petani dikampung semakin maju.
Aku
merasa kesepian walaupun keadaan ekonomi kami membaik seiring kemajuan usaha
Hasan, dia sudah jarang berada dirumah. Bahkan dia lebih banyak berada di luar
kota dari pada menemaniku. Kami masih tinggal dikontrakan kecil ini karena
Hasan masih sangat sibuk, dia pernah mengatakan akan membeli rumah namun
sepertinya rencanya itu terhalang karena kesibukannya.
Bahkan
dipenghujung tahun ini, Hasan masih sibuk dengan usahanya itu. aku merasa
diduakan, bukan diduakan dengan wanita lain, melainkan diduakan dengan usahanya
itu. seluruh perhatiannya tertuju pada usahanya dan tidak ada yang tersisa
untukku. Saat ini saja hampir semua orang meluangkan waktu bersama keluarga
menyambut pergantian tahun, namun aku hanya duduk sendiri di depan TV, aku
sangat bosan. Suamiku masih sibuk dengan urusannya di luar.
Hasan
tiba dirumah saat jam menunjukkan pukul 10.15 menit, dia tersenyum melihat
wajah kusamku. Diapun mencium keningku dan memelukku saat aku melihatnya dengan
tatapan kesal. Dia mengajakku kekamar, dan memintaku untuk segera berganti
baju. Akupun meluapkan kekesalanku dan marah-marah padanya. Dia masih tersenyum
bahkan tertawa saat melihatku marah-marah.
Dia
memintaku segera berganti baju, diapun mengatakan akan menggantikan bajuku jika
aku masih tidak bergegas. Aku tahu dia sedang menggodaku. Akupun menyuruh dia
keluar dan segera berganti baju. Aku tidak tahu apalagi yang dia rencanakan
sekarang.
Saat
berada di depan rumah aku di kejutkan dengan sebuah mobil hitam yang tampak
begitu mengkilap, Hasan tersenyum dan mengatakan itu adalah mobil baru kami.
Bukan hanya itu, dia mengajakku kesebuah kompleks perumahan mewah, dan berhenti
di salah satu rumah yang terlihat begitu mewah. Aku pikir Hasan mengajakku
bertemu dengan salah satu koleganya, namun aku melihat Hasan mengeularkan
sebuah kunci dan memberikannya padaku. Diapun berbisik di telingaku, “mulai
saat ini kita akan tinggal di rumah ini sayang”. aku menatap Hasan, aku tidak
bisa menahan deraian air mataku. Akupun memeluk Hasan begitu erat.
Jujur
saja saat aku kuliah, aku selalu memperhatikan perumahan mewah dan selalu
bermimpi mempunyai rumah mewah seperti itu. dan mimpiku itu kini terwujud.
Aku
sangat bersyukur Tuhan mengirimkanku lelaki sederhana yang mencintaiku apa
adanya dan selalu membahagiaanku tanpa henti. Dia berjuang demi
membahagiakanku, selalu sabar menghadapi tingkahku. Dan menghujaniku kasih
sayang yang begitu mendalam.
Dan
akhirnya aku bisa merasakan indahnya pernikahan tanpa harus berpacaran terlebih
dahulu, dan merasakan indahnya kebersamaan dengan suamiku. Merasakan
perhatiannya tanpa henti, pelukan, ciuman serta semua hal-hal yang sering aku
impikan saat aku melihat orang lain pacaran. Akhirnya aku merasakan nikmatnya
kebersamaan dipenghujung tahun ini bersama dengan orang yang kusayangi.
Walaupun tahun ini begitu sulit bagi kami tapi pada akhirnya kami merasakan
nikmatnya perjuang dan kesabaran itu di penghujung tahun.
Quote : kita tidak pernah tahu bagaimana
masa depan kita, mungkin saat ini kita merasa begitu tersiksa dengan keadaan
kita. Namun dengan usaha, kerja keras, doa dan sabar akan menuntun kita menuju
kesuksesan yang bahkan tidak pernah kita bayangkan sebelumnya.